Senin, 18 April 2016

Harga Diri

Harga Diri

Samuel Mulia ;   Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                        KOMPAS, 17 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam perjalanan pulang di dalam taksi, tiba-tiba saya berpikir mengapa orang mengatakan kepada sesamanya: "Kamu enggak punya harga diri." Apakah memang diri punya harga? Apakah ketika seorang manusia lahir dari rahim seorang ibu, ia diberi price tag? Oleh siapa?


Kalau jawabannya "ya", berapa nilainya? Bagaimana menghitungnya sehingga manusia yang satu lebih bernilai dari yang lainnya? Kalau tidak, mengapa ungkapan itu ada?

HPP+margin

Tiba-tiba saya merasa seperti kupu-kupu malam yang memiliki harga untuk dikencani. Saya sendiri tak tahu apakah harga yang ditawarkan kupu-kupu malam itu sama dengan harga dirinya? Apa tujuan ungkapan itu ada atau dibuat? Untuk sebuah cara menilai manusia? Bagaimana cara menilainya, lha wong cara menghitung harganya saja tidak tahu.

Saya sempat berpikir apakah harga diri itu seperti harga barang yang bisa naik dan turun seperti ayunan, bahkan kadang jeblok dan modal saja tak kembali. Apakah untuk menghitung harganya seperti harga barang? Cost ditambah keuntungan?

Apakah nilai saya sebagai anak bapak dan ibu itu ditentukan dengan harga pokok penjualan, yaitu semua biaya yang muncul untuk menghasilkan produk (saya) yang dihitung mulai dari persetubuhan yang dilakukan oleh keduanya, sampai saya lahir dan tumbuh dewasa dan bisa mencari uang sendiri?

Termasuk membeli popok, susu, sekolah, les ini dan les itu, beli baju, kemudian di akhir perhitungan ditambahkan margin. Nah, besarnya marginnya dihitung berdasarkan hasil tes IQ si anak. Kalau super brilian bisa lebih dari 100 persen sama seperti kalau memesan air mineral standar di hotel berbintang lima.

Dan, kalau IQ-nya seperti saya yang gitudeh itu, maka yaa. terima saja kalau keuntungannya seimprit, atau paling tidak kembali modal saja sudah bersyukur. Ataukah besarnya margin itu ditentukan dari keturunannya?

Darah biru atau darah merah biasa. Keturunan orang kaya lama atau orang kaya baru-baru saja atau baru-baru saja bisa kaya? Atau masih keturunan pahlawan bangsa atau selebritas kondang sejagat raya? Atau keturunan manusia waras dan yang satu keturunan manusia yang setengah waras?

Ada harga, ada rupa

Bagaimana kalau diri saya dihargai tinggi seperti barang bermerek supermahal, macam jam tangan dan mobil mewah, tetapi suatu hari ternyata barang mahal itu ada cacatnya? Apakah orang lain akan mencibir atau malah memaklumi karena harganya itu terkait dengan merek kondang, dan mereka tetap tidak kapok untuk membeli?

Anda bisa bayangkan kalau harga diri saya sudah murah dan cacat pula. Apakah saya mendapat penghinaan, atau malah orang juga akan memaklumi dengan berkicau. "Yaah. namanya juga murahan. Ada harga, ada rupa, Bro."

Saya sudah lebih dari setengah abad hidup sendiri dan sampai sekarang belum punya pasangan alias tidak laku. Teman saya menegur. "Enggak boleh bilang begitu. Belum ada yang mau, bukan enggak ada yang mau."

Kalau memang benar teguran itu, dan benar belum ada yang mau dengan saya, mengapa belumnya lama sekali? Apakah karena harga saya terlalu tinggi? Yang berminat banyak, tetapi mundur teratur karena harga yang bikin deg-degan. Atau harganya kerendahan dan tidak memberikan gengsi kepada pembelinya?

Rasa penasaranlah yang membuat saya melihat kamus seperti biasanya. Penasaran akan makna harga diri sesungguhnya. Maka ini yang saya dapatkan. Dalam bahasa Inggris harga diri disebut self esteem. Self esteem memiliki persamaan dengan self-respect, self-confidence adalah di mana seorang memberikan penilaian terhadap dirinya.

Oh... jadi selama ini saya keliru mengartikannya. Saya pikir harga diri itu adalah harga seperti saya melihat price tag yang mampu mengundang jeritan: "Buset mahal buanget atau gila murah amat." Artinya saya menilai angka yang saya lihat.

Ternyata... harga diri itu bukan sebuah penilaian saya terhadap orang lain yang saya lihat, tetapi merekalah yang menilai diri mereka sendiri. Berarti kalau saya beberapa kali berkomentar, "Orang, kok, seperti gak punya harga diri", berarti saya keliru.

Kalaupun seseorang melakukan kejahatan, orang lain berhak menangkap karena dirugikan, tetapi dari penilaian yang bersangkutan tidaklah demikian adanya. Kalaupun di mata saya nilai yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri begitu rendahnya, seperti barang kacangan, itu pun adalah hak mereka dalam menghitung "HPP dan margin" kehidupan mereka. Harga diri adalah bersifat individual.

Maka istilah "ada harga ada rupa" mungkin tak selalu benar adanya. Bukankah Anda dan saya bisa jadi kelihatan baik dan santun di hadapan sejuta manusia. Mungkin Anda dan saya tidak korup, tidak berselingkuh, tidak menjual diri sehingga orang menilai harga diri kita tinggi sekali.

Tetapi, apakah mereka tahu, kalau secara diam-diam, Anda dan saya berkawan akrab dengan ketidakbaikan dalam bentuk yang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar