Memaknai
Angka Kemiskinan
Tasmilah ; Statistisi pada Badan
Pusat Statistik
|
KOMPAS,
20 Januari
2018
Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan
dari 10,70 persen pada Maret 2017 menjadi 10,12 persen pada September 2017.
Bagong Suyanto dalam artikelnya, ”Penurunan (Semu) Kemiskinan” (Kompas, 5/1),
menilai penurunan kemiskinan tersebut merupakan keberhasilan semu. Hal ini
disebabkan batasan kemiskinan yang dihitung BPS dinilai terlalu rendah
sehingga jumlah penduduk miskin yang sebenarnya bisa lebih besar.
Dalam menghitung angka
kemiskinan, BPS menggunakan konsep dan metode standar yang digunakan banyak
negara di dunia. BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur
dari sisi pengeluaran.
Penduduk miskin adalah
mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan 2.100 kalori per kapita per hari.
Garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Penggunaan pendekatan
pengeluaran dengan kebutuhan dasar kalori dan kebutuhan dasar nonmakanan
sudah lama diadopsi oleh banyak negara. Pengukuhan yang lebih kuat penggunaan
metode ini didasarkan rekomendasi PBB setelah pertemuan yang diprakarsai oleh
FAO dan WHO dalam Human Energy Requirement: Expert Consultation, yang
dilaksanakan di Roma, Italia, tahun 2001 dan 2005.
Berdasarkan penghitungan
BPS, garis kemiskinan Indonesia pada September 2017 sebesar Rp 387.160.
Artinya, penduduk Indonesia dengan pengeluaran per bulan di bawah Rp 387.160
tergolong penduduk miskin. Garis kemiskinan ini nilainya bervariasi untuk
setiap daerah di Indonesia. Garis kemiskinan tertinggi terdapat di Bangka
Belitung dengan nilai Rp 607.927 dan paling rendah di Sulawesi Selatan dengan
nilai Rp 294.358.
Tak
tepat pembanding
Mengakhiri segala bentuk
kemiskinan merupakan tujuan pertama dari Program Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs). Program tersebut merupakan kelanjutan
dari Millennium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir pada 2015. Untuk
mengevaluasi program internasional tersebut, tentu dibutuhkan alat ukur yang
seragam di seluruh dunia agar bisa dibandingkan antarwaktu dan antarnegara.
Oleh karena itu,
berdasarkan penghitungan oleh Bank Dunia, ditetapkan garis kemiskinan
internasional sebesar 1,9 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya
beli) per kapita per hari. Artinya, yang dianggap miskin di dunia adalah yang
memiliki pengeluaran kurang dari 1,9 dollar AS PPP per hari.
Angka paritas daya beli
menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah
kebutuhan barang dan jasa seharga 1 dollar di AS. Dengan demikian, konversi
garis kemiskinan menurut Bank Dunia sebesar 1,9 dollar AS per kapita per hari
bukan dinilai dengan kurs rupiah saat ini. Sebagai contoh, pada 2012 nilai 1
dollar AS PPP ekuivalen dengan Rp 5.704,67 di Indonesia, padahal pada tahun
tersebut rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.384 per dollar AS.
Apabila menggunakan
batasan Bank Dunia, justru persentase penduduk miskin di Indonesia jadi lebih
sedikit. Tidak ada yang salah dengan kedua data tersebut karena tujuan
penggunaan datanya berbeda.
Bagi pemerintah, tentu
angka kemiskinan yang dihitung oleh BPS lebih menggambarkan kondisi Indonesia
secara riil. BPS telah melakukan penghitungan garis kemiskinan dengan metode
yang sama sejak 1984 sehingga angkanya dapat dibandingkan antarwaktu sebagai
bahan evaluasi pembangunan.
Demikian juga kurang tepat
jika menyandingkan garis kemiskinan dengan upah minimum regional (UMR). Hal
ini karena UMR dihitung berdasarkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan
hidup layak bagi pekerja lajang. Komponen tersebut tidak hanya meliputi
sandang, pangan, dan papan yang layak, tetapi juga mencakup kebutuhan
komunikasi, hiburan/rekreasi, bahkan tabungan. Tentu saja komponen itu
melebihi kebutuhan dasar untuk hidup pada penghitungan garis kemiskinan.
Faktor
penyebab
Tingkat kemiskinan yang
masih bertengger di sekitar angka 10 persen dalam tiga tahun terakhir
menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia tidak mudah. Persentase
jumlah penduduk miskin sebesar 10 persen memang dikenal sebagai batas
kemiskinan kronis. Kemiskinan kronis memiliki ciri utama derajat kapabilitas
yang rendah pada tingkat pendidikan dan kesehatan. Hal ini mengakibatkan
program pengentasan rakyat miskin yang bersifat pemberdayaan tidak akan
berpengaruh banyak dalam mendorong mereka keluar dari kemiskinan.
Meski pertumbuhan ekonomi
yang terjadi mampu meningkatkan partisipasi kerja, kesempatan kerja yang
tersedia belum menciptakan pekerjaan yang layak dan memihak orang miskin.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi harus difokuskan pada sektor-sektor yang
menyerap banyak tenaga kerja dan jadi tumpuan hidup bagi masyarakat miskin,
seperti sektor yang bisa diperdagangkan.
Sektor ini terdiri atas
sektor primer, seperti pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan
penggalian serta industri pengolahan. Pada periode 2010-2016, sektor ini
memiliki pertumbuhan ekonomi selalu di bawah rata-rata. Hal ini mengakibatkan
distribusi hasil pembangunan yang kurang menguntungkan bagi 46,27 persen
penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Demikian juga dengan
pembangunan infrastruktur. Meski berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi, ia belum signifikan dalam menyediakan kesempatan kerja dan
mengurangi kemiskinan. Karena itu, pemerataan infrastruktur yang selama ini
digalakkan pemerintah harus mengutamakan daerah pinggiran dan pedesaan
mengingat kemiskinan lebih banyak terjadi di pedesaan. Program padat karya
tunai dengan pemanfaatan dana desa bisa menjadi pendorong dalam mengurangi
kemiskinan, terutama di pedesaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar