ABG
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 17 April
2016
Berikut ini kutipan
dari sebuah berita di salah satu media sosial tanggal 7 April 2016. Awal
kutipan: ”Siswi yang belakangan diketahui bernama SED itu adalah siswi salah
satu SMA swasta, Medan.
Siswi ini memarahi
polwan ketika hendak ditilang karena menggelar konvoi, Rabu (6/4/2016)
kemarin seusai mengikuti ujian nasional. Saat diamankan polisi, penumpang
mobil wanita cantik yang masih berseragam SMA marahmarah kepada Ipda Perida
Panjaitan yang hendak menilang. ”Oke Bu, saya tidak mainmain ya, saya tandai
Ibu. Saya anak AD,” katanya dengan menunjuk-nunjuk polwan tersebut (AD adalah
nama seorang jenderal polisi). Ipda Perida hanya membalas katakata wanita
cantik tersebut dengan kata, ”Ia....ia....ok ya...,” katanya.
Saat wartawan
konfirmasi lagi, apakah ia benar anak Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen
(Pol) AD, ia tidak menjawab, hanya diam dan menutup wajahnya. Seusai
ribut-ribut, Ipda Perida membiarkan para siswi tersebut pergi. ”Kalian pulang
ya, langsung ke rumah ya. Kami memang membubarkan konvoi anak sekolah, buat
kalian juganya,” ucapnya. Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen (Pol) AD
membantah siswi yang memarahi polwan Ipda Perida Panjaitan adalah putrinya.
”Anak saya tidak ada
perempuan, yang diberitakan itu bukan anak saya. Tiga orang anak saya
laki-laki dan tinggal di Jakarta semua,” kata AD ketika dikonfirmasi salah
satu media online, Rabu (6/4/2016) malam. Akhir kutipan. Karena berita
tersebut di atas, Instagram pribadi milik SED langsung mendapat kecaman dari
netizen. Ada yang memberinya nasihat, tetapi kebanyakan memarahi, bahkan ada
yang menuliskan kata-kata yang kurang sopan, pada-hal para pengecam itu juga
tergolong baru saja melewati usia ABG (anak baru gede), alias mantan ABG dan
baru memasuki usia remaja.
Hal ini menunjukkan
betapa geramnya sesama mantan ABG di dunia maya terhadap rekannya yang
bernama SED ini. Memang SED tidak sendiri. Selain mobil SED yang ditangkap
polisi, masih banyak mobil lain dalam konvoi (namanya juga konvoi, pasti
mobil SED tidak sendirian), sedangkan di mobil SED sendiri ada beberapa
temannya yang sama-sama merayakan UN (ujian nasional).
Yang dirayakan pun
tidak jelas apanya dari UN, karena mereka baru saja usai mengikutinya, bukan
merayakan kelulusan dari UN. Pokoknya mereka asal berhura- hura saja dengan
melawan semua aturan. Persis seperti semboyan hedonis abadi anak muda sejak
zaman saya sendiri masih ABG, yaitu
”Muda hurahura, tua
foya-foya, mati masuk surga!”, yang pada kesempatan lain dan oleh kelompok
lain, bisa dilakukan dalam bentuk nongkrong sampai larut malam, atau ngetrek,
sampai ikut geng motor dan sebagainya. Yang lebih positif pun ada, seperti
membentuk kelompok-kelompok hobi, olahraga, musik, netizen dll, walaupun
banyak di antaranya dalam format-format baru yang tidak dikenal oleh angkatan
orang tua alias Angkatan Babe Gue (yang disingkat ”ABG” juga).
Memang Anak Baru Gede
zaman sekarang (ABG-S) selalu kontroversi (bertolak belakang) jika berhadapan
dengan Angkatan Babe Gue atau ABG zaman dulu (ABG-D), termasuk di dalamnya
perlawanan terhadap norma-norma generasi tua.
Kisah Siti Nurbaya,
misalnya, yang melawan adat Minang ketika dia akan dinikahkan paksa dengan
Datuk Maringgih, saudagar tua bangka, si lintah darat (karena orang tua Siti
Nurbaya banyak berutang pada Datuk Maringgih), dan lebih memilih Syamsul
Bahri yang kebetulan perwira KNIL (tentara Belanda), adalah cerminan dari
perlawanan generasi ABG-S melawan generasi orang tua mereka alias ABG-D saat
itu.
Jadi secara teoretis,
orang tidak perlu marah ketika SED (representasi ABG-S) marahmarah kepada
Ipda Perida (representasi ABG-D). Tetapi nyatanya, berita itu telah memancing
kemarahan ABG-S ataupun ABG-D zaman sekarang. Berarti masih ada nilai-nilai
yang sama, yang diikuti emosi yang sama, yang berlaku antargenerasi. Nilai yang
saya maksud adalah nilai harga diri dan menghormati orang lain, apalagi pada
orang yang lebih tua.
Adegan SED memarahi
Ipda Perida dianggap sangat tidak layak oleh generasi muda ataupun generasi
yang lebih tua, apalagi adegan itu sempat ditayangkan juga di media-media
massa (khususnya TV). Seandainya SED ketika melawan polisi adalah bagian dari
kelompok massa yang sedang demo dihadang oleh pasukan polisi, maka sikap
menentang yang seperti itu dianggap biasa untuk zaman sekarang.
Namun, SED
melakukannya sebagai perorangan terhadap Ipda Perida yang juga seorang
individu. Individu versus individu, yang satu ABG sekarang, yang satu lagi
ABG zaman dulu, dan yang ABG-S berkata-kata sombong dan kurang ajar terhadap
ABG-D yang selayaknya dihormati dan dihargai.
Harga diri kaum ABG-S
yang menonton sikap SED yang sombong itu terhentak, mereka (yang diwakili
oleh para netizen yang berkomentar terhadap Instagram SED) tidak mau dianggap
generasi yang sombong, suka melecehkan, tidak menghargai generasi tua,
termasuk melecehkan orang tua dengan cara mencatut namanya. Bukan gua banget
deh pokoknya, kata kaum ABG-S dalam hatinya.
Sementara itu, ABG-D
sendiri juga tidak senang ketika kehormatan dirinya yang terwakili oleh sosok
Ipda Perida dihina habis-habisan seperti itu. Tetapi yang paling aneh adalah
bahwa di zaman reformasi ini, masih ada mentalitas Orde Baru atau mentalitas
feodal yang mengandalkan kekuasaan orang lain untuk mendapatkan pengaruh atas
diri orang lain, yang masih melekat pada diri calon intelektual muda
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar