Subsidi
BBM Ancaman Utama bagi Perekonomian
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
21 April 2014
BAHAN
bakar minyak tidak lagi sebatas membelenggu, merusak postur, dan menambah ketidakpastian
APBN, melainkan telah pula merongrong akun lancar (current account), membuat semu tingkat laju inflasi, memicu
perkembangan sektor-sektor dalam perekonomian, menghambat diversifikasi
energi yang ramah lingkungan, memicu penyelundupan BBM, melahirkan
kebijakan-kebijakan yang semakin tak rasional, dan yang lebih mendasar lagi
mengiris-iris rasa keadilan. Pendek kata, subsidi BBM sudah menjelma jadi
tumor ganas bagi perekonomian.
Sudah
puluhan tahun perencanaan APBN porak poranda akibat fluktuasi harga minyak
dunia dan prakiraan konsumsi BBM bersubsidi yang hampir selalu meleset
sehingga besaran subsidi BBM kerap mengalami perubahan cukup besar.
Kemelesetan semakin besar akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS.
Ambil
contoh pada 2011. Pagu indikatif yang dihitung Kementerian Keuangan untuk
subsidi BBM sebesar Rp 109,1 triliun. Pada RAPBN 2011 tercantum Rp 92,8
triliun, lalu ditetapkan dalam APBN sebesar Rp 95,9 triliun. Karena sedari
awal tidak realistis, pemerintah mengajukan RAPBN Perubahan dengan
mencantumkan kenaikan subsidi BBM sebesar 31 persen menjadi Rp 125,3 triliun.
Kesepakatan akhir pemerintah dan DPR sebesar Rp 122,0 triliun sebagaimana
tercantum dalam APBN-P 2011.
Sudah
dikoreksi sedemikian besar, ternyata realisasinya—berdasarkan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan—melonjak
lebih tinggi lagi sebesar 35 persen menjadi Rp 165,2 triliun. Kalau
dibandingkan dengan pagu indikatif, berarti realisasinya melonjak 51 persen.
Jika dibandingkan dengan APBN, peningkatannya sebesar 72 persen.
Kemencengan
antara realisasi dan APBN lebih parah pada 2010, masing-masing Rp 82,4
triliun dan Rp 26,3 triliun atau pelonjakan sebesar 213 persen. Tahun 2012
juga masih cukup besar, yaitu 71 persen (APBN Rp 124 triliun dan realisasi Rp
212 triliun).
Lebih
mengerikan lagi kalau membandingkan realisasi subsidi BBM tahun 2013 dengan
yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Pada RPJM
2009-2014 tercantum subsidi BBM untuk 2013 hanya Rp 51,1 triliun. Adapun
realisasi subsidi BBM tahun 2013 sekitar Rp 210 triliun. Jika ditambah dengan
subsidi BBM yang belum dibayar pemerintah sebesar Rp 40 triliun, berarti
pelonjakannya sudah hampir lima kali lipat.
Jika
subsidi BBM melonjak, subsidi listrik otomatis membengkak. APBN 2014
mengalokasikan dana subsidi BBM sebesar Rp 211 triliun. Dalam laporan
terbarunya, Bank Dunia memperkirakan realisasi subsidi BBM akan mencapai Rp
267 triliun. Akibatnya, subsidi listrik diperkirakan membengkak dari semula
Rp 71 triliun menjadi Rp 103 triliun. Dengan demikian, subsidi keduanya
menjadi Rp 370 triliun atau 30 persen dari penerimaan pajak.
Sementara
itu, pemerintah pusat wajib mengalokasikan sekitar Rp 586 triliun untuk
daerah (48 persen dari penerimaan pajak). Gaji dan belanja barang sebesar Rp
445 triliun (37 persen). Jadi, untuk subsidi BBM dan listrik, transfer ke
daerah, serta gaji dan belanja barang sudah tersedot Rp 1.401 triliun,
padahal penerimaan pajak hanya Rp 1.216 triliun.
Pemerintah
semakin kerepotan karena kenaikan subsidi BBM otomatis menaikkan pos belanja
lainnya sehingga memperbesar volume APBN. Akibatnya, sejumlah anggaran wajib
yang besarnya dipatok ke APBN juga otomatis harus dinaikkan, seperti untuk
anggaran pendidikan (20 persen dari APBN) dan anggaran kesehatan (5 persen
dari APBN). Kenaikan beberapa pos anggaran wajib itu ditetapkan pada
pertengahan tahun ketika membahas APBN-P. Bisa dibayangkan betapa singkat
proses perencanaannya sehingga rawan disalahgunakan.
Di pihak
lain, penerimaan pemerintah dari pajak jarang melampaui target APBN. Maka,
pemerintah hanya memiliki dua pilihan. Pertama, memotong anggaran rutin
dengan melakukan penghematan pukul rata dan memotong belanja modal. Kedua,
menambah utang, baik utang luar negeri langsung maupun menerbitkan surat
utang.
Tetapi,
penambahan utang bukannya untuk meningkatkan belanja modal membangun
infrastruktur, melainkan mendorong konsumerisme, menyumpal lubang yang kian
dalam akibat subsidi BBM yang terus membengkak. Tak jarang pula belanja modal
dikorbankan. Namun, yang paling ironis, yang paling mudah dikorbankan adalah
anggaran untuk bantuan sosial karena sifatnya yang diskresioner (tidak
mengikat).
Sudah
sangat mendesak untuk merombak total cara penyusunan APBN. Dimulai dengan meminimalkan
faktor-faktor yang paling sensitif terhadap perubahan besaran APBN. Dan, itu
adalah subsidi BBM.
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kesatria dan negarawan, ia
harus membayar dosa tiga kali menurunkan harga BBM dalam rentang waktu yang sangat
singkat menjelang Pemilu 2009, yaitu dengan menaikkan harga BBM sesegera
mungkin, paling lambat pada Juni tahun ini.
Lalu, membangun kesepakatan dengan DPR untuk mematok besaran subsidi
sehingga tidak kerap berubah dan membuka ruang bagi penyesuaian harga BBM
bersubsidi secara berkala dengan besaran kenaikan yang tipis.
Tanpa
melakukan pembaruan total terhadap kebijakan energi nasional dan subsidi BBM,
setidaknya membentuk kerangka dasarnya terlebih dahulu dalam sisa waktu
pemerintahan sekarang, sama saja dengan mewariskan bom waktu kepada
pemerintahan mendatang, suatu sikap yang tidak kesatria. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar