Terorisme dan Kewaspadaan Nasional
Muhammad Farid ;
Fellow pada Lemhannas RI
|
MEDIA INDONESIA,
31 Maret 2016
PADA Minggu (27/3), dunia
dikejutkan aksi terorisme berupa bom bunuh diri di Lahore, Pakistan, yang
menewaskan 72 orang dan melukai ratusan orang lainnya (Media Indonesia,
(29/3). Yang mengenaskan, aksi itu terjadi di saat warga sipil sedang berbaur
di taman ketika libur Paskah. Jamaat-ul-Ahrar, kelompok yang semula merupakan
bagian dari Tehrike Taliban tetapi kemudian bergabung dengan Islamic States
(IS), mengaku bertanggung jawab atas aksi terorisme itu.
Dengan kejadian di Lahore
tersebut, hanya dalam waktu kurang dari 90 hari di 2016, dunia sudah
dikejutkan setidaknya oleh lima aksi brutal teroris, antara lain dua kali
Istanbul (Turki), Brussels (Belgia), dan di Tanah Air (14/1). Korban tewas
dalam rangkaian aksi terorisme itu sedikitnya mencapai 127 jiwa (termasuk
lima teroris dalam aksi di Jakarta), dan yang luka-luka mencapai ratusan
orang.
Secara umum, benang merah
berbagai aksi terorisme sepanjang 2016 dengan mudah terlihat, antara lain
berlindung di balik isu agama untuk menyebarkan kebencian. Sebagai contoh,
kelompok yang mengaku bertanggung jawab terhadap serangan di Tanah Air maupun
di Lahore mengklaim sebagai bagian dari IS. Pada aksi di Jalan MH Thamrin,
teroris menyebar kebencian dengan mengklaim bahwa target aksi mereka ialah
warga asing serta aparat keamanan yang melindungi para warga asing tersebut.
Adapun aksi di Lahore, teroris mengklaim mencari sasaran orang Kristen.
Benang merah lainnya ialah
pelaku-pelaku terorisme tersebut merupakan bagian dari jaringan transnasional
yang terkoneksi dengan IS. Selain kedua benang merah tersebut, terlihat juga
bahwa sekalipun para teroris mengklaim menargetkan sasaran tertentu,
korbannya tetap acak. Sebagai contoh, walaupun teroris di Lahore mengklaim
menyasar orang Kristen, pada kenyataannya banyak dari korban justru beragama
Islam. Pola itu berbeda dengan beberapa (tidak semua) aksi terorisme di masa
lalu yang target dan korbannya spesifik dari kalangan tertentu. Sebagai
contoh, serangan kelompok teroris Black September yang beranggotakan
orang-orang Palestina menyerang perkampungan atlet Israel yang menewaskan 11
orang saat Olimpiade Muenchen, Jerman Barat, pada 1972.
Manipulasi publik
Akan tetapi, terlepas dari
benang merah umum yang sudah begitu jelas terlihat, yang perlu didalami lebih
lanjut, terutama dalam konteks di dalam negeri, ialah ancaman potensial
apakah yang mungkin timbul dari berbagai aksi terorisme belakangan ini.
Pada tataran tertentu, ancaman
potensial terorisme dapat digali dari definisi maupun tujuan umum terorisme
itu sendiri. Pada 17 Maret 2005, Panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menjabarkan bahwa terorisme adalah 'sebuah aksi atau tindakan yang dengan
sengaja menimbulkan kematian atau kerugian fisik yang serius kepada
masyarakat sipil atau nonkombatan, dengan tujuan mengintimidasi masyarakat
atau memaksa suatu pemerintahan atau organisasi internasional untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu'.
Lebih lanjut, mantan analis
terorisme pada kepolisian New York, Amerika Serikat (NYPD), Lydia Khalil,
dalam makalahnya ang berjudul Public
Perception and Homeland Security mengatakan bahwa target sesungguhnya
dari serangan teroris ialah persepsi publik. Dalam hal ini, senjata ampuh
terorisme ialah tindakan memanipulasi persepsi publik dengan menciptakan
ketakutan akan organisasi atau pemimpin mereka. Pada akhirnya ketakutan itu
diharapkan mampu melemahkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan nasional
untuk melindungi masyarakat dari serangan teroris.
Secara umum dan sederhana,
definisi terorisme menurut Panel PBB, analisis Khalil, maupun benang merah
berbagai aksi terorisme belakangan ini dapat memberi gambaran ancaman
potensial terorisme terhadap Indonesia, yakni efek psikologis berupa
melemahnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan nasional yang pada
gilirannya mengancam integrasi nasional. Apalagi Indonesia adalah bangsa
majemuk yang terdiri dari beragam agama, etnik, ras, dan golongan.
Berkaca pada kejadian di
Jakarta (14/1), pemerintah dan rakyat Indonesia telah bersama-sama
menunjukkan sikap untuk tidak mau tunduk pada terorisme. Dalam waktu singkat,
pesan dengan tanda pagar #KamiTidakTakut
menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan di media sosial seperti
Twitter atau Facebook.
Senada dengan masyarakat,
Presiden Joko Widodo dengan pilihan kata yang gamblang mengajak masyarakat
untuk tidak boleh takut dan kalah dengan aksi teror serupa. Sikap tegas
masyarakat dan pemerintah merupakan sikap yang sangat konstruktif karena
dalam hal ini, pesan-pesan keberanian tersebut paling tidak mampu mengurangi
efektivitas psikologis dari aksi terorisme itu sendiri.
Namun, keberanian saja tentu
tidak cukup dalam upaya menangkal ancaman potensial terorisme. Lebih jauh,
upaya penangkalan itu memerlukan ketangguhan sistem kewaspadaan nasional yang
merupakan kualitas kesiapan dan kesiagaan yang harus dimiliki oleh bangsa
Indonesia untuk mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak dini, dan melakukan
aksi pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Dalam
hal ini, kewaspadaan nasional harus bertolak dari keyakinan ideologis dan
nasionalisme yang kukuh, serta perlu didukung oleh usaha-usaha pemantauan
sejak dini dan terus-menerus terhadap berbagai implikasi dari situasi serta
kondisi yang berkembang baik di dalam maupun luar negeri.
Peran vital
Pada konteks kewaspadaan
nasional inilah, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI)
berpandangan bahwa Indonesia saat ini memerlukan sistem peringatan dini (early warning system) berskala
nasional guna menghadapi ancaman tradisional (ancaman militer) maupun ancaman
nontradisional (ancaman nonmiliter). Sistem ini berguna untuk menghindari
pendadakan dan kesimpangsiuran informasi ketika suatu situasi semakin genting
dan mendekati titik krisis. Dalam hal ini, intelijen negara serta Kementerian
komunikasi dan Informatika punya peran sangat vital.
Selain itu, pimpinan nasional
dan daerah, serta pimpinan berbagai komponen masyarakat, harus memahami
manajemen konflik, dalam pengertian bagaimana menangani konflik secara
efektif melalui pendekatan preemtif, preventif, hingga represif agar tidak
berkembang menjadi krisis yang membahayakan integrasi nasional. Sebagai
gambaran, terorisme merupakan salah satu taktik yang digunakan sebagian
kelompok dalam situasi konflik.
Dalam tataran perundangan,
Indonesia saat ini membutuhkan adanya undang-undang keamanan nasional yang
menjadi payung hukum komprehensif bagi penyelenggaraan keamanan nasional
dalam suatu mekanisme yang strategis dan terpadu, serta berjati diri
Indonesia. Tidak kalah pentingnya ialah adanya upaya menjaga perasaan sebagai
satu komunitas nasional dengan mengacu pada ideologi Pancasila dan UUD NRI
1945. Sebagai gambaran mengenai pentingnya penegasan ideologi nasional,
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jumat (15/1), menyatakan bahwa terorisme
adalah masalah ideologi sehingga penanganannya tidak dapat dilakukan dengan
hukum saja, tetapi dengan pencerahan untuk membuyarkan ideologi yang
bersangkutan.
Di luar pandangan-pandangan
tersebut, dalam bidang ideologi Indonesia membutuhkan sebuah strategi untuk
menghadang sekaligus menetralisasi ideologi pendorong terorisme masuk dan
berkembang di Tanah Air. Dalam tataran pendidikan, misalnya, perlu
dipertimbangkan untuk merevisi kurikulum mata pelajaran agama agar lebih
menonjolkan aspek-aspek kemanusiaan, toleransi, kejujuran, dan perdamaian, di
samping segi peribadatan tentunya.
Selain itu, negara perlu lebih
mengembangkan kerja sama dengan ormas-ormas Islam yang memiliki jaringan luas
seperti NU dan Muhammadiyah, serta berbagai komponen masyarakat lainnya untuk
menangkal berkembangnya pemikiran radikal di tengah masyarakat yang lebih
banyak bersumber dari luar Tanah Air.
Berbagai kasus terorisme
akhir-akhir ini menyadarkan kita bahwa diperlukan paduan keberanian negara
dan masyarakat, kuatnya penegakan hukum, serta gencarnya usaha menangkal
paham-paham radikal sejak dini untuk menangkal ancaman potensial terorisme.
Hanya dengan begitulah kita dapat menjaga rasa aman, suatu hal yang sangat
dibutuhkan dalam pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar