Menghitung
Hari
Arie Saptaji ; Penulis serabutan dan Tukang Nonton; Tinggal di
Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
29 Desember
2017
"Tidak
ada tragedi, yang ada hanyalah yang tak terhindarkan. Segala sesuatu ada
alasannya: engkau tinggal memilah-milah mana yang sementara dan mana yang
abadi."
"Manakah
yang sementara?"
"Yang
tak terhindarkan."
"Dan
manakah yang abadi?"
"Pelajaran-pelajaran
yang dipetik dari yang tak terhindarkan itu."
--Paulo Coelho, Gunung Kelima
1945. 1969. 1988. 2000.
2009. 2012. 2017. 2018. 2020. 2049….
Mengapa angka-angka itu?
Benarkah ada yang lama dan yang baru pada tahun-tahun kita? Waktu kita jalani
sebagai hari ini demi hari ini, dengan bayangan masa lalu yang kian lama kian
memanjang. Adapun harapan masa depan berpijar menyemangat di dada. Terwujud
oleh kini demi kini.
Mengapa angka-angka itu?
Kenapa kita menghitung hari? Hanya satu lagi kegenitan manusiawi? Manusiawi,
tampaknya iya. Genit atau tidak, biarlah penyair saja yang memberinya
sebutan.
Coba bayangkan, sebuah
dunia tanpa penanda waktu. Murid-murid sekolah merengut karena tak tahu kapan
berhenti duduk bersedekap di bangku kelas dan mulai bisa bertamasya ke luar
kota. Sebelumnya, kapan pula seorang anak memasuki usia wajib belajar?
Majikan dan karyawan bertengkar soal hari kerja dan hari libur. Ibu hamil
bingung kandungannya tiga minggu atau sembilan bulan kurang sehari. Sang
presiden mengeluh karena tak sempat rehat dari memikirkan nasib bangsa dan rakyat.
Dan kita tak pernah berpesta ulang tahun.
Seorang sekretaris,
setelah bekerja sekian tahun, meminta kenaikan gaji kepada direkturnya.
Direkturnya menjawab, "Baiklah, akan saya pertimbangkan permintaan Anda.
Namun sebelumnya, mari kita berhitung dahulu."
Direktur itu mulai
menghitung hari kerja efektif pegawainya itu. "Tahun lalu adalah tahun
kabisat, jadi ada 366 hari. Setiap hari Anda bekerja selama 8 jam. Jadi,
dalam setahun, Anda hanya bekerja selama sepertiga tahun atau 122 hari.
Namun, setiap hari Sabtu dan Minggu Anda libur, jumlahnya 104 hari. Hari
kerja Anda tinggal 18 hari. Tahun lalu, Anda cuti dua belas hari. Lalu, ada
libur hari besar sebanyak 5 kali. Tinggal 1 hari, itu tanggal 17 Agustus.
Habis sudah. Kalau saja tahun lalu bukan tahun kabisat, Anda malah berutang
satu hari kerja kepada perusahaan!"
Sekretaris itu melongo.
Tentu kita tidak berhitung
secara serampangan. Kita mengembangkan metode penanggalan yang kian tertib,
akurat, dan canggih.
Namun, ada apa sebenarnya
dengan angka-angka itu? Barangkali karena ini: karena hidup perlu dibagi.
Pada mulanya, pembagian
hari sesederhana peralihan dari gelap ke terang. Ketika hidup kian rumit,
kita mengenal saat tidur dan saat terjaga; musim kawin dan musim bertelur;
waktu tanam dan waktu panen; masa perang dan masa damai; zaman batu dan zaman
besi; era industri dan era informasi. Tak lupa kita membubuhkan angka merah
di sela deretan angka-angka biru pada kalender.
Bila dibandingkan dengan
sejarah peradaban, terlebih bila dibandingkan dengan bentang alam semesta
yang mencapai jutaan tahun cahaya, masa hidup kita benar-benar terbatas.
Orang Jawa melukiskannya sebagai sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum.
Begitu singkat. Bisa jadi, justru karena itu, hidup ini perlu ditandai dengan
cermat.
Dalam film Groundhog Day
(Harold Ramis, 1993), Phil Connors, penyiar TV songong, terjebak dalam
putaran waktu. Ia selalu terbangun pada 2 Februari di Punxsutawney,
Pennsylvania dengan rangkaian peristiwa yang persis sama.
Ketika menyadari bahwa apa
pun yang dilakukannya pada hari itu tak bakal menuai konsekuensi, ia
memanfaatkan pengulangan waktu itu untuk bersenang-senang memuaskan gairah
pribadi—mabuk-mabukan, ngebut sambil mabuk-mabukan, main perempuan.
Lama-kelamaan ia bosan, dan mati gaya. Lalu beneran ingin mati. Namun,
beberapa kali ia bunuh diri, percuma belaka. Tetap saja ia terbangun pada
pagi 2 Februari, mengulangi rangkaian peristiwa yang begitu-begitu lagi, di
kota kecil yang dibencinya itu.
Phil pun mulai memikirkan
cara lain untuk menjalani hari yang terus berulang itu. Ia belajar main
piano, mengukir es, dan berbahasa Prancis untuk memikat perempuan yang
mencuri hatinya. Ia mulai mengarahkan perhatian pada orang lain: menolong dan
memperbaiki kehidupan penduduk kota kecil itu. Jika sebelumnya ia hanya
mencoba bertahan hidup, kini ia benar-benar menjalani dan menghayati hidup
ini.
Hidup, seperti diungkap
Coelho, terdiri atas yang sementara dan yang abadi. Yang sementara seperti
serpihan-serpihan debu yang terusir oleh angin. Yang abadi? Kita terus
mencoba memaknainya di dalam hati.
Saya teringat kepedihan
dua orang sahabat saya, suami-istri yang semestinya bersukacita atas
kehadiran putri pertama mereka. Karena suatu komplikasi dalam saluran
pencernaannya, bayi mungil mereka hanya bertahan hidup kurang dari tiga hari.
Untuk mengenang kehadirannya yang singkat itu, saya diminta menuliskan sebuah
puisi untuk diterakan pada foto si kecil yang hendak dibingkai dan dipajang
di ruang tamu mereka. Inilah puisi itu:
202.200
– setiap detik adalah sayap-sayap halus
beterbangan
di udara desember dan angin yang larut
menciumi
lumut: waktu adalah roda yang menggerus
namun
tangan kecilmu adalah nyanyian
menenun
sayap-sayap, mengeja musim-musim
huruf-hurufnya
jadi puisi bebas gravitasi
Ya, ia hanya menghirup
udara bumi selama sekitar 202.200 detik. Namun, kehidupannya yang amat
singkat itu telah meninggalkan kesan yang mendalam, pengaruh yang tak
terhapuskan, paling tidak pada dua kehidupan lainnya: ayah dan ibunya.
Bagaimana pula dengan kehidupan yang merentang sepanjang 2.524.608.000 detik
atau 80 tahun? Berapa banyak kehidupan lain yang dipengaruhinya?
Begitulah. Kehidupan
setiap orang tak ayal berdampak pada kehidupan lainnya. Sekecil apa pun.
Persoalan yang lebih utama: dampak macam apa yang memancar dari kehidupan
yang kita jalani?
George Bailey dalam film
It's a Wonderful Life (Frank Capra, 1946) mendapatkan kesempatan istimewa
untuk melihat dampak hidupnya. Sejak muda, laki-laki dari Bedford Falls, New
York ini bermimpi meninggalkan kotanya dan bertualang keliling dunia.
Nyatanya, hidup tak selalu berjalan sesuai dengan harapannya. Berbagai
kejadian memaksanya terus bertahan di kota kecil yang baginya membosankan
itu. Ia meneruskan bisnis bapaknya, menyediakan perumahan dengan harga
terjangkau bagi penduduk setempat.
Sampai, pada pagi
menjelang Natal 1945, bisnisnya mengalami krisis keuangan, yang kemudian
menyeretnya ke dalam krisis iman. Tak juga melihat sinar terang di ujung
terowongan, ia nekad hendak mengakhiri hidupnya.
Namun, seorang malaikat
menolongnya dan memberinya kesempatan langka: menyaksikan apa yang terjadi
dengan Bedford Falls seandainya dirinya tidak dilahirkan. Harry, adiknya,
tidak berumur panjang karena tewas akibat kecelakaan di sungai pada musim
dingin. Seharusnya ia ada di sana untuk menyelamatkan adiknya.
Bedford Falls juga
terhapus dari peta, berganti menjadi Pottersville. Alih-alih sebuah kota
kecil yang makmur dan hangat, Pottersville adalah kota yang gemerlap, tetapi
juga penuh dengan sarang kegelapan karena dikendalikan oleh seorang bankir
tamak.
Kesadaran akan dampak
hidupnya itu, tentu saja, membatalkan niatnya bunuh diri. Ia siap melanjutkan
hidupnya, dengan segala krisis dan konsekuensinya. Di ujung kisah, Harry
memujinya sebagai "orang paling kaya di kota ini."
Kita tak mendapatkan
keistimewaan seperti George Bailey. Karenanya, kita perlu jeda. Perlu ruang
untuk tersenyum dan mensyukuri keberhasilan yang tercapai. Perlu berhenti
untuk meredakan gulana, dan mengingat bahwa tak banyak kegagalan yang final:
masih ada kesempatan untuk membereskan yang gawal dan memulai lagi dari titik
yang kita bayangkan sebagai tahap yang baru dan awal. Perlu relung untuk
mencerna tawa. Perlu naungan untuk memamah musibah.
Kita perlu jeda. Untuk
menghitung hari. Untuk memilah-milah yang sementara. Untuk menatah yang
abadi. Untuk memberi nama pada detik-detik yang bergegas.
Tanpa jeda, tanpa
kesempatan memberi nama, mungkinkah kita hanya bisa gila? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar