Bahan Bakar Nuklir Torium dan Implementasinya
Arnold Soetrisnanto ;
Chairman of Energy Commission,
National Research Council; Chairman of
Indonesia Nuclear Society
|
MEDIA IDONESIA, 02
April 2016
SEBAGAI konsumen
energi terbesar di ASEAN, Indonesia tidak bisa menghindari perdebatan tentang
energi nuklir yang semakin seru sejak peristiwa Fukushima. Meski demikian,
energi nuklir tetap memberikan banyak ruang untuk berinovasi di masa depan
terkait dengan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ataupun
sumber bahan bakar nuklirnya. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan
emisi CO2 dan pemanasan global. Pembicaraan terbaru dipicu oleh debat tentang
torium, sumber bahan bakar alternatif untuk reaktor nuklir.
Pada 2010-2014,
konsumsi listrik Indonesia meningkat rata-rata 7% per tahun. Meskipun
demikian, 700 kwh per kapita dan 84% rasio elektrikasi, angka itu masih
menjadi salah satu yang terendah di Asia Tenggara. Kapasitas terpasang yang
saat ini mencapai 55 GWe belum mencukupi untuk sebuah negara dengan populasi
terbesar ke-4 di dunia. Sumber utama bahan bakar listrik masih berasal dari
bahan bakar fosil, dengan batu bara menyuplai sekitar separuh dari
pembangkitan listrik.
Di masa mendatang,
Indonesia membutuhkan gigawatt listrik yang semakin besar. Rencana saat ini
yang ambisius ialah membangun kapasitas 35 GWe pembangkit baru pada 2019.
Dengan komposisi energy mix yang
digunakan untuk produksi listrik saat ini, nantinya akan menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia.
Sejak 1956 Indonesia
melakukan berbagai studi persiapan ketenaganukliran termasuk pengoperasian
tiga reaktor riset. Pemerintah juga telah menyiapkan dokumen legal seperti UU
No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Peraturan Pemerintah tentang
Perencanaan Energi Nasional (KEN, 2014), rancangan Buku Putih tentang
Pengembangan Energi Indonesia (2015). Menurut dokumen yang terakhir, PLTN
dengan total kapasitas 5.000 MWe dapat dioperasikan pada 2025.
Perdebatan
Tingkat penerimaan
publik terhadap energi nuklir di Indonesia sangat tinggi, yang menurut Badan
Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mencapai 75% tahun lalu. Apalagi dengan hasil
terbaru dari COP-21 di Paris yang sudah diadopsi oleh pemerintah terkait
pengurangan emisi C02, pemanfaatan energi nuklir sebagai sumber listrik bebas
emisi harus kembali dipertimbangkan. Namun, masih ada ketidakpahaman tentang
hal-hal mendasar mengenai industri nuklir dan realitas saat ini.
Baru-baru ini muncul
lagi debat seputar nuklir yang dipicu oleh torium, sumber bahan bakar baru
yang dikatakan berpotensi digunakan untuk reaktor nuklir komersial. Banyak
yang menganggap torium sebagai alternatif yang lebih baik daripada uranium
tradisional. Tidak diragukan lagi bahwa torium layak untuk didiskusikan dan
sangat masuk akal untuk ditindaklanjuti melalui suatu penelitian dan
pengembangan yang mendalam.
Siklus bahan bakar
torium memiliki beberapa keunggulan menarik, yaitu bahan bakar yang digunakan
mengandung jauh lebih sedikit elemen transuranium, limbah radioaktif yang
bertahan lama. Selain itu, kerak bumi mengandung torium tiga kali lebih
banyak ketimbang uranium sehingga siklus bahan bakar torium memiliki potensi
menjadi pilihan diversifikasi sebagai pemasok bahan bakar nuklir di masa
depan.
Namun, kurangnya
pengetahuan dasar tentang industri energi nuklir dan teknologi terbaru telah
menggiring masyarakat Indonesia pada kesimpulan yang menyesatkan bahwa torium
pada saat ini sudah dapat menjadi sumber energi baru untuk negara kita. Para
pendukung torium mengklaim bahwa Indonesia memiliki cadangan torium yang luar
biasa besar. Mereka yang paham cara kerja pembangkitan energi nuklir mengerti
bahwa di antara ekstraksi fisik uranium sampai ke pemanfaatannya terdapat
rantai teknologi yang sangat panjang dan luar biasa rumit; mulai ekstraksi,
konversi, pengayaan, dan berakhir dengan fabrikasi bahan bakar.
Selain itu, diperlukan
membangun reaktor nuklir dan kebijakan pengelolaan limbah, berikut regulasi
dan perizinannya. Hanya ada beberapa negara paling maju di dunia yang
memiliki rantai lengkap dari siklus bahan bakar nuklir uranium.
Inovasi nuklir
Untuk kasus torium,
situasinya bahkan lebih jelas; di dunia saat ini tidak ada reaktor nuklir
berbasis siklus torium yang beroperasi secara komersial. Penelitian dan
pengembangan terkait siklus bahan bakar nuklir torium telah dilakukan selama
puluhan tahun di negara-negara nuklir seperti Amerika Serikat, Rusia, dan
Jepang. Namun, tidak ada terobosan teknologi PLTN komersial untuk mengganti
uranium dengan torium.
Sebenarnya, torium
adalah bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan uranium-233 yang
dapat dipergunakan sebagai peralihan ke siklus bahan bakar nuklir yang lain,
yang berbeda dengan U-235 yang saat ini sedang digunakan secara komersial. Sebelum
reaktor bekerja dengan bahan bakar baru ini, U-233 harus diproduksi dan
diakumulasi terlebih dahulu. Selama proses iradiasi U-233 dengan neutron,
isotope U-232 dalam jumlah kecil akan berakumulasi di dalamnya dan
memancarkan radiasi gama yang kuat. Karena itu, perlu digunakan peralatan
robotik selama proses produksi campuran bahan bakar yang menggunakan torium
dan uranium-233 beserta penanganan lanjutannya (tidak seperti yang terjadi
pada bahan bakar uranium).
Sejumlah penelitian
dan pengujian yang ekstensif, serta investasi yang besar, sangat diperlukan
untuk menghadirkan sistem komersial siklus bahan bakar nuklir berbasis
torium. Selain itu, perlu dilakukan revisi semua kebijakan teknis, struktur
regulasi, perizinan, dan pelaksanaannya untuk menjamin keamanan dan
keselamatan.
Kesimpulannya, tidak
ada kelayakan ekonomi dan kesiapan teknis dari penggunaan torium sebagai
bahan bakar nuklir. Tentu saja, berbicara tentang masa depan tidak berarti
bahwa Indonesia harus tidak melakukan penelitian dan pengembangan di bidang
tersebut. Indonesia saat ini sudah dalam perjalanan ke inovasi nuklir,
melalui rencana proyek pembangunan reaktor eksperimental dengan gas bersuhu
tinggi (HTR/HTGR) di daerah Puspiptek Serpong.
Masyarakat, khususnya
di luar Jawa, masih mengalami pemadaman listrik. Mereka mengharapkan
langkah-langkah serius dan nyata untuk mengatasi masalah ini. Mungkin kita
perlu melihat contoh dari Vietnam, Uni Emirat Arab, dan negara-negara nuklir
baru lainnya. Mereka mengimplementasikan program tenaga nuklir nasional
secara serius, yang didasarkan pada teknologi teruji PLTN berbasis
uranium-235, untuk memastikan pencapaian pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan mereka secepatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar