Seleksi
Anggota LSF
Kemala Atmojo ; Pengamat Perfilman
|
TEMPO.CO,
22 April 2014
Tak lama
lagi seleksi calon anggota Lembaga Sensor Film (LSF) mestinya dimulai. Untuk
itu, penting bagi panitia seleksi untuk mendapatkan calon-calon anggota yang
responsif terhadap kemajuan zaman dan progresif dalam pemikiran. Hal ini
diperlukan agar LSF tidak menjadi momok mengerikan bagi insan perfilman
Indonesia.
Sudah
berpuluh tahun, bahkan sejak zaman Hindia Belanda, lembaga ini menjadi salah
satu sarana ampuh bagi pemerintah untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan
menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Sebab,
begitulah kisah sensor film ini dimulai di negeri ini.
Ketika
makin banyak film-film dari Eropa dan Amerika masuk, penguasa Hindia Belanda
dan sebagian penduduk Eropa di sini merasa galau. Menurut pejabat di Hindia
Belanda, film-film itu bisa mengubah citra masyarakat Eropa yang selama ini
digambarkan sebagai masyarakat beradab, berpendidikan, taat hukum, dan
lain-lain.
Untuk
itu, pada 1916, diterbitkanlah undang-undang bernama Ordonansi Bioskop.
Isinya adalah pembentukan komisi pemeriksaan film yang hendak diputar di
sini. Pada 1919, dibuat undang-undang baru menggantikan undang-undang lama,
dengan maksud memperketat film impor dan memperluas keberadaan komisi sensor
di daerah-daerah lain.
Intinya,
kebijakan sensor ini dimaksudkan untuk meredam citra miring mengenai perilaku
orang Barat di mata penduduk lokal. Kekhawatiran ini kemudian dibungkus
dengan aturan yang menyatakan bahwa komisi sensor berhak menggunting "film-film yang dianggap merusak
kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menjadi sebab dari munculnya gangguan
umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan."
Sayangnya,
ketika Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan
diteruskan oleh Panitia Pengawas Film. Panitia ini berhak menggunting film
dengan kriteria yang sangat umum: melanggar kesusilaan, mengganggu
kententeraman umum, dan memberi pengaruh buruk kepada masyarakat. Usmar
Ismail, tokoh perfilman kita, termasuk yang kurang sependapat atas
diteruskannya kebijakan sensor film ini.
Jadi,
asumsi dasar pemerintah kolonial dan pemerintah era Reformasi sebenarnya
masih sama: bahwa masyarakat kita ini masih bodoh. Mereka masih belum bisa
membedakan mana fiksi dan mana fakta. Karena itu, mereka harus dilindungi
dari tontonan yang (menurut versi pemerintah) kurang baik.
Kini,
pada era Reformasi ini, keberadaan LSF masih tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2009. Kemudian, pada 11 Maret lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014
sebagai pengganti PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.
Ada
beberapa perubahan substansial terjadi. Misalnya, dalam PP baru disebutkan
bahwa LSF merupakan lembaga yang bersifat tetap dan independen yang
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Selain itu, LSF
bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelumnya, dalam PP lama, disebutkan bahwa LSF merupakan lembaga
non-struktural. Lalu, dalam PP baru, LSF sekarang dapat membentuk perwakilan
di ibu kota provinsi.
Jumlah
anggota LSF kini disebut sebanyak 17 orang, yang terdiri atas 12 (dua belas)
orang dari unsur masyarakat dan 5 orang unsur pemerintahan. Sementara itu,
dalam PP lama, jumlah anggota LSF hanya ditetapkan maksimal sebanyak 45
orang. Dalam PP baru disebutkan bahwa anggota LSF ditetapkan dengan keputusan
presiden untuk masa jabatan 4 tahun. Dalam PP lama, anggota LSF diangkat oleh
presiden atas usul Menteri Penerangan untuk masa tugas 3 tahun.
Dalam PP
baru, faktor usia disebut secara jelas, yakni 35 sampai 70 tahun. Mereka akan
diseleksi oleh panitia seleksi yang berasal dari pemangku kepentingan
perfilman. Kemudian, menteri mengajukan dua kali lipat jumlah calon anggota
LSF kepada presiden. Selanjutnya, presiden mengangkat 17 anggota LSF setelah
berkonsultasi dengan DPR. Dalam PP lama, tidak disebutkan secara jelas proses
seleksi calon anggota LSF, juga prosedur sampai pengangkatannya.
Lalu,
unsur masyarakat sebagaimana dimaksud PP ini adalah mereka yang memiliki
kepakaran dalam bidang pendidikan, perfilman, kebudayaan, hukum, teknologi
informasi, pertahanan dan keamanan, bahasa, agama, atau kepakaran lain yang
relevan. Jumlahnya 12 orang. Adapun unsur pemerintah terdiri atas kementerian
atau lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang-bidang terkait.
Ya,
sudahlah. Yang penting sekarang bagaimana mendapatkan anggota LSF yang tidak
berpikir kolot sekaligus sok tahu. Sebab, yang akan menanggung akibat dari
kebodohan itu bukan hanya insan perfilman Indonesia, tapi seluruh rakyat
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar