Politik APBN
Kacung Marijan ;
Pengajar Ekonomi Politik dan
Guru Besar FISIP Unair
|
KOMPAS, 20 Juni 2016
Salah satu asumsi
politik adalah bahwa sumber-sumber yang ada di masyarakat itu terbatas.
Adalah tugas pemerintah membuat alokasi dan distribusi serta realokasi dan
redistribusi sumber-sumber yang terbatas itu secara adil.
Tugas pemerintah itu
setiap tahun termanifestasi ke dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Melalui APBN, pemerintah mengalokasikan anggaran itu untuk
berbagai sektor dan mendistribusikannya ke daerah atau kelompok mana saja.
Manakala dijumpai adanya ketimpangan antarsektor, daerah, dan
kelompok-kelompok, pemerintah biasanya membuat kebijakan realokasi dan
redistribusi.
Ketika sumber-sumber
(pendapatan) yang terbatas itu relatif lancar perjalanannya, kebijakan
realokasi dan distribusi serta realokasi dan redistribusi bisa lebih leluasa
dilakukan. Akan tetapi, manakala sumber-sumber itu seret, kebijakan semacam
itu tidak mudah dilakukan.
Alokasi dan distribusi
Hal inilah yang
terjadi pada tahun-tahun belakangan. Implikasi kelesuan ekonomi dunia dan
dalam negeri telah berpengaruh pada berkurangnya pendapatan negara, baik dari
pajak maupun nonpajak. Berkurangnya pendapatan itu sudah terasa sejak tahun
lalu dan lebih terasa tahun ini, yang memaksa pemerintah melakukan perubahan
asumsi di dalam penyusunan APBN Perubahan (APBN-P).
Pendapatan dari sektor
pajak, misalnya, dipatok turun Rp 19,6 triliun dan pendapatan negara bukan
pajak dipatok turun Rp 68,4 triliun (Kementerian Keuangan, 2016).
Konsekuensinya, terdapat perubahan makna dari perubahan tersebut. Kalau pada
tahun-tahun sebelumnya perubahan bermakna akan adanya penambahan anggaran,
tahun ini bermakna pada pengurangan anggaran sebesar Rp 50 triliun, dan
belakangan dilakukan pemotongan jadi Rp 70 triliun.
Sebagai konsekuensi
dari perubahan semacam itu, terdapat dua isu pokok di dalam APBN-P tahun ini.
Pertama, berkaitan dengan kebijakan alokasi dan distribusi serta realokasi
dan redistribusi, apakah sesuai dengan janji-janji pemerintah yang berfokus
pada Nawacita? Kedua, terkait isu defisit anggaran, yang mengalami kenaikan
dari 2,15 persen menjadi 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Mengingat sumber
pendapatan negara bertambah terbatas, pertimbangan pokok pemerintah dalam
membuat kebijakan alokasi dan distribusi serta realokasi dan redistribusi
adalah melakukan prioritasisasi terhadap program-program yang dibuat.
Sejak awal memasuki
gelanggang pemerintahan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menyadari
semakin terbatasnya sumber-sumber itu. Karena itu, ada dua skenario pokok
yang dicanangkan. Pertama, melakukan restrukturisasi kementerian dan lembaga
pemerintahan. Kedua, menggunakan prinsip money follows programs/activities di
dalam menentukan kebijakan alokasi dan distribusi serta kebijakan realokasi
dan redistribusi.
Skenario pertama tak
berhasil lantaran restrukturisasi kementerian mati suri karena kebutuhan
menampung pendukung politik lebih besar. Sementara itu, pembubaran lembaga-lembaga
yang tumpang tindih juga belum cukup memuaskan. Implikasinya, penganggaran
yang mempertimbangkan eksistensi kementerian dan lembaga juga tetap tidak
bisa dihindari.
Skenario kedua dicoba
untuk lebih konsisten. Sebagaimana tecermin di dalam APBN-P, terdapat
pemotongan besar-besaran program-program yang bernuansa pemborosan. Sebutlah
seperti perjalanan dinas dan kegiatan-kegiatan yang diperkirakan tidak
memiliki impak yang jelas. Selain itu, juga terdapat upaya prioritasisasi
program, seperti untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar (pendidikan
dan kesehatan), dan pembangunan pedesaan melalui dana desa.
Meski demikian,
prioritasisasi program-program pembangunan yang ada dalam APBN-P 2016 ini
juga sulit optimal karena tetap tersandera oleh struktur kementerian/lembaga
yang masih cukup gemuk tersebut. Selain itu, cara menentukan prioritasisasi
juga terlihat tidak sepenuhnya didasarkan prioritas nasional secara
menyeluruh, melainkan juga didasarkan pada prioritas kementerian/lembaga yang
terkait. Hal ini, misalnya, terlihat dari cara pemotongan yang lebih
menggunakan jalan 'sama rata' dan bukan pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih
mendesak.
Tantangan defisit
Usulan defisit dalam
APBN-P sebesar 2,48 persen dari PDB secara sepintas tak mengandung tantangan.
Defisit ini masih di bawah ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam penjelasan Ayat 3 Pasal 12 UU ini dikatakan, "defisit anggaran
dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto."
Meski demikian,
rencana itu perlu dilaksanakan secara hati-hati mengingat asumsi penerimaan
pendapatan negara, pajak maupun bukan pajak pajak, belum tentu terealisasi
secara baik. Sampai akhir Mei 2016, misalnya, penerimaan pajak baru mencapai
Rp 364,1 triliun atau 26,8 persen dari yang ditargetkan.
Dalam usulan APBN-P
2016 memang dicantumkan adanya penerimaan pendapatan dari pengampunan pajak
sebesar Rp 165 triliun. Penerimaan ini, kalau bisa diwujudkan, bisa jadi
penyegar di dalam penerimaan negara saat ini dan penerimaan pajak untuk
tahun-tahun mendatang. Namun, target ini oleh sejumlah ekonom dipandang
terlalu tinggi dan karena itu pula akan sangat berat untuk direalisasi.
Melalui asumsi bahwa
target penerimaan negara belum tentu dapat direalisasi dan pengeluaran dapat
dilakukan secara maksimal, terdapat kemungkinan pembengkakan defisit
anggaran. Pengalaman 2015 telah menjadi pelajaran berharga. Ketika itu,
defisit anggaran yang dipatok di APBN-P 2015 sebesar 1,9 persen. Tetapi,
mengingat realisasi anggaran baru 91,2 persen dan penerimaan negara tak
sesuai target, telah membuat defisit itu membengkak menjadi 2,8 persen.
Berangkat dari
pengalaman dan asumsi seperti itu, defisit anggaran 2016 bisa berpotensi
membengkak di atas 3 persen. Sekiranya hal demikian yang terjadi, itu akan berpotensi
melahirkan kegaduhan politik baru. Presiden bisa dianggap melanggar UU
tentang Keuangan Negara, yakni tidak mampu mengendalikan defisit anggaran.
Memang, saat ini peta
politik di DPR telah bergeser. Mayoritas partai-partai di DPR telah mendukung
pemerintah sehingga pemerintah bisa lebih leluasa mengendalikan politisi di
Senayan. Akan tetapi, ketika pelanggaran itu terjadi, situasinya bisa menjadi
lain. Banyak pihak akan menggorengnya.
Kita semua juga tahu
bahwa pasca reformasi, politik tidak hanya di Senayan. Politik juga ada di
dalam masyarakat. Isu pelanggaran UU akan menjadi isu yang mematuk
perbincangan publik yang sangat besar, dan pada akhirnya kegaduhan politik
juga akan menjalar ke masyarakat.
Menyadari hal seperti
itu, tidak ada jalan lain, pemerintah harus melakukan pengetatan pengeluaran.
Di antaranya adalah prioritasisasi pembangunan harus benar-benar dilakukan
secara lebih sistematis, melalui perevisian-perevisian anggaran, misalnya,
ketika APBN-P telah disahkan. Pengetatan seperti itu memang tidak
mengenakkan. Akan tetapi, itu lebih baik daripada kegaduhan politik akibat
pelanggaran UU Keuangan Negara mengenai defisit anggaran. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar