Senin, 07 April 2014

Politik Balas Budi ala Wartawan

Politik Balas Budi ala Wartawan

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 20 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Presiden SBY, tergolong tokoh nasional yang tidak pernah lepas dari kritikan. Terutama sejak 2009, di masa pemerintahannya yang kedua.

Demikian ekstensifnya kritik pers terhadap SBY, telah memunculkan plesetan: "tiada hari tanpa kritik untuk pak Beye..". Kata yang terakhir ini merujuk pada nama BY yang artinya Bambang Yudhoyono.

Kendati banyak dikritik, yang terkesan dari reaksi SBY, ia tidak terlalu marah. Ia tahan emosinya atau coba tunjukkan sikap seorang yang berjiwa besar. Bahwa dia cukup siap dikritik oleh pers.

Kalaupun SBY mengeluh, keluhannya hanya berhenti di keluhan. Tidak pernah tersirat SBY ingin menggunakan "otot militer"-nya untuk memberangus pers, sebagaimana dulu dilakukan rezim militer di era Orde Baru. Ini menandakan, SBY seorang jenderal yang cukup paham tentang peran pers. Dia sadar pentingnya sebuah kebebasan pers.

Indonesia, negara yang dipimpinnya membutuhkan pers yang bebas dan demokratis. Pers sebagai pilar keempat demokrasi sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Tanpa pers yang bebas, demokrasi tidak akan eksis. Tanpa demokrasi akan sulit menggerakan negara maju ke depan. SBY pun menjaga jarak dengan kelompok militer yang nota bene merupakan keluarga dan induk semangnya.

Apapun kekurangan Presiden SBY selama memerintah 2004-2014, yang patut diberi kredit poin terbesar adalah sikap dan tindakan SBY yang menghormati kebebasan pers dan institusinya. Sikap SBY seperti tak rentan terhadap kritik pers, agak berbeda dengan langkah (politik) yang dilakukan oleh Dahlan Iskan.

SBY sebagai seorang militer, seperti ingin "menjauhkan" diri termasuk pemerintahannya dari militer. Sebaliknya Dahlan Iskan yang merupakan seorang wartawan sejati, seperti ingin "menjauhkan" pers miliknya dari komunitas pers nasional. Seperti pendulum, pers yang dipimpin Dahlan bergerak berat ke arah pemerintah atau penguasa.

Jika hal ini dilakukan Dahlan di era represif, langkah itu masih bisa dipahami. Bahkan setiap komunitas pers, pasti mendukungnya. Sebab cara tersebut dapat menjadi pencegah atas kemungkinan pembreidelan pers oleh penguasa.

Hanya saja karena langkah itu dilakukan oleh Dahlan di era reformasi, di saat pers tidak memiliki ketakutan dan kekhawatiran sama sekali terhadap bentuk ancaman apapun dari penguasa, inilah yang dirasakan sebagai sebuah kejanggalan. Inilah yang menimbulkan pertanyaan ada apa di balik agenda politik Dahlan Iskan ?

Pertanyaan ini terus mengemuka, karena sesungguhnya bagi komunitas pers, Dahlan Iskan banyak melakukan perubahan dan terobosan. Hal itu tercermin dari sikap anak buahnya Margiono.

Semenjak terpilih sebagai Ketua Umum di 2003, Margiono banyak melakukan perubahan dalam sistem dan manajemen kepengurusan PWI Pusat. Konon hal tersebut atas restu dan dorongan Dahlan Iskan. Salah satu contoh kecil tetapi punya dampak besar adalah pembenahan yang dilakukannya di kantor PWI Pusat.

Margiono merenovasi sekretariat dan ruang kerja PWI Pusat yang berada di Gedung Dewan Pers, Jl Kebon Sirih Jakarta. Renovasi ini sangat berarti. Sebab selama lebih dari 20 tahun PWI Pusat berkantor di situ, belum satupun pengurus yang berpikir seperti Margono atau Dahlan Iskam.

Hasil renovasi membuat suasana kantor PWI Pusat terasa nyaman. Ruang rapat dilengkapi oleh perangkat yang diperlukan dan ruangannya terkesan punya estetika. Hal ini menimbulkan semangat baru di kalangan pengurus. Mereka lebih sering memanfaatkan kantor tersebut.

Di tengah hadirnya semangat baru dari pengurus PWI, Dahlan Iskan yang juga salah seorang anggota senior PWI kemudian mengambil sebuah keputusan yang sifatnya reposisi. Mengapa reposisi Dahlan Iskan mengundang pertanyaan? Tidak lain karena keputusannya itu terjadi di saat usia pemerintahan SBY sudah berada di ufuk senja.

Selain itu pada saat Dahlan merapat ke rezim pemerintahan SBY, akuntabilitas dan kredibilitas Presiden ke-6 RI tersebut sedang berada pada titik yang sangat rendah.

Dan posisi SBY yang tidak kondusif ini, bukan sebuah penilaian subyektif. Melainkan didasarkan pada berbagai hasil survei dari lembaga-lembaga survei. Oleh sebab itu logika sehat beranggapan, Dahlan Iskan semestinya tahu kondisi tersebut.

Ketika keberpihakan Dahlan Iskan dikaitkan dengan keberhasilan Margiono menjadi pimpinan tertinggi di PWI Pusat, dimana disebut-sebut keberhasilan itu juga antara lain didukung oleh modal hubungan baik antara Margiono dan SBY maka timbul pertanyaan: langkah Dahlan merupakan balas budi kepada Presiden?

Keberhasilan Margono menjadi Ketua Umum PWI berturut-turut selama dua periode, juga ditengarai karena hubungan pribadinya dengan Presiden SBY, sangat kuat. Dengan latar belakang ini, yang dikhawatirkan adalah jika seluruh langkah politik Dahlan Iskan tidak lepas dari kebijakan balas budi.

Komunitas wartawan Indonesia pasti akan senang jika seorang warganya berhasil menjadi calon kemudian Presiden. Tapi kebanggaan itu harus tetap ditunjang oleh martabat. Martabat itu antara lain ditunjukkan oleh almarhum Adam Malik.

Bekas wartawan Kantor Berita Nasional Antara itu mula-mula menjadi Menteri Luar Negeri. Sebagai diplomat ia berhasil mendapat kepercayaan PBB untuk memimpin Sidang Umum badan internasional itu. Selepas menjabat Menlu, Adam Malik terpilih sebagai Ketua DPR/MPR/RI pada Oktober 1977. Kemudian Maret 1978 menjadi Wakil Presiden RI.

Promosi Adam Malik tidak memberi dampak perubahan secara signifikan terhadap profesi wartawan. Tetapi pada era ketika kebebasan pers dikekang di masa itu, Adam Malik masih suka membantu media dan wartawan - manakala mengalami kesulitan dengan penguasa.

Penegakkan kebebasan pers dan demokrasi, sekalipun di era itu mustahil dilakukan, tetapi lewat berbagai jaringannya, Adam Malik terus meyakinkan rezim otoriter bahwa kebebasan pers dan demokrasi mutlak dibutuhkan oleh negara yang mau maju. Pers tetap dikontrol ketat oleh rezim Orde Baru. Tetapi ketika pers sudah terlalu terbebani oleh sikap opresif pemerintah, Adam Malik masih mau bersuara membela pers.

Wartawan Indonesia pasti bangga jika Dahlan Iskan bisa melampaui prestasi Adam Malik. Warga media nasional tentu berharap agar Dahlan Iskan masih tetap menjadi seorang tokoh pers yang bisa jadi panutan.

Diceritakannya kembali peran Adam Malik dalam ikut membangun kebebasan pers dan demokrasi, karena adanya kekhawatiran baru. Bisa saja tokoh pers seperti Dahlan terjebak dalam dikotomi bahwa sebagai orang yang sudah sukses di dunia pers, tak ada lagi orang yang paling tahu tentang pers di Indonesia, kecuali dirinya.

Yang kita kuatirkan, jangan sampai gara-gara Dahlan Iskan sudah masuk dalam 'lingkar dalam kekuasaan' paradigmanya tentang peranan pers, kebebasan pers dan demokrasi, juga serta merta berubah. Dan perubahan paradigma itu kemudian diterjemahkan oleh Jawa Pos Grup

Kita tetap berharap sebagai satu korps di dunia jurnalistik, apapun yang diputuskan Dahlan Iskan, Jawa Pos Grup, berikut personalia wartawannya, tetap menjadi pilar demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar