Menunggu Solusi Krisis Listrik
Nengah Sudja ;
Dosen Pascasarjana UKI, Jakarta
|
KOMPAS, 16 April
2016
Awal April 2016, media
massa kembali ramai memuat berita pemadaman listrik. Di Pulau Nias, kantor PT
PLN diduduki dan ekonomi Nias mulai terganggu. Di Tarakan, sekelompok warga
protes PLN kembali berunjuk rasa, memprotes pemadaman listrik yang tak pernah
ada solusinya sampai tahunan.
Derita kronis pemadaman
listrik berkelanjutan akan terus terjadi setiap saat, bukan saja di Nias,
Palu,dan Tarakan, tetapidi seluruh wilayah Tanah Air.Mulai dari Sabang dan
pulau-pulau kecil di sebelah-sebelahnya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, hingga Merauke, Papua. Mari teliti ulang genesis pemadaman,
dari segi teknis, ekonomi-keuangan, dan sosial-politik.
Dari segi teknis,
kehidupan modern perlu pasokan listrik terus menerus, around the clock secara berkelanjutan, tanpa henti sepanjang
waktu, mengikuti irama kehidupan masyarakat modern. Untuk itu diperlukan
pasokan, serta suplai (sistem pembangkitan, jaringan berupa daya terpasang
mampu) dan melebihi kebutuhan beban, memenuhi permintaan yang terus tumbuh
berkembang. Pemadaman terjadi manakala pasokan berkurang dan tidak cukup
untuk memenuhi beban serta saat pelaksanaan giliran pemeliharaan mesin-mesin pembangkit
serta jaringan (regular outage) dan
terjadi gangguan mendadak atau tidak terduga (forced outage).
Cadangan didefinisikan
sebagai (kapasitas daya terpasang dikurangi beban puncak) dibagi beban
puncak. Sistemkecil, terisolir, tersebar di luar Jawa-Bali, seharusnya setiap
saat siap memenuhi persyaratan keandalan dan memiliki cadangan minimal 30
persen. Kenyataannya statistik PLN menunjukkan bertahun-tahun sistem cadangan
di banyak wilayah berada di bawah 30 persen bahkan negatif. Contoh di Pulau
Nias pada 2015, beban puncak 28,4 megawatt, kapasitas 30 MW, cadangan 1,6 MW,
hanya 5,3 persen. Cadangan rendah inilah sumber kronis derita pemadaman
berkelanjutan. Hanya Jawa-Bali memiliki cadangan 20-30 persen.
Sekadar perbandingan,
Singapura dengan beban puncak 8.000 MW, memiliki daya terpasang 18.000 MW.
Jerman beban puncak 89.000 MW, daya terpasang 196.000 MW. Bahkan Jepang,
setelah kecelakaan Fukushima menghentikan operasi semua PLTN (sekitar 50
satuan, 50.000 MW, memasok 30 persen produksi nasional) tetap dapat memenuhi
beban tanpa pemadaman. Negara kaya ini memiliki cadangan sangat besar menjaga
ketahanan energi nasional, tetapi juga berkat kesadaran warganya berhemat
ketika pasokan berkurang.
Ekonomi-keuangan
Listrik bukan saja
diperlukan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk
meningkatkan kualitas, kenyamanan hidup, guna penerangan, seni, budaya, tayangan
tv, musik, pemakaian alat pendingin. Masyarakat maju, biasa hidup memakai
listrik,tidak dapat menerima pemadaman listrik sedetik pun, tanpa alasan
jelas apalagi kronis.
Gangguan listrik
menyebabkan kerugian ekonomi besar. Ada kaitan erat antara tingkat
pertumbuhan ekonomi dengan listrik. Indonesia dengan tingkat PDB 4.000 dollar
AS/kapita, tingkat rerata konsumsi listrik nasional 800 kWh/kapita, koefisien
elastisitas pemakaian listrik dengan PDB 1,4 besaran nilai pemadaman 3,60
dollar AS/kWh, 50 kali tarif rerata 7 sen/kWh.
Nias, dengan luas
wilayah 5.625 kilometer persegi dan penduduk 900.000 jiwa, tahun 2015 pemakaian
listrik 116 juta kWh (130 kWh/kapita). Nilai ekonomi pemadaman total bisa
mencapai 1,1 juta dollar ASatau Rp 15 miliar per hari. Belum lagi
ketidaknyamanan akibat lampu lalu lintas padam, angkutan macet, rumah gelap,
ruangan panas, dan tidur tak lelap. Karena itu, pemadaman listrik harus
dicegah dan dihindari.
Sebab utama derita
kronis pemadaman listrik berkelanjutan adalah karena PLN sebagai pengemban
utama penyediaan pelayanan listrik di lapangan, sudah bertahun-tahun tidak
mampu menyediakan cukup kapasitas daya terpasang. PLN tidak dapat dana cukup
untuk melaksanakan tugas pelayanan, pemeliharaan teratur pada sarana
pembangkitan danjaringan.
Di sisi lain,
pertumbuhan kebutuhan beban listrik yang pesat melebihi pertumbuhan daya
terpasang tersedia. Padahal, demi keamanan energi, persyaratan keandalan harus
dipenuhi, yaitu cadanganminimal 30 persen dipertahankan dan memenuhi
syarat(n-1). Artinya bila satu satuan pembangkit atau jaringan terganggu,
jumlah kapasitas daya terpasang tidak menyebabkan terjadi pemadaman. Karena
itu, satuan kapasitas daya terpasang pembangkit terbesar tidak melebihi batas
10 persen beban puncak.
Persyaratan ini perlu
dijadikan lampu kuning pengawasan batas keamanan energi nasional bagi semua
pihak: publik, DPR, pemerintah pusat, daerah, dan DPRD. Upaya mengatasi
pemadaman Nias dengan mendatangkan satuan diesel 7-12 MW merupakan solusi
darurat, sementara, yang masih perlu ditindaklanjuti dengan solusi permanen.
Akar masalah
pemadaman, kekurangan, dan krisis pasokan listrik adalah penetapan tarif
dasar listrik (TDL). Sumber utama pendapatan PLN ini tidak mencerminkan
pengembaliaan biaya investasi (cost
recovery) untuk dapat melayani pengusahaan, pemeliharaan teratur, dan
laju pertumbuhan permintaan listrik kurun waktu 10 tahun RUPTL.
Kalau diurut lanjut,
pangkal persoalan adalah dari awal penyusunan kebijakan energi. UU
Ketenagalistrikan Tahun 2009, Pasal 34 Ayat (1) menyebutkan: ”Pemerintah
sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif dasar listrik untuk konsumen
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Dalam
praktiknya pemerintah dan DPR memilih penerapan kebijakan populis, demi
”melindungi kepentingan rakyat”. Penetapan keputusan bertahun-tahun itu merugikan
pemasok listrik utama PLN, karena tidak memperoleh dana cukup untuk dapat
melaksanakan tugas pelayanan penyediaan pasokan listrik, yang dapat memenuhi keamanan
pasokan. Di sisi lain, PLN pun perlu memperbaiki manajemen dan kinerjanya
agar lebih efisien.
Perlu depolitisasi
Sudah waktunya ada
depolitisasi penyediaan pasokan listrik. TDL sepatutnya ditetapkan lembaga regulator
independen public utility commission
(PUC), yang melindungi kepentingan pemasok utama PLN agar mendapatkan
pendapatan wajar, tetapi melindungi konsumen untuk mendapat pelayanan
dantarif yang pantas. Keanggotaan PUC dipilih terbuka, dari wakil konsumen,
industri, rumah tangga, para pemasok (PLN/IPP), tenaga ahli, dan perguruan
tinggi.
PUC secara teratur
setiap tahun melakukan dengar pendapat publik dan berkonsultasi terbuka dengan
masyarakat luas, di bawah direktorat jenderal listrik. DPR bersama pemerintah
mengawasi, menetapkan subsidi bagi warga kurang mampu, serta pajak bagi
pemakai listrik. Ini seperti praktik penyediaan pasokan listrik negara maju
di dunia.
Tidak pantas lagi ketika
terjadi pemadaman krisis listrik saling tuduh menyalahkan pihak lain. Domain
pemadaman listrik kronis tidak hanya menjadi kesalahan PLN, tetapi juga
bagian dari tanggung jawab nasional. Meski demikian, DPR dan DPRD, pemerintah
pusat dan daerah, Kementerian ESDM, bahkan Dewan Energi Nasioal perlu turun
tangan membantu mencarikan solusi yang berbasis Evidence-Based Policy making.
Semoga masukan ini dipertimbangkan
disertai harapan Indonesia cepat mendapat pasokan listrik berkecukupan,
andal, dan kompetitif bagi seluruh wilayah dan warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar