Rakyat
Bukan Angka
Limas Sutanto ; Psikiater Konsultan
Psikoterapi, Tinggal di Malang
|
KOMPAS,
09 April 2014
GEJALA
distorsi terhadap kemanusiaan begitu kentara sejak berbulan-bulan lalu,
tepatnya sejak bangsa ini mulai berurusan dengan ”pesta besar” pemilihan
umum. Gejala itu masih terus berlangsung hingga saat-saat menuju pemilihan
umum. Bahkan, dikhawatirkan akan terus berlangsung sesudah para legislator
baru, presiden baru, dan wakil presiden baru duduk di singgasana kekuasaan.
Gejala
yang terasa begitu menonjol adalah kuantifikasi, yaitu reduksi kemanusiaan
menjadi sekadar angka. Rasakan betapa setiap hari yang dilakukan, diwartakan,
ditayangkan, dan dibicarakan adalah angka, angka, dan terus angka. Rakyat
(yang sesungguhnya adalah ”manusia dan hidupnya”) dijadikan angka belaka.
Sejumlah
angka dipakai untuk menandai rakyat: sekian ratus, sekian ribu, sekian juta
rakyat mendukung calon presiden yang ini; sekian ratus, sekian ribu,
dan
sekian juta rakyat menentang calon presiden yang itu. Bahkan, individu
direduksi menjadi angka 50.000 (rupiah) oleh politisi yang mempraktikkan
politik uang demi keterpilihannya secara curang dalam pemilu.
Survei-survei
tentang popularitas dan elektabilitas calon legislator, calon presiden, dan
calon wakil presiden begitu digandrungi. Melalui survei-survei itu,
lagi-lagi, rakyat dan individu (manusia dan hidupnya) diringkas secara paksa
menjadi angka-angka.
Setiap
kali partai politik menyelenggarakan kampanye, yang paling dipentingkan
adalah angka-angka. Karena itu pula rakyat lalu dijelmakan menjadi angkaangka
(sekian ratus, sekian ribu, atau puluhan ribu kader dan simpatisan yang
memenuhi lapangan atau gedung tempat berlangsungnya kampanye). Jika kampanye
dihadiri rakyat dalam jumlah (angka) yang besar, dikatakan bahwa kampanye itu
berhasil.
Terlihat
betapa kita tidak menyadari berlangsungnya proses distorsi kemanusiaan yang
panjang dan mendalam itu. Sesungguhnya yang bisa dikuantifikasi itu hanya
obyek kebendaan atau materi, sedangkan ”manusia dan hidupnya” adalah ”subyek
yang mengalami” (the experiencing
subject, kata psikoanalis Frank Summers, 2013), maka ia tidak pernah bisa
dikuantifikasi.
Jika
kuantifikasi terhadap manusia toh dipaksakan, tak pelak yang terjadi adalah
obyektivikasi manusia. Manusia disetarakan dengan obyek kebendaan atau
materi. Distorsi terhadap kemanusiaan sungguh masif, melalui kuantifikasi dan
obyektivikasi dalam ruang yang serba materialistis, kemanusiaan manusia
dienyahkan, manusia menjadi benda (tanpa jiwa) di ruang homogen.
Jika
pemilu berlangsung dalam naungan tiga nilai hegemoni itu—kuantifikasi,
obyektivikasi, dan materialisme—sangat patut dikhawatirkan. Sebab, yang akan
dihasilkan hanyalah orang-orang berkuasa yang memperlakukan rakyat sebagai
obyek pemuasan materialistis mereka.
Subyek bukanlah obyek
Begitu
pemilu selesai dilaksanakan, kuantifikasi suara untuk setiap partai dan calon
legislator, juga nantinya untuk setiap calon presiden dan calon wakil
presiden, merupakan keniscayaan. Mereka yang mendapatkan kuantitas suara
terbanyak akan segera disebut sebagai pemenang pemilu. Itu semua mereka
dapatkan setelah rakyat dan individu direduksi menjadi sekadar angka-angka,
seolah bagaikan benda-benda di ruang homogen yang dapat dihitung satu per
satu.
Barangkali
ini adalah satu-satunya kuantifikasi terhadap rakyat dan individu yang
terpaksa dibolehkan terjadi karena pemilu mesti menghasilkan angka-angka
perolehan suara setiap calon penguasa. Namun, itu tidak berarti kekuasaan
yang diperoleh oleh calon-calon penguasa melalui pemilu boleh digunakan dalam
semangat nilai-nilai hegemoni kuantifikasi, obyektivikasi, dan materialisme.
Justru
kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa baru melalui pemilu
niscaya dialami sebagai kepercayaan yang dilimpahkan oleh subyek-subyek
(bukan obyek-obyek) yang mengalami hidupnya dengan semua pikiran dan
perasaannya sebagai manusia.
Rakyat
dan individu warga negara sebagai subyek tentu setara dengan orang-orang yang
melalui pemilu dilimpahi kepercayaan untuk berkuasa. Subyek itu perlu selalu
dihargai hidup kemanusiaannya. Sebagai orang-orang yang dilimpahi
kepercayaan, para penguasa baru selalu diikat oleh semua kewajiban untuk
menggunakan kekuasaan hanya untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan kebaikan
hidup subyek-subyek yang disebut secara ringkas sebagai rakyat.
Itu
semua akan bisa diejawantahkan oleh para penguasa baru jika mereka
benar-benar dekat secara manusiawi dengan subyek-subyek yang disebut rakyat itu.
Penguasa
perlu hadir di tengah subyek-subyek itu, bercakap-cakap dengan mereka, berada
di tengah kehidupan mereka, berbuat sebagai sesama manusia yang menyerap apa
yang dialami dan dirasakan oleh subyek-subjek itu, mengasimilasi dan
menyintesiskannya dengan kebaikan dalam dirinya, dan mengejawantahkan
tindakan bijak untuk kebaikan hidup subyek-subyek yang dinamai ”rakyat”.
Kita meyakini bahwa itulah tolok ukur baru kepemimpinan dan penguasa di
bumi negeri kita. Pemilu 2014 semestinya menjadi pintu gerbang perwujudan
kehidupan Indonesia baru yang sejak titik awalnya benar-benar ditandai oleh
realisasi tolok ukur baru itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar