Potensi Penyelamatan Sandera
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional
UI
|
MEDIA INDONESIA,
01 April 2016
PEMBAJAKAN atas kapal berbendera Indonesia terulang kembali.
Kali ini kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 dibajak pihak yang
mengaku kepada pemilik kapal dari kelompok Abu Sayyaf. Saat dibajak, kedua
kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju
Batangas, Filipina Selatan. Pembajak telah menyandera 10 anak buah kapal
(ABK) berkewarganegaraan Indonesa.
Pemerintah langsung bergerak dan terus melakukan upaya penyelamatan.
Menurut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pembebasan terhadap WNI
merupakan prioritas. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan upaya
penyelamatan atas WNI. Kewajiban itu didasarkan pada diplomatic protection. Dalam konsep ini ketika warga negara dalam
suatu kesulitan di luar negaranya, negara memiliki kewajiban untuk
melindungi. Menteri Retno dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah
berkomunikasi dengan mitra masing-masing dari Filipina. Tindakan ini sudah
tepat karena para sandera dan kapal saat ini dikabarkan berada di wilayah
kedaulatan negeri jiran tersebut. Otoritas Indonesia tidak seharusnya
melakukan upaya penyelamatan dengan menggunakan aparatnya tanpa berkoordinasi
dengan otoritas Filipina. Ini penting karena Indonesia harus menghormati
kedaulatan Filipina.
Pakistan pernah berang terhadap Amerika Serikat ketika pasukan
elite AS Navy Seal melakukan serangan terhadap Osama bin Laden pada 2011 di
negara tersebut. Operasi yang dilancarkan saat Osama diketahui berada di
Pakistan tanpa memberi tahu otoritas setempat.
Jadi rujukan
Pengalaman Indonesia untuk menyelamatkan sandera berkewarganegaraan
Indonesia sudah banyak. Semisal pembebasan ABK NV Kudus 2014 yang dibajak
oleh para pembajak Somalia. Demikian pula dalam peristiwa pembajakan pesawat
udara Garuda Woyla di Bangkok, Thailand pada 1981.
Dalam pembebasan ABK NV Kudus memang operasi yang dilakukan
tanpa berkoordinasi dengan aparat setempat. Ini karena di Somalia ketika itu
tidak ada pemerintahan yang efektif. Operasi penyelamatan pun dilakukan oleh
pasukan katak (Kopaska) TNI-AL dan berhasil.
Dalam kasus saat ini maka yang dapat dijadikan rujukan adalah
peristiwa pembajakan Woyla. Ini karena penyanderaan terhadap WNI berada di
luar wilayah Indonesia, yang pemerintahan dari negara tersebut efektif.
Dalam kasus Woyla, mengingat pembajak, pesawat yang dibajak dan
sandera tidak terkait dengan Thailand maka otoritas negeri gajah putih tidak
berkeinginan untuk melaksanakan kewenangannya. Untuk itu otoritas setempat
memberi izin kepada Indonesia untuk melakukan pembebasan terhadap sandera.
Dalam konteks saat ini, operasi pembebasan terhadap sandera
mirip dengan peristiwa Woyla. Kemungkinan besar otoritas Filipina tidak akan
menjalankan kewenangannya. Ini mengingat keterkaitan pembajakan dengan
Filipina sangat kecil. Otoritas setempat mungkin saja akan mempersilakan
Indonesia melakukan upaya penyelamatan terhadap sandera.
Bila ini yang terjadi maka otoritas Indonesia akan melakukan
upaya pembebasan terlebih dahulu tanpa menggunakan kekerasan. Upaya ini
dikenal sebagai perundingan dengan pembajak. Apabila benar yang melakukan
penyanderaan dari kelompok Abu Sayyaf, maka otoritas Indonesia dalam rangka
pembebasan dapat menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar.
Indonesia pun banyak melakukan upaya agar terjadi perdamaian antara
masyarakat di Mindanao dengan Filipina.
Upaya lain melalui perundingan yakni mencari pemimpin Abu Sayyaf
atau orang yang punya pengaruh terhadap pemimpin Abu Sayyaf. Melalui cara ini
diharapkan orang tersebut yang akan menegosiasikan agar pembajak membebaskan
sandera.
Opsi kekerasan
Bila perundingan gagal, opsi yang dimiliki Indonesia ialah
operasi pembebasan yang menggunakan kekerasan. Di sini tidak hanya melibatkan
pasukan khusus kepolisian Brigade Mobil (Brimob) yang dapat digunakan, tetapi
juga pasukan khusus dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penggunaan TNI tidak berarti penggunaan perangkat militer,
mengingat Indonesia tidak sedang melakukan perang dengan Abu Sayyaf.
Pelibatan militer dilakukan karena pengalaman yang dimiliki pasukan khusus
TNI dalam pembebasan sandera. Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD sudah
memiliki nama besar di dunia sebagai pasukan yang berhasil dalam penyelamatan
sandera dari pembajak.
Apabila operasi penyelamatan menggunakan kekerasan, ada tiga hal
yang perlu diperhatikan pemerintah. Pertama, sedapat mungkin dilakukan dengan
memakan biaya, termasuk korban jiwa, secara minimal. Kedua, tindakan tersebut
dilakukan secara cepat. Terakhir operasi tersebut tidak memunculkan tindakan
pembalasan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf terhadap kapal-kapal
berbendera Indonesia yang berlayar maupun para ABK asal Indonesia.
Tidak kabulkan
Dalam upaya pembebasan terhadap sandera, pemerintah tidak boleh
mengabulkan tuntutan dari pembajak dengan menyerahkan uang.
Negara tidak boleh tunduk dan takluk kepada pembajak. Bila
pemerintah mengabulkan tuntutan malah akan menjadi preseden buruk. Bukannya
tidak mungkin di masa mendatang di jalur laut ini pembajakan akan marak.
Apa pun tindakan pemerintah, tentu masyarakat Indonesia harus
percaya terhadap pemerintahnya. Pemerintah akan mengambil opsi yang terbaik
untuk melindungi para sandera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar