Disruptive Innovation
Adiwarman A Karim ;
Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA, 21 Maret
2016
Clayton Christensen,
profesor Harvard Business School, memperkenalkan istilah disruptive innovation dalam bukunya, The Innovator's Dilemma. Semakin mudahnya akses internet telah
mendorong munculnya bisnis model baru yang memanfaatkan aplikasi teknologi.
Inovasi ini merusak
tatanan pasar yang ada dengan menciptakan pasarnya sendiri, yang pada
akhirnya akan menggusur para pelaku bisnis yang selama ini menjalankan
bisnisnya secara tradisional. Dulu, satu rumah hanya ada satu telepon dan
kita mengeluh tentang sulitnya mendapat sambungan baru serta tarif yang terus
naik. Saat ini, satu orang memiliki lebih dari satu telepon genggam. Ketika
kita mulai mengeluh jangkauan sinyal telepon genggam dan tarif SMS, teknologi
baru memungkinkan mengirim pesan dan telepon melalui aplikasi.
Christensen
menyimpulkan, bila penantang pasar memilih untuk melakukan strategi sustaining innovation, inovasi yang
sekadar mengikuti dan menyempurnakan pemimpin pasar, kecil kemungkinannya
dapat mengalahkan pemimpin pasar.
Sebaliknya, bila penantang pasar memilih untuk
melakukan strategi disruptive
innovation, inovasi yang memanfaatkan aplikasi sederhana menggarap segmen
pasar bawah yang selama ini tidak digarap serius pemimpin pasar, maka besar
kemungkinannya mengalahkan pemimpin pasar.
Disruptive
innovation seringkali
bergerak jauh lebih cepat daripada regulasi. Jean Tirole, profesor
Universitas Toulouse dan pemenang Nobel tahun 2014, menjelaskan perlunya
regulasi yang mengatur perusahaan yang melakukan disruptive innovation yang memanfaatkan satu platform bisnis
untuk dua pasar yang berbeda.
Google dapat digunakan secara gratis untuk
mendapatkan sebanyak mungkin pengguna. Jumlah yang banyak ini dan profil
pengguna sesuai kebiasaannya membuka laman tertentu kemudian menjadi daya
tarik kuat bagi pemasang iklan Adwords dan Adsense. Pemasang iklan tertarik
karena iklannya akan dibaca oleh pengguna yang sesuai profilnya dan biaya
yang kecil, yaitu berapa kali iklan itu dibuka (pay per click).
Di pasar pertama digratiskan, di pasar kedua
keuntungan diraih. Semakin sering suatu kata kunci diketik dalam pencarian
semakin mahal biaya iklannya. Tiga kata kunci terbanyak adalah insurance (24
persen), loans/pinjaman (13 persen), mortgage/kredit rumah (sembilan persen).
Bank Syariah awalnya juga dipandang sebagai
suatu disruptive innovation,
walaupun saat ini tampaknya bank syariah lebih mengarah pada sustaining innovation. Meniru apa yang
ada di perbankan konvensional. Keunikan bank syariah belum dimanfaatkan
optimal karena keterbatasan teknologi. Deposito bagi hasil yang merupakan
keunikan bank syariah malah mengikuti pergerakan kompetitif tingkat suku
bunga.
Dengan sistem pool of fund, maka bank syariah membayarkan bagi hasil yang sama kepada deposannya berdasarkan jangka waktu, sebagaimana lazim di bank konvensional.
Beberapa laman crowd funding malah menawarkan sistem bagi hasil yang beragam,
sesuai dengan bisnis yang dipilih. Pemilik dana dapat memilih bisnis tertentu
dan mendapat bagi hasil sesuai dengan profitabilitas bisnis tersebut.
Dengan perkembangan teknologi saat ini,
seyogianya bank syariah dapat melakukan disruptive
innovation. Nasabah dapat mengalokasikan dana tabungannya ke deposito
melalui telepon genggamnya, memilih sendiri bisnis apa yang akan dibiayai
dengan tingkat bagi hasil dan risiko yang dikehendakinya.
Untuk menjadi disruptive innovation ada dua
cara. Pertama, menggarap segmen pasar kelas bawah yang diabaikan kebanyakan
bank konvensional. Kedua, menciptakan pasar baru dengan menarik bukan nasabah
bank menjadi nasabah bank.
Disruptive
innovation yang berhasil
memang memerlukan modal yang besar. Google Map dan Google Earth memerlukan
modal yang besar, tetapi pada saat yang sama menciptakan halangan masuk yang
besar sehingga pesaing tidak dapat meniru begitu saja.
Untuk bank syariah, adanya dana haji sejumlah
70 triliun merupakan modal awal yang bagus. Sifat dana haji yang jangka
panjang dan selalu bertambah dapat dipandang sebagai kuasi modal. Dengan regulasi kecukupan modal 12,5
persen berarti kemampuan tambahan bank syariah ekspansi mencapai delapan kali
dana haji, yaitu 560 triliun. Tanpa disruptive innovation, maka dana haji itu
hanya akan mendorong aset bank syariah dua kali lipat, yaitu tambahan 140
triliun.
Disruptive
innovation juga terjadi
dalam ilmu fikih. Setelah jatuhnya bani Abbasiyah di Baghdad dan dimusnahkan
kitab-kitab khazanah keilmuan Islam oleh pasukan Hulagu Khan, para ulama
fikih lebih banyak berkutat pada berlapis-lapis penjelasan untuk suatu
masalah fikih kecil. Perdebatan fikih berputar-putar pada redaksional hadis,
bahkan pada redaksional kitab fikih masing-masing mazhab. Sampai kemudian
para ulama melakukan disruptive
innovation berupa ilmu kaidah fikih yang menyusun rumus-rumus fikih
dengan memahami maksud hakikinya.
Abdurrahman Jalaluddin Suyuti menulis buku
Asybah wan Nazair merupakan tokoh utama ilmu kaidah fikih ini. Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Umar bin Khattab RA ketika melantik Abu Musa al- Asy'ari menjadi qadi di
Basra, "Pahami asybah wan nazair (penampakan dan kemiripan-- Red) suatu
masalah, kemudian tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa."
Disruptive
innovation menuntut
keyakinan untuk berjalan di depan, keberanian melakukan suatu yang baru, dan
perhitungan yang cermat. Sustaining innovation
jauh lebih mudah dilakukan, tetapi kita akan terus berada di belakang. Disruptive innovation memang lebih
sulit dilakukan, tetapi besar kemungkinannya akan menjadi pemimpin pasar.
Kaidah fikihnya, "Bila tidak dapat melakukan kebaikan sepenuhnya, jangan
tinggalkan kebaikan itu sepenuhnya." Seberapa kecil pun disruptive innovation akan memberi
inspirasi untuk inovasi berikutnya. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi, "Amalkan
apa yang kalian ketahui, niscaya akan Aku beritahu apa yang belum kalian
ketahui." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar