Medan
Geopolitik Baru
Luhut B Pandjaitan ; Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman RI
|
KOMPAS,
22 Januari
2018
Lima tahun ke depan, kita harus mewaspadai
sebuah tatanan politik baru dunia dengan munculnya beberapa pemimpin
pemerintahan generasi baru bersamaan dengan semakin besarnya pengaruh
teknologi pada daya saing sebuah negara.
Pengertian generasi baru tidaklah selalu
identik berusia muda, tetapi bisa juga karena tokoh tersebut muncul dan
melejit di luar perkiraan banyak kalangan, entah karena sebelumnya hanya
berkiprah di daerah atau belum pernah jadi elite politik di tingkat nasional.
Di kawasan Asia Tenggara, Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo
Duarte masuk kategori tersebut. Meskipun keduanya berbeda usia cukup jauh,
keduanya bukan pejabat di pusat pemerintahan, melainkan datang dari
”pinggiran”.
Para pemimpin politik generasi baru umumnya
melakukan gebrakan atau mengambil keputusan politik di luar norma umum (out of the box) dan
tindakannya berdampak strategis, baik di kawasan maupun di tingkat dunia,
tergantung dari siapa aktor bermain. Namun, ini bisa memunculkan gesekan baru
di antara dua negara yang sebelumnya tak ada atau tak timbul di permukaan.
Graham Allison dari John F Kennedy School di Harvard menyebutnya ”Thucydides’s Trap” dalam
bukunya teranyar, Destined
for War (2017). Thucydides adalah sejarawan Yunani kuno yang
mengamati penyebab meletusnya Perang Peloponnesia antara bangsa Athena dan
Sparta pada 5 SM. Kesimpulannya, kalau ada kekuatan (baca: negara) baru
muncul dan dianggap bisa mengancam kekuatan yang ada (ruling power), pasti
terjadi bentrok dan kekerasan dari yang merasa terganggu hegemoninya.
China yang muncul sebagai kekuatan baru di
dunia mengubah geopolitik masa kini. Daftar negara yang berhubungan erat
secara politik dan ekonomi kian banyak, dan pada sisi lain AS kian
ditinggalkan dan dianggap masa lalu. Presiden Xi Jinping dalam pidato awal
2018 secara tegas mengatakan, ”China dengan positif mendorong pembangunan
bersama Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt, One Road/OBOR) selalu menjadi
pembangun bagi perdamaian dunia, kontributor perkembangan global, dan
pemelihara tata tertib internasional….” Diakui atau tidak, keadidayaan AS
kini meredup dan Washington terperangkap ”Jebakan Thucydides”.
Di kawasan lain, tindakan agresif Putra
Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (32) di dalam negeri dan langkah
politik luar negerinya membuat peta kawasan Timur Tengah berubah. Kunjungan
Raja Salman ke China dan Rusia pertama kali dalam sejarah hubungan diplomatik
mereka (diikuti kontrak dagang dan militer dalam jumlah besar) adalah bagian
dari kebijakan baru Arab Saudi yang selama ini sangat konservatif dan
berkiblat ke AS. Arab Saudi sudah lama tak nyaman dengan Iran karena
penyebaran paham Syiah dan pengaruh politik mereka di Irak, Suriah, Yaman,
dan Lebanon; kini mendekati Rusia dan China yang dikenal dekat dengan Iran.
Pangeran Salman (dikenal sebagai MBS) juga
membekukan hubungan politik dan ekonomi dengan Qatar, padahal mereka
sama-sama duduk di Dewan Kerja Sama Teluk. Dampaknya, Emir Qatar Sheik Tamin
al-Thani (37) kemudian bersekutu erat dengan Iran dan Turki yang punya
kepentingan strategis sejalan di kawasan itu mengingat Qatar yang hanya
sepertiga luas Jawa Barat punya cadangan gas ketiga terbesar di dunia setelah
Rusia dan Iran. Qatar juga aktif mencari sekutu dagang baru dan kawan politik
yang sejalan dengan kepentingannya di Teluk dan di luar kawasan itu, seperti
Indonesia.
Turki tadinya, seperti Arab Saudi, adalah
aliansi tradisional AS, kini di bawah Presiden Recep Erdogan menjadi sangat
aktif di kawasan dan kebijakannya tak selalu sejalan dengan AS. Ungkapan
populer di Arab, ”musuh dari kawanku adalah musuhku juga”, masih relevan
hingga kini dan terlihat bagaimana Erdogan amat aktif dalam diplomasi masalah
Palestina dengan antara lain jadi tuan rumah KTT Darurat OKI mengenai sikap
AS yang memindahkan kedubesnya di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Baik
Turki maupun Irak punya masalah serupa dengan suku Kurdi.
Hanya kondisi politik dan ekonomi dalam
negeri yang bisa membuat Arab Saudi, Iran, dan Turki mengurangi ambisi
persaingan pengaruh di kawasan itu, dan celakanya ketiga negara masih
menyimpan bom waktu di dalam negeri masing-masing. Gerakan reformasi MBS
memang menarik simpati generasi muda, tetapi membuat kelompok tradisionalis,
bangsawan yang tersingkir dan kaum Wahabi, tak senang.
Di Iran, aksi-aksi unjuk rasa besar dengan
alasan ketidakpuasan ekonomi oleh kaum muda tak bisa dipandang enteng dan di
Turki tangan besi tak serta-merta menjamin keamanan dari bom dan teror.
Gagalnya Arab Spring (Musim Semi Demokrasi) di Tunisia, Libya, dan Mesir
menunjukkan dinamika dalam negeri bisa menunjukkan hasil tak terduga dan
optimisme munculnya demokrasi dikalahkan oleh pertimbangan pragmatis penguasa
yang baru.
Teknologi dan kekuasaan
Perkembangan teknologi berpengaruh pada
nilai tawar dalam politik internasional. Menurut mantan Menlu AS Henry
Kissinger dalam buku World
Order (2014), yang pertama adalah teknologi senjata nuklir.
Monopoli teknologi itu pecah tahun 1949 ketika akhirnya Uni Soviet berhasil
melakukan percobaan bom nuklir pertamanya. Sejak itu anggota ”kelab nuklir”
bertambah banyak, entah karena teknologinya dibagi dengan sukarela, dicuri,
atau dibeli dengan cara tidak sah. Yang jelas sekarang Inggris, Perancis,
Israel, China, India, Pakistan, dan Korea Utara, serta Iran sampai tingkatan
tertentu, punya teknologi senjata nuklir.
Andaikata Korea Utara tak punya senjata
nuklir, pastilah leverage Kim
Jong Un (33) terhadap AS tak bisa seperti sekarang. Apabila Iran tak
mendalami teknologi tersebut, negara itu tentu tidak akan dianggap sebagai
pesaing yang menakutkan oleh Arab Saudi yang, walau kaya raya, tidak punya
minat pada teknologi senjata nuklir.
Kedua, menurut Kissinger, adalah teknologi
informasi (TI). Ia melihat bagaimana pilpres di AS yang mengoptimalkan TI
sejak kampanye Obama pertama kali mengubah cara-cara dan keterlibatan tatap
mata menjadi kontes antarpakar internet di dunia maya. Marketing of ideas dijalankan
mesin-mesin yang mampu menyusup ke dalam pikiran dan hati (hearts and mind)
individu secara massal dan fungsi kandidat sekadar pencari dana kampanye
ketimbang pengelaborasi isu-isu politik.
TI juga telah mengubah proses demokrasi di
banyak negara. Jika ada kelompok masyarakat yang hendak memberikan tekanan
kepada pemerintahnya untuk berubah menjadi demokratis, kelompok masyarakat
itu cukup menyebarluaskan tuntutannya dan pesan-pesan demokrasi secara
digital, dan biasanya negara-negara Barat (termasuk AS) akan cepat merespons
dengan dukungan politik dan juga dana pada ”gerakan digital” semacam yang
dilakukan anak-anak muda di Iran sekarang, apa pun motif dukungan tersebut.
Akan tetapi, jangan lupa, teknologi canggih
punya sisi lain yang memprihatinkan. Martin Ford dalam buku The Rise of the Robots (2016)
mengatakan, akibat kemajuan teknologi, ada enam perkara besar yang dampaknya
terasa di masyarakat, antara lain, pertama, kenaikan pendapatan masyarakat
berpenghasilan tetap menjadi stagnan. Kedua, menurunnya lapangan kerja baru,
sementara waktu tunggu untuk mencari pekerjaan semakin lama. Ketiga, para
lulusan baru perguruan tinggi kian sulit mencari pekerjaan. Semua karena
munculnya teknologi robotik yang kian canggih yang mampu menggantikan kerja
manusia dengan produktivitas berlipat dan biaya menurun drastis karena robot
tidak pernah menuntut kenaikan gaji!
Menurut Ford, tahun 1998, para pekerja di
AS secara total bekerja selama 194 miliar jam. Lima belas tahun kemudian,
nilai hasil kerja itu tumbuh menjadi 3,5 triliun dollar AS, naik 42 persen
dibandingkan 15 tahun sebelumnya, tetapi jam kerjanya ternyata tetap 194
miliar jam. Bisa disimpulkan, dalam 1,5 dekade tak ada pertambahan jam kerja
(no growth on man-hours)
meski produktivitas naik akibat efisiensi dan penggunaan robotik
besar-besaran, padahal penduduk AS bertambah 40 juta orang dan ribuan
lapangan kerja baru tercipta. Penggunaan teknologi robotik secara masif
membuat China jadi salah satu negara manufaktur termaju di dunia.
Namun, selain itu, ada yang tak disebutkan
Kissenger, tetapi punya dampak strategis, yaitu teknologi gas serpih (shale gas) di AS. Dengan
teknologi yang kian hari kian canggih dan membuat biayanya semakin murah, AS
berubah dari negara importir neto minyak jadi eksportir minyak. Menurut
Institute for Energy Research (IER, 2016) cadangan minyak AS sekarang 3,5
kali cadangan Arab Saudi berkat gas serpih tadi. Ini salah satu alasan
mengapa Presiden Trump berani mengambil keputusan kontroversial memindahkan
kedubesnya tanpa banyak mempertimbangkan pandangan sekutu-sekutunya di
Timteng.
AS tak dibebani lagi tugas untuk
mengamankan kawasan yang kaya minyak itu, seperti pada era pra-gas serpih di
mana pasokan minyak dari Teluk adalah sumber utama untuk menggerakkan perekonomiannya.
Kehadiran mereka di kawasan tersebut kini karena ada komitmen politik lama
dan menjaga keseimbangan belaka, terutama karena faktor Iran. Sementara para
penguasa di Teluk sadar betul ”kartu minyak” tak laku untuk dimainkan lagi
untuk menekan AS, lebih-lebih pada masa harga minyak merosot tajam dari
112,70 dollar AS pada 2012 menjadi hanya sekitar 50 dollar AS per barrel
sekarang ini, yang menyebabkan defisit pada APBN.
Arab Saudi mencoba mengalihkan dana
APBN-nya, yang 90 persen dari minyak, ke sumber lain yang sebelumnya tak
pernah terpikirkan. Beberapa minggu lalu untuk pertama kali dalam sejarah,
Arab Saudi menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 5 persen pada semua jenis
jualan dan sekaligus menaikkan harga BBM kendaraan di dalam negeri (Kompas, 5/1).
Implementasi PPN pada 2018 akan memberikan pemasukan 21 miliar dollar AS,
cukup signifikan untuk menambal defisit APBN-nya, negara-negara Teluk lain
juga dalam tahun ini akan menerapkan PPN.
Posisi Indonesia
Kita di Indonesia harus pandai-pandai
membaca peta baru ini dan lincah berselancar pada era ini untuk kepentingan
nasional kita. Bung Hatta di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat, 2 September 1948, membacakan pidatonya yang amat terkenal
”Mendayung di antara Dua Karang”. Ia antara lain mengatakan, ”Tiap-tiap orang
di antara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau
golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan
menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada ’realitiet’ kepada
kepentingan negara setiap waktu….”
Istilah ”kepentingan negara” yang
didengungkan 70 tahun lalu sangat relevan dengan zaman sekarang karena atas
nama ”kepentingan negara”, kita membina hubungan baik dan menerima investasi
ekonomi dengan negara mana pun. Atas nama ”kepentingan negara” pula, politik
luar negeri yang bebas dan aktif meluweskan posisi Indonesia dekat dengan
sebanyak mungkin negara tanpa takut dicap sebagai anteknya. Di kawasan ini
hanya Indonesia dengan jumlah penduduk 262 juta dan punya potensi ekonomi
yang besar bisa menjadi counterweight bagi
China, tetapi sekaligus mitra ekonomi baru bagi negara itu (Howard W French,
2017).
Presiden Jokowi memberikan arahan yang amat
jelas mengenai siapa saja yang ingin berinvestasi di Indonesia. Pertama,
teknologi yang dibawa ke Indonesia harus ramah lingkungan. Kedua, sebanyak
mungkin menggunakan tenaga serta keahlian bangsa Indonesia. Ketiga, investor
harus mendidik tenaga-tenaga Indonesia menjadi tenaga yang ahli di bidangnya.
Keempat, harus ada alih teknologi dalam periode waktu tertentu.
Ini syarat-syarat yang jelas melindungi
kepentingan negara dan jauh dari kepentingan pribadi atau golongan. Karena
itu, sangat disayangkan masih ada pihak-pihak yang mencurigai hubungan
ekonomi yang baik kita dengan satu atau dua kekuatan ekonomi baru di dunia
sebagai ancaman ketimbang peluang. Di Indonesia, tiga tahun terakhir banyak
kalangan lebih senang menyebarkan sikap-sikap pesimistis dan malahan sinis
terhadap apa pun yang dilakukan pemerintah, sering tanpa argumentasi yang
obyektif.
Pada era media sosial, penyebaran informasi
yang tidak tepat malahan sering dianggap sebagai kebenaran oleh pembacanya,
dan sayangnya pesimisme justru tumbuh dari data yang tidak benar tersebut
meski banyak ”generasi now”
sulit mengerti mengenai hubungan antara ancaman komunisme dan masa kelam
Indonesia yang dulu. Apabila kita rela dan sepakat tak membuang energi untuk
bertengkar soal isu-isu yang tak substansial, yakinlah tenaga berlebih itu
bisa digunakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Tenaga yang
berlebih sangat diperlukan karena untuk mengatasi ketertinggalan, Indonesia
tak cukup melakukan lompatan katak (frog-leap),
tetapi harus melakukan lompatan kuantum (quantum
leap). Lompatan jauh ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar