Calon Perseorangan dan Parpol
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat
International IDEA Stockholm (2007-2013)
dan UNDEF New York (2006-2008)
|
KOMPAS, 05 April
2016
Sementara kalangan
menyebutnya sebagai "Ahok
effect" (dampak Ahok) setelah petahana Gubernur DKI Jakarta itu
memutuskan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI 2017 sebagai calon
perseorangan. Orang mengaitkan adanya "dampak Ahok" itu ketika
terlihat gejala penguatan calon perseorangan menjelang Pilkada 2017 di tujuh
provinsi dan 94 kota/kabupaten di Indonesia.
Calon perseorangan
yang sering juga disebut "calon independen" merupakan fenomena
menarik. Tampaknya fenomena ini bakal terus mewarnai perjalanan demokrasi di
negeri ini, hari ini dan ke depan.
Isu calon perseorangan
paling ramai diberitakan belakangan ini selain Jakarta, juga terkait dengan
Yogyakarta. Terlihat jelas keinginan kuat masyarakat Yogyakarta mendorong
kemunculan calon-calon perseorangan dengan membentuk Gerakan Jogja Independent. Hasilnya, 15 orang telah mendaftar
sebagai bakal calon dalam Pilkada Kota Yogyakarta 2017 (Kompas, 2/4).
Sebenarnya, kemunculan
calon perseorangan dalam pilkada bukan gejala baru, karena itu tidak tepat
disebut sebagai "dampak Ahok". Pasangan calon perseorangan pertama
(Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar) tampil dan menang dalam Pilkada Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (2006).
Gejala fenomenal
pasangan perseorangan juga menonjol dalam pilkada serentak 2015. Ada 256
pasangan calon perseorangan yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Setelah melalui penelitian, KPU akhirnya meloloskan 174 pasangan: 1 pasangan
untuk tingkat provinsi, 31 tingkat kota, dan 142 tingkat kabupaten. Ada 82
pasangan tidak lolos memenuhi syarat minimal dukungan (Kompas, 6/7/2015).
Menurut catatan
beberapa lembaga survei, pasangan perseorangan dalam Pilkada 2015 mewakili 35
persen dari semua pasangan. Tingkat keberhasilan mencapai 14,4 persen di 257
wilayah yang menyelenggara- kan pilkada; 31,1 persen menang di pilkada
tingkat kota; 11,0 persen tingkat kabupaten; dan 0 persen di tingkat
provinsi.
Tingkat kemenangan
pasangan seperti itu jelas cukup signifikan. Dalam segi tertentu, tampilnya
calon perseorangan merupakan kabar baik bagi konsolidasi demokrasi. Calon
independen menjadi alternatif lain vis-a-vis
calon yang diusung parpol yang bukan tidak sering mengandung masalah.
Pada segi lain, calon
perseorangan dapat menjadi lampu kuning bagi parpol yang selama ini sangat
hegemonik dalam penentuan calon yang bertarung dalam pilkada, pileg, dan
pilpres. Para pemilih tidak berdaya; hanya bisa pasrah memilih calon yang
sudah ditetapkan elite pimpinan parpol.
Bukan rahasia lagi,
oligarki parpol memunculkan calon terkait hubungan keluarga dan kroni dengan
elite puncak partai. Juga sudah diketahui umum, perlu biaya besar sebagai
"mahar" bagi mereka yang ingin dicalonkan parpol. Keadaan ini
melanggengkan politik biaya tinggi (high-cost
politics) yang mencakup politik transaksional dengan parpol dan dengan
donor yang menyumbang dana untuk sang calon.
Selain itu, parpol
tampak kian kurang menarik bagi makin banyak aspiran calon. Parpol sering
lebih sibuk dengan urusan faksi, perpecahan internal, dan pergumulan politik
eksternal. Selain itu, figur-figur parpol yang ada di lembaga legislatif dan
eksekutif lebih tertarik pada political
deals daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Peningkatan momentum
calon perseorangan jelas menantang hegemoni parpol. Kalangan parpol menyebut
gejala ini sebagai deparpolisasi. Terminologi ini berlebihan karena
deparpolisasi tidak mungkin dapat dilakukan, apalagi tidak ada demokrasi
tanpa parpol. Tetapi juga jelas, demokrasi bisa kuat dan terkonsolidasi hanya
jika parpol juga demokratis dan sehat.
Fenomena calon
perseorangan yang menantang hegemoni parpol bukan hanya gejala di Indonesia,
melainkan juga sudah berlangsung lama di negara-negara demokrasi di Eropa dan
Amerika Utara. Di Amerika Serikat, calon perseorangan lazim disebut sebagai third party candidates atau third party contenders-sebagai
alternatif bagi calon Partai Demokrat atau Partai Republik.
Namun, seperti
terlihat dalam perkembangannya, calon perseorangan sulit memenangi pemilu
pada tingkat nasional dan pilkada pada tingkat negara bagian atau provinsi
karena calon perseorangan tidak memiliki "anggota" atau
"jejaring pendukung" yang solid pada tingkat nasional maupun
tingkat provinsi atau negara bagian.
Meski demikian,
seperti diperlihatkan Reiser & Holtmann (eds) dalam Farewell to the Party Model? Independent Local Lists in East and West
European Countries (2008), calon perseorangan menemukan momentum dan
sukses di Eropa pada tingkat lokal (kota/kabupaten). Mereka tak hanya
memenangi pilkada, tetapi juga sukses lebih efektif menyelenggarakan pemerintahan
lokal.
Kunci keberhasilan
mereka terutama karena calon perseorangan umumnya figur terkemuka di
lokalitas masing-masing. Mereka lebih mengenal masyarakat lingkungannya,
aspirasi, dan kebutuhan mereka. Tidak kurang pentingnya, mereka terbebas dari
politik partisan kepartaian yang lebih mementingkan partai daripada yang
lain.
Dilihat dari gejala
universal ini, hampir bisa dipastikan calon perseorangan segera menjadi
bagian integral yang mapan dalam proses politik demokrasi Indonesia. Jika
parpol tidak ingin ditinggalkan pemilih, mulai sekarang perlu introspeksi dan
pembenahan internal dan eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar