KPK
dan Perintang Peradilan
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
23 Januari
2018
Masalah imunitas advokat dan tindakan
menghalang-halangi pengadilan (”obstruction of justice”) kembali mengemuka
menyusul penetapan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto, dan
dokter Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka ”obstruction of justice” dalam perkara korupsi KTP elektronik
dengan tersangka Setya Novanto.
Tulisan berikut ini akan mengulas secara
singkat mengenai tiga hal. Pertama, mengenai imunitas itu sendiri. Kedua,
perihal obstruction of justice.
Ketiga, apakah obstruction of justice
menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan tindak
pidana korupsi (tipikor) untuk memproses dan menyidangkan kasus tersebut.
Pertama, terkait imunitas. Dalam hukum
pidana, paling tidak ada dua postulat, yaitu impunitas continuum affectum
tribuuit delinquendi (imunitas yang
dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk
melakukan kejahatan) dan impunitas
semper ad deteriora invitat (imunitas mengundang pelaku untuk melakukan
kejahatan yang lebih besar).
Berdasarkan kedua postulat, imunitas dalam
hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Akan tetapi, sejumlah undang-undang
(UU) di Indonesia mengatur secara eksplisit beberapa profesi dan jabatan yang
tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata ketika seseorang
menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, termasuk advokat. Celakanya,
ketentuan ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Landasan
kuat
Kalau saja kita memahami konsep-konsep
dasar hukum pidana secara utuh, isu imunitas terhadap profesi atau jabatan
tertentu tidak perlu mewacana. Konsep tersebut telah ada sejak ratusan tahun
lalu yang dirumuskan oleh para ahli hukum pidana. Oleh karena itu, dalam
hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yang secara garis besar terdiri
dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Salah satu alasan pembenar adalah
melaksanakan perintah UU (te uitvoering van een wettelijke voorschrift)
adalah untuk kemanfaatan publik dan kepentingan umum sehingga tidaklah dapat
dipidana (Vos, 1950, halaman 167). Artinya, berdasarkan Pasal 50 KUHP
(Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang,
tidak dipidana), seorang yang menjalankan profesinya atau seorang pejabat
negara dalam melaksanakan tugas, kewajiban, dan kewenangannya berdasarkan UU
tidak dapat dipidana tanpa perlu penegasan dalam UU yang memberikan tugas,
kewajiban, kewenangan, dan hak kepadanya.
Sejumlah ketentuan dalam hukum positif kita
yang memberikan imunitas untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun
perdata dalam rangka melaksanakan tugasnya memperlihatkan ketidakpahaman
pembentuk UU terhadap konsep-konsep dasar hukum pidana. Hal ini disebabkan
hukum pidana telah memberikan perlindungan dalam Pasal 50 KUHP sebagaimana
tersebut di atas dan pasal yang demikian terdapat di dalam ketentuan umum
KUHP di semua negara di dunia ini. Dalam tataran praktis, imunitas yang
diberikan secara khusus tidak ada gunanya selama yang bersangkutan memenuhi
unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana.
Kedua, mengenai obstruction of justice.
Secara harfiah, obstruction of justice diartikan sebagai tindakan
menghalang-halangi proses hukum. Dalam konteks hukum pidana, obstruction of
justice adalah tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang
dilakukan oleh aparat penegak hukum—dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, dan
advokat—baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa.
Penafsiran doktriner terhadap obstruction
of justice adalah suatu perbuatan, baik melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dengan maksud menunda, mengganggu, atau mengintervensi proses hukum
dalam suatu kasus. Per definisi obstruction
of justice yang demikian mengandung makna bahwa tindakan yang dilakukan
sejak awal itu punya motif untuk menghalangi proses hukum. Pada prinsipnya,
obstruction of justice ini dapat dilakukan oleh siapa pun. Apakah itu orang
pribadi, kelompok kepentingan, aparat penegak hukum sendiri, termasuk pula
suatu kekuatan politik.
Obstruction
of justice dikualifikasikan sebagai tindak pidana,
tidak terlepas dari landasan filosofi asas legalitas dalam hukum pidana yang
bersandar pada postulat nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa UU pidana
sebelumnya.
Sebagai asas yang fundamental dalam hukum
pidana, postulat itu berasal dari tiga frase. Pertama, nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa UU). Kedua, noela
poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana). Ketiga, nullum
crimen sine poenal legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
UU). Terkait frase ketiga, lahirlah legalitas penuntutan dalam hukum pidana
yang berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut.
Kedalaman makna dan hakikat postulat
tersebut melahirkan dua fungsi asas legalitas. Pertama, fungsi melindungi,
yakni untuk mencegah tindakan sewenang-wenang negara terhadap warga negaranya
yang menurut Fletcher dalam The Basic Concepts of The Criminal Law sebagai
prinsip negatif asas legalitas. Kedua,
fungsi instrumentasi yang berarti dalam batas-batas yang ditentukan dalam UU,
pelaksanaan kekuasaan negara terhadap orang yang diduga terlibat atau
mengetahui suatu tindak pidana dibolehkan dalam rangka melindungi masyarakat
dari kejahatan.
Masih menurut Fletcher, fungsi
instrumentasi ini merupakan prinsip positif asas legalitas. Obstruction of
justice merupakan suatu pembangkangan terhadap fungsi instrumentasi asas
legalitas karena dianggap menunda, menghalangi, atau mengintervensi aparat
penegak hukum yang sedang memproses saksi, tersangka, atau terdakwa dalam
suatu perkara.
Ketiga, apakah obstruction of justice dalam
perkara korupsi merupakan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan dan
penuntutan serta pengadilan tipikor dalam menyidangkan kasus tersebut? Ada
yang berpendapat bahwa obstruction of justice dalam perkara korupsi bukanlah
kewenangan KPK dan pengadilan tipikor karena obstruction of justice bukanlah
tipikor, melainkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.
Penafsiran yang demikian bersifat
gramatikal yang hanya berpegang kepada UU Pemberantasan Tipikor semata.
Padahal, hukum acara yang mengatur proses hukum terhadap perkara korupsi
tidak hanya berlandaskan UU Pemberantasan Tipikor, tetapi juga mengacu pada
UU KPK dan UU No 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi
(United Nations Convention Against Corruption/UNCAC).
Kewenangan
KPK dan pengadilan tipikor
Jika melakukan penafsiran dengan metode
harmoniserende, yaitu menghubungkan antara satu UU dan UU lainnya yang saling
berkaitan, terlihat jelas bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan penyidikan
dan penuntutan terhadap obstruction of justice dalam perkara korupsi. Pasal 1
UU KPK menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan tipikor adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Dalam undang-undang a quo diatur mengenai
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.
Dengan demikian, obstruction of justice dalam perkara korupsi menjadi
kewenangan KPK dalam penyidikan dan penuntutan. Konsekuensi lebih lanjut
secara mutatis mutandis menjadi kewenangan dari pengadilan tipikor untuk
menyidangkannya.
Selain itu, obstruction of justice diatur dalam Pasal 25 UNCAC yang telah
diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Obstruction of justice adalah tipikor
yang bersifat mandatory offences. Artinya, state party yang telah
meratifikasi konvensi tersebut wajib memasukkan ketentuan a quo dalam hukum
nasionalnya. Pasal 25 UNCAC sepadan dengan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.
Terlepas dari berbagai ketentuan tersebut,
sebenarnya wacana obstruction of justice dalam perkara korupsi sebagai
kewenangan KPK sudah dipersoalkan dalam perkara Anggodo Widjojo, Ary Muladi,
dan Miryam S Haryani. Pengadilan tipikor memutuskan bahwa obstruction of
justice dalam perkara korupsi juga menjadi kewenangan KPK dalam menyidik dan
menuntut berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar