Legislasi Pajak dan Dokumen Panama
Adrianto Dwi Nugroho ;
Dosen Ilmu Hukum Pajak
|
KOMPAS, 19 April
2016
Skandal Panama Papers
(Dokumen Panama) menyisakan pekerjaan penegakan hukum yang rumit. Harapan
tinggi dilambungkan agar aparat penegak hukum dan lembaga yudisial mampu
menghadirkan keadilan dalam merespons dugaan kejahatan finansial yang
dilakukan para pemodal negeri ini.
Pada saat yang sama,
peristiwa ini jadi momentum bagi pemerintah dan parlemen merumuskan legislasi
pajak yang antisipatif dan preventif terhadap praktik penghindaran dan
pengelakan pajak berbasis penanaman modal di luar negeri (offshore investment). Ada empat
peluang perbaikan legislasi pajak di Indonesia pasca Dokumen Panama.
Peluang perbaikan
Pertama, Dokumen
Panama memberikan dorongan politik yang kuat bagi pembuat UU untuk meneruskan
pembahasan Rancangan UU tentang Amnesti Pajak. Informasi dan data offshore investment oleh wajib pajak
dalam negeri yang terdapat dalam dokumen tersebut dapat menjadi data
pembanding dalam upaya identifikasi potensi penerimaan negara yang diperoleh
dari penerapan amnesti pajak. Dengan potensi yang jelas, posisi tawar
pemerintah dalam mengimbau para pemodal besar untuk memanfaatkan kebijakan
ini akan jadi lebih kuat sehingga tingkat keberhasilan amnesti pajak akan
meningkat.
Kedua, Dokumen Panama
mendesak pembuat UU untuk memperbaiki aturan anti penghindaran pajak (anti-avoidance rule), khususnya
terkait pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap wajib pajak dalam negeri
yang menguasai badan usaha di luar negeri atau controlled foreign corporation (CFC).
Pasal 18 Ayat (2) UU
PPh mengatur wewenang Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk menetapkan saat
diperolehnya dividen bagi wajib pajak dalam negeri yang memiliki 50 persen
saham atau lebih, baik secara individual maupun kolektif, pada badan usaha di
luar negeri yang tidak tercatat di bursa efek. Tujuannya agar wajib pajak
tersebut tidak menghindar dari pembayaran PPh atas dividen yang berasal dari offshore investment, walaupun secara
faktual tidak ada dividen yang direpatriasi. Dokumen Panama membuktikan bahwa
aturan ini mudah diantisipasi oleh wajib pajak sehingga tidak mampu mencegah
penghindaran pajak yang dilakukan di negara yang memberikan perlindungan
pajak (tax haven).
Dari Dokumen Panama
diketahui bahwa pembentukan rangkaian perusahaan cangkang (shell company) yang kompleks telah
membentuk dinding tebal yang melindungi para pemilik modal dari penetrasi
otoritas pajak. Alhasil, pemilik modal leluasa dalam memanfaatkan dananya
(ABC Australia: 4 April 2016). Modus kejahatan yang terungkap dalam Dokumen
Panama menjadi bahan inventaris berharga dalam merumuskan aturan CFC yang
baru. Aturan tersebut harus mampu menjerat perusahaan cangkang dari lapis
yang terluar hingga lapis yang terdalam.
Ketiga, Dokumen Panama
juga menguatkan alasan pemerintah, khususnya DJP, untuk dapat mengakses data
perbankan milik wajib pajak dalam negeri. Urgensinya tidak lagi terbatas pada
keikutsertaan Indonesia pada kerja sama global pertukaran informasi untuk
kepentingan perpajakan, juga untuk mengintersepsi aliran dana yang keluar
dari Indonesia dan berpotensi untuk berada di luar Indonesia dalam jangka
waktu tidak tertentu.
Intersepsi ini tidak
serta-merta bertujuan untuk melarang offshore
investment oleh pemodal dalam negeri, tetapi untuk mengidentifikasi
jumlah dana yang keluar dari Indonesia. Dalam hal terjadi dugaan
ketidakpatuhan wajib pajak, data ini diberdayakan untuk menginisiasi
penegakan hukum.
Keempat, Dokumen
Panama memberikan dorongan politik yang kuat bagi pembuat UU di bidang
perpajakan untuk merekognisi lembaga trust. Dokumen Panama mengungkapkan
bahwa penghindaran dan pengelakan pajak yang melibatkan firma investasi besar
di Panama ini dilakukan pertama-tama dengan membentuk lembaga trust. Dalam
lembaga tersebut terdapat tiga pihak, yaitu wajib pajak yang bertindak
sebagai penutup (settlor), firma
investasi yang bertindak sebagai penerima aset (trustee), dan seorang penerima manfaat (beneficiary).
Dalam penguasaan
trustee, gunggung dana yang membentuk trust selanjutnya digunakan untuk
membentuk shell company, yang dalam
Dokumen Panama dideskripsikan sebagai perusahaan yang tidak memiliki kantor
dan karyawan, atau dikenal dengan paper
company.
Perusahaan inilah yang
rawan digunakan untuk perbuatan kriminal atau pengelakan kewajiban hukum
tertentu (ABC Australia: 4 April 2016), termasuk penghindaran dan pengelakan
pajak. Peluang pengaturan pemungutan PPh atas lembaga trust masih terbuka
lebar.
Bahaya laten
Akhirnya, penghindaran
dan pengelakan pajak merupakan bahaya laten karena setiap wajib pajak
senantiasa ingin menanggung beban pajak yang seringan-ringannya. Sebagaimana
dibuktikan oleh Dokumen Panama, offshore
investment menjadi pilihan utama wajib pajak besar untuk menghindar dan
mengelak dari kewajiban pajak di dalam negeri.
Bagi pembuat
undang-undang, Dokumen Panama harus dinilai sebagai bahan legislasi berharga
dalam upaya pemberantasan praktik-praktik penggerusan basis penerimaan pajak.
Legislasi yang tanpa celah dan pemanfaatan teknologi informasi yang optimal
akan mendekatkan negara pada tujuan ini sehingga pada akhirnya akan
mendongkrak penerimaan negara dari pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar