Problematika
”Justice Collaborator”
untuk
Setya Novanto
Lalola Easter ; Anggota Divisi Hukum
dan Monitoring Peradilan,
Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS,
22 Januari
2018
Setya Novanto akhirnya bisa ditahan Komisi
Pemberantasan Korupsi setelah proses panjang akibat tak kooperatifnya
tersangka dalam menjalani proses hukum.
Kini, memasuki masa sidang pokok perkara
KTP elektronik dengan Setya Novanto (SN), yang berada di posisi terdakwa
memohon perlindungan dari KPK dan menawarkan diri untuk menjadi justice
collaborator (JC) atau pelaku kejahatan yang bekerja sama.
Pemberian status JC memang bukan hal baru
bagi pelaku tindak pidana, termasuk korupsi. Bagi para tersangka atau terdakwa
yang bersedia menjadi JC, ada sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh,
seperti pengurangan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU), kemungkinan
penerapan pidana percobaan, serta penerimaan remisi dan pembebasan bersyarat.
Sebagaimana diketahui, pascapenerapan
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Hak Warga Binaan, salah satu
syarat bagi terpidana perkara korupsi untuk menerima remisi dan pembebasan
bersyarat adalah adanya status sebagai JC dari terpidana dalam perkara yang
melibatkannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada kecenderungan
tersangka dan terdakwa untuk menjadi JC demi mendapat keringanan hukuman
ataupun kemudahan penerimaan remisi dan pembebasan bersyarat.
Dalam perkara korupsi sendiri, sudah ada
beberapa tersangka atau terdakwa yang mendapat status JC karena perannya
membantu penyidik atau penuntut umum dalam mengungkap perkara korupsi. Ada
Agus Tjondro dalam perkara korupsi cek pelawat pemilihan Deputi Senior
Gubernur Bank Indonesia, Hendra dalam perkara korupsi videotron Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Andi Narogong dalam perkara korupsi
KTP-el.
Pada dasarnya, pemberian status JC didasari
pada kesadaran bahwa negara perlu memberikan penghargaan kepada pelaku yang
bersedia membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap perkara dengan
kompleksitas tinggi, seperti korupsi. Namun, pemberian status JC tersangka
atau terdakwa masih bermasalah.
Disharmonisasi
hukum
Permasalahan mendasar dalam pemberian
status JC adalah disharmonisasi hukum yang memunculkan perbedaan pandangan
antara aparat penegak hukum dan hakim pada tataran implementasi.
Perbedaan pandangan ini dapat dilihat dalam
perkara korupsi yang menjerat Kosasih Abas dan Abdul Khoir. Dalam kedua
perkara tersebut, hakim memutus lebih berat dari tuntutan JPU karena hakim
berpandangan bahwa baik Kosasih Abas maupun Abdul Khoir adalah pelaku utama
sehingga tidak pantas mendapat status JC.
Terlepas dari problematika itu, dapat
dipahami mengapa banyak pelaku yang berlomba mengajukan permohonan sebagai
JC, ia berfungsi sebagai tiket cepat menuju penuntasan masa pidana. Namun,
tidak semua tersangka atau terdakwa berhak dan patut menerima status sebagai
JC.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04
Tahun 2011 mengatur secara kumulatif syarat seorang tersangka atau terdakwa
dapat menerima JC. Syarat-syarat itu adalah bersedia mengakui perbuatannya,
bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan yang disangkakan atau
didakwakan, dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan
untuk perkara yang diungkapnya.
Berkaca dari keseluruhan penjelasan di
atas, wacana soal pemberian status JC kepada Setya Novanto menjadi relevan
dikritisi. Pemimpin KPK Agus Rahardjo, dalam pernyataannya yang dikutip
sebuah media, menyatakan, KPK mempertimbangkan pemberian status JC kepada SN
sepanjang ia mengungkap sesuatu yang lebih besar, konsisten, dan mengakui
perbuatannya.
Pernyataan ini sepatutnya tidak dilontarkan
oleh unsur pimpinan KPK karena justru membuat blunder sehingga memunculkan
kesan KPK siap berkompromi dengan SN. JC memang diharapkan memberikan
keterangan yang dapat menuntun aparat penegak hukum mengungkap sesuatu yang
lebih besar, syarat tersebut tidak berdiri sendiri, dan harus dibarengi pula
dengan itikad baik dari tersangka atau terdakwa.
Dalam kasus SN, itikad tidak baik sudah
terlihat, bahkan sebelum ia ditahan oleh KPK. Itikad tidak baik itu dapat
terlihat ketika SN berkali-kali mangkir dari panggilan pemeriksaan, melarikan
diri hingga masuk daftar pencarian orang, dan diduga merekayasa kecelakaan
yang menimpanya pada 16 November 2017. Ia juga berkali-kali menyatakan bahwa
dirinya tak bersalah dan menolak untuk bersikap kooperatif dalam proses
hukum.
Jika memang sejak awal SN menyadari bahwa
dirinya bukan pelaku utama dan memiliki kesempatan untuk mengajukan status JC
untuk meringankan tuntutan dan bahkan putusannya, sepatutnya ia kooperatif
sejak awal dan mengungkap semua informasi yang dimilikinya kepada penyidik.
Selain itu, berdasarkan fakta-fakta
persidangan yang diperiksa di hadapan sidang atas nama terdakwa Irman,
Sugiharto, dan Andi Narogong, jelas terlihat bahwa SN menjadi pihak yang
punya andil besar dalam korupsi KTP-el. Ia diduga berperan mengatur pengadaan
dan perencanaan penganggaran KTP-el serta diduga menerima kick back hingga 2,6
juta dollar AS dari proyek tersebut.
Tak
layak
Dari penjelasan ini, dapat dilihat bahwa SN
tidak layak mendapat status JC karena patut diduga ia merupakan salah satu
pelaku utama dalam perkara korupsi KTP-el, dan telah dengan sengaja
membangkangi hukum dengan manuver-manuvernya setelah ditetapkan sebagai
tersangka. Hal-hal ini seharusnya sudah cukup menjadi alasan bagi KPK untuk
tidak mengabulkan permohonan SN menjadi JC.
Jika akhirnya KPK mengabulkan permohonan JC
ini, akan muncul preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemberian
status JC kepada SN justru akan mendudukkan aparat penegak hukum, dalam hal
ini KPK, pada posisi yang rendah karena memfasilitasi pembangkang hukum
dengan kemewahan status JC.
Ke depannya, bukan tidak mungkin tersangka
korupsi nyata-nyata dan dengan sengaja bersikap tidak kooperatif sebelum
akhirnya mengajukan permohonan untuk menjadi JC setelah kehabisan cara untuk
menghindari proses hukum. Untuk itu, KPK harus menolak pemberian status JC
kepada SN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar