Demokrasi,
Politik Despotik, dan
Modernisasi
Kepartaian
Max Regus ; Doktor the Graduate
School of Humanities,
Universitas Tilburg,
Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2018
MEDIA Indonesia (MI), sesudah pengakuan La
Nyalla soal ‘pemalakan’ yang menurutnya telah dilakukan para petinggi Partai
Gerindra, mengulas isu tersebut dalam editorial dengan judul ‘Nyanyian La
Nyalla’(Editorial MI, 15/1/2018). Geliat La Nyalla memang menyita perhatian
publik. Soalnya, tidak tanggung-tanggung, jantung yang ditusuk ialah
representasi utama kekuatan politik ‘antirezim Jokowi-Jusuf Kalla’. Nama
Prabowo berada pada pusaran utama serangan La Nyalla. Selebihnya kemudian,
tidak salah jika kita menyebut kisruh ‘La Nyalla’ sekadar ‘igauan politik’
yang tidak punya makna apa pun karena beberapa hari kemudian, La Nyalla tidak
memenuhi panggilan Bawaslu (Editorial MI, 17/1/2018). Bahkan, ada kesan dia
mengingkari pernyataannya sendiri. Apa yang diutarakan dan diperlihatkan
orang seperti La Nyalla dan gerombolan elite yang ada dalam jangkauan
serangannya, sebetulnya menggulirkan satu model krisis politik kekuasaan. Ada
virus yang meremukkan konstruksi keadaban demokrasi kita.
Di sini, ada tiga soal fundamental yang
perlu dikemukakan di sekujur tubuh politik dekil semacam ini.
Resesi
demokrasi
Indonesia, secara beruntun,
menyelenggarakan serial pemilu. Sesudah pileg dan pilpres pada 2014, kita
kembali melaksanakan dua gelombang pemilihan kepala daerah (pilkada), pada
2015 dan 2018. Ada dua sisi penting--dan mungkin cenderung
berbenturan--berhubungan dengan persoalan ini. Pertama, pluralitas sebagai
elemen fundamental keindonesiaan memang membutuhkan ruang dan momentum
ekspresi politik yang tidak bisa bersifat tunggal. Kedua, bagaimanapun,
kerisauan kita tentang seberapa kuat, atau seberapa besar energi kita
menjalankan prosesi politik yang beruntun ini, tidak mudah untuk dihindari.
Kita, dengan dua persoalan ini, kemudian
tidak saja menghadapi tantangan internal, tetapi juga mesti menyimak
pergeseran disposisi kebatinan politik global. Bukan rahasia lagi,
kepercayaan politik (the political trust) terhadap lembaga -lembaga politik,
termasuk di dalamnya proses elektoral, pada waktu bersamaan cenderung semakin
rendah. Kita bisa melihat dengan mudah bagaimana sejumlah ruang politik
Eropa, yang mengalami embusan angin demokrasi pada dua dekade terakhir,
justru tergelincir kembali ke model politik otoriter.
Douglas Heaven, komentator politik BBC,
dalam analisisnya tentang krisis ini, 'The Uncertain Future of Democracy'
(30/3/2017), memunculkan fenomena-fenomena politik global di saat demokrasi
sedang menuju keruntuhan di tangan kaum tiran. Kelas penguasa, yang
memanfaatkan proses demokrasi untuk mencapai posisi kekuasaan, hingga pada
titik tidak terkontrol, justru melakukan serangan balik terhadap kerangka
nilai demokrasi. Heaven mengutip pendapat pemikir politik Larry Diamond, yang
sejak satu dekade lalu telah melihat bagaimana demokrasi mengalami ‘resesi
ringan, tetapi berlarut-larut’.
Politik
despotik
Kaum politik kekuasaan despotik justru
menggandrungi antusiasme politik publik. Ini bisa jadi ruang paling nyaman
bagi mereka untuk menyembunyikan diri. Ketika demokrasi datang, apakah
kekuatan totaliter-represif atau otoriter-opresif sepenuhnya musnah. Tidak
sama sekali. Pada kenyataan, demokrasi datang hanya sebagai arus perubahan
yang menyapu permukaan politik belaka. Demokrasi tidak bisa, atau lebih
tepatnya, memang tidak punya iktikad membongkar akar-akar totalitarianisme
yang menghunjam jauh ke dalam peradaban politik.
Di titik ini, kaum politik despotik justru
menikmati kemewahan kekuasaan ketika mereka bisa mencengkeram
institusi-institusi politik. Di Indonesia, ambil contoh, bibit-bibit
despotisme berkembang biak dalam cangkang-cangkang aman partai politik. Itu
yang menyebabkan operasi-operasi antidemokrasi justru berlangsung aman dalam
kerangkeng partai politik.
Barangkali, fenomena ini tepat untuk
ditaruh dalam konteks pemikiran Don Murray dalam bukunya, A Democracy of
Despots (1995). Secara gamblang, Murray membentangkan pergerakan cerdik kaum
depostik pada setiap ranah politik. Baik demokrasi maupun totalitarianisme,
kaum despotik selalu mampu meraih keuntungan berkat keculasan mereka. Mereka
tidak pernah mengalami apa yang bisa dinamakan dengan ‘musim gugur’
kekuasaan. Kaum politik despotik memiliki kemampuan bawaan politik untuk
cocok menempel pada semua model kekuasaan.
Modernisasi
kepartaian
Michael John Gerson, komentator politik
internasional yang menyaksikan dari dekat gejolak-gejolak di Afrika, dalam
analisisnya di The Washington Post (28/5/2008), mengungkapkan ketidaksesuaian
antara jalan demokratisasi yang mulai ditempuh di satu sisi dengan kultur
(perilaku) kekuasaan di sisi lain. Demokrasi hanya berkaitan dengan kulit
yang bersifat material-formal. Di kawasan itu, politik elitis menimbulkan
kepengapan luar biasa di ranah kekuasaan. Mereka menjalankan gerakan
‘pembungkaman’ aktivis prodemokrasi. Gerson, untuk situasi ini, menyebutnya
dengan ‘demokrasi kaum penipu’.
Infrastruktur demokrasi memang butuh
pembenahan. Pengelolaan politik dan demokrasi mesti berbasiskan rasionalitas.
He Chuanqi, dalam Modernization Science (2012), membagi dua tahap dan model
modernisasi politik. Tahap (model) pertama merujuk pada periode 1761-1970.
Pada tahap ini, beberapa karakter dasar politik terdefiniskan dalam beberapa
aspek seperti sentralisasi kekuasaan, relasi antarkelas politik, elitisisme
kekuasaan, kekerasan, dan konfrontasi antarklan politik. \
Tahap kedua mengacu pada periode 1970—2100.
Pada tahap ini, politik seniscayanya tampak dalam sejumlah ciri penting
seperti pengutamaan dialog politik, demokrasi berbasikan jaringan kewargaan,
model politik nonkonfrontatif, nonelitis, inklusif, egaliter, antikekerasan
(diskriminasi sosial). Salah satu ciri utama dari modernisasi politik tahap
kedua menunjuk pada penghapusan ‘relasi kelas’ dalam politik. Bagi Indonesia,
modernisasi kepartaian ialah kenisacayaan dalam kerangka membangun demokrasi
yang tidak terbajak dalam rengkuhan kaum politikus despotik. Fenomena politik
yang terungkap dalam kisah-kisah uang pelicin untuk mendapatkan rekomendasi
pemimpin partai politik demi meraih tiket dalam kompetisi politik serentak
membenamkan keadabaan kepertaian--dari mana kita sebetulnya mengharapkan
kemunculan demokrasi yang beradab dan matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar