Minggu, 03 April 2016

Potensi Penyelamatan Sandera

Potensi Penyelamatan Sandera

Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional UI
                                              MEDIA INDONESIA, 01 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMBAJAKAN atas kapal berbendera Indonesia terulang kembali. Kali ini kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 dibajak pihak yang mengaku kepada pemilik kapal dari kelompok Abu Sayyaf. Saat dibajak, kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan. Pembajak telah menyandera 10 anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesa.

Pemerintah langsung bergerak dan terus melakukan upaya penyelamatan. Menurut Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pembebasan terhadap WNI merupakan prioritas. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan upaya penyelamatan atas WNI. Kewajiban itu didasarkan pada diplomatic protection. Dalam konsep ini ketika warga negara dalam suatu kesulitan di luar negaranya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi. Menteri Retno dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah berkomunikasi dengan mitra masing-masing dari Filipina. Tindakan ini sudah tepat karena para sandera dan kapal saat ini dikabarkan berada di wilayah kedaulatan negeri jiran tersebut. Otoritas Indonesia tidak seharusnya melakukan upaya penyelamatan dengan menggunakan aparatnya tanpa berkoordinasi dengan otoritas Filipina. Ini penting karena Indonesia harus menghormati kedaulatan Filipina.

Pakistan pernah berang terhadap Amerika Serikat ketika pasukan elite AS Navy Seal melakukan serangan terhadap Osama bin Laden pada 2011 di negara tersebut. Operasi yang dilancarkan saat Osama diketahui berada di Pakistan tanpa memberi tahu otoritas setempat.

Jadi rujukan

Pengalaman Indonesia untuk menyelamatkan sandera berkewarganegaraan Indonesia sudah banyak. Semisal pembebasan ABK NV Kudus 2014 yang dibajak oleh para pembajak Somalia. Demikian pula dalam peristiwa pembajakan pesawat udara Garuda Woyla di Bangkok, Thailand pada 1981.

Dalam pembebasan ABK NV Kudus memang operasi yang dilakukan tanpa berkoordinasi dengan aparat setempat. Ini karena di Somalia ketika itu tidak ada pemerintahan yang efektif. Operasi penyelamatan pun dilakukan oleh pasukan katak (Kopaska) TNI-AL dan berhasil.

Dalam kasus saat ini maka yang dapat dijadikan rujukan adalah peristiwa pembajakan Woyla. Ini karena penyanderaan terhadap WNI berada di luar wilayah Indonesia, yang pemerintahan dari negara tersebut efektif.

Dalam kasus Woyla, mengingat pembajak, pesawat yang dibajak dan sandera tidak terkait dengan Thailand maka otoritas negeri gajah putih tidak berkeinginan untuk melaksanakan kewenangannya. Untuk itu otoritas setempat memberi izin kepada Indonesia untuk melakukan pembebasan terhadap sandera.

Dalam konteks saat ini, operasi pembebasan terhadap sandera mirip dengan peristiwa Woyla. Kemungkinan besar otoritas Filipina tidak akan menjalankan kewenangannya. Ini mengingat keterkaitan pembajakan dengan Filipina sangat kecil. Otoritas setempat mungkin saja akan mempersilakan Indonesia melakukan upaya penyelamatan terhadap sandera.

Bila ini yang terjadi maka otoritas Indonesia akan melakukan upaya pembebasan terlebih dahulu tanpa menggunakan kekerasan. Upaya ini dikenal sebagai perundingan dengan pembajak. Apabila benar yang melakukan penyanderaan dari kelompok Abu Sayyaf, maka otoritas Indonesia dalam rangka pembebasan dapat menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar. Indonesia pun banyak melakukan upaya agar terjadi perdamaian antara masyarakat di Mindanao dengan Filipina.

Upaya lain melalui perundingan yakni mencari pemimpin Abu Sayyaf atau orang yang punya pengaruh terhadap pemimpin Abu Sayyaf. Melalui cara ini diharapkan orang tersebut yang akan menegosiasikan agar pembajak membebaskan sandera.

Opsi kekerasan

Bila perundingan gagal, opsi yang dimiliki Indonesia ialah operasi pembebasan yang menggunakan kekerasan. Di sini tidak hanya melibatkan pasukan khusus kepolisian Brigade Mobil (Brimob) yang dapat digunakan, tetapi juga pasukan khusus dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Penggunaan TNI tidak berarti penggunaan perangkat militer, mengingat Indonesia tidak sedang melakukan perang dengan Abu Sayyaf. Pelibatan militer dilakukan karena pengalaman yang dimiliki pasukan khusus TNI dalam pembebasan sandera. Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD sudah memiliki nama besar di dunia sebagai pasukan yang berhasil dalam penyelamatan sandera dari pembajak.

Apabila operasi penyelamatan menggunakan kekerasan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Pertama, sedapat mungkin dilakukan dengan memakan biaya, termasuk korban jiwa, secara minimal. Kedua, tindakan tersebut dilakukan secara cepat. Terakhir operasi tersebut tidak memunculkan tindakan pembalasan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia yang berlayar maupun para ABK asal Indonesia.

Tidak kabulkan

Dalam upaya pembebasan terhadap sandera, pemerintah tidak boleh mengabulkan tuntutan dari pembajak dengan menyerahkan uang.
Negara tidak boleh tunduk dan takluk kepada pembajak. Bila pemerintah mengabulkan tuntutan malah akan menjadi preseden buruk. Bukannya tidak mungkin di masa mendatang di jalur laut ini pembajakan akan marak.

Apa pun tindakan pemerintah, tentu masyarakat Indonesia harus percaya terhadap pemerintahnya. Pemerintah akan mengambil opsi yang terbaik untuk melindungi para sandera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar