Polemik
Pencalonan Jokowi
Yusa Djuyandi ; Dosen Politik Unpad dan Binus University
|
HALUAN,
19 April 2014
Artikel ini telah dimuat di OKEZONENEWS 14 April 2014
Siapa
yang tidak mengenal sosok Joko Widodo (Jokowi), pemimpin yang dikenal
merakyat selama menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Pamor Jokowi
memang saat ini tengah naik daun. Bahkan ketenarannya sampai mengalahkan
Wakil Presiden Boediono tatkala keduanya mengunjungi sebuah sekolah di
Jakarta. Dalam berbagai survei calon presiden (Capres) nama Jokowi juga
selalu berada di atas nama-nama lainnya, meskipun saat itu dirinya belum
dicalonkan sebagai Capres oleh partainya.
Naiknya
nama Jokowi dalam survei ternyata berdampak pada pendirian sebagian pengurus
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebab sebelumnya mayoritas
pengurus PDI-P masih ingin mencalonkan Megawati sebagai Capres. Pencalonan
Jokowi oleh PDI-P memang terkesan tiba-tiba namun penuh dengan pertimbangan,
sebab Megawati telah beberapa kali memanggil Gubernur DKI Jakarta tersebut
ke kediamannya. Sebagai Ketua Umum PDI-P sepertinya Megawati juga merasakan
bahwa partainya membutuhkan sosok baru, yang mana sosok itu juga diharapkan
dapat membawa pengaruh terhadap partai.
Secara
politik pencalonan Jokowi sebagai capres tidak hanya akan meramaikan
persaingan memperebutkan kursi RI 1, namun juga akan meramaikan persaingan
dalam memperebutkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sosok Jokowi mungkin
dapat membawa citra positif bagi PDI Perjuangan, sebab masyarakat Indonesia
umumnya masih melihat ketokohan seseorang, termasuk dalam memilih partai.
Ketokohan sampai dengan saat ini memang masih menjadi sesuatu yang dapat
diperhitungkan, contohnya dalam Pemilu 2004 dan 2009 sosok Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menjadi ikon dari Partai Demokrat dan dengannya Partai
Demokrat berhasil memperoleh suara yang signifikan di DPR.
Respons
Dicalonkannya
Jokowi sebagai Capres dari PDI-P belakangan memunculkan sikap pro dan kontra
yang semakin meluas. Bagi sebagian masyarakat yang pro menganggap Indonesia
butuh pemimpin seperti Jokowi yang dianggap merakyat, sedang yang kontra
menganggap Jokowi harus menyelesaikan tugas dan janjinya sebagai Gubernur DKI
Jakarta. Sebagai seseorang yang belum satu periode dan belum genap dua tahun
memimpin Jakarta, pencalonan Jokowi sebagai Capres memang dapat dirasakan
kurang etis.
Kritik
untuk Jokowi lebih diarahkan pada janjinya yang akan memimpin dan mengurus
Jakarta sampai masa jabatannya selesai. Jokowi dalam beberapa kesempatan
bahkan seolah-olah enggan dicalonkan menjadi Capres. Terkait dengan etika
politik, seorang pemimpin dapat dinilai tidak beretika manakala dirinya tidak
amanah dalam menjalankan tugas dan lebih memilih untuk mementingkan
kepentingan partai daripada rakyat. Sebuah kepercayaan terhadap pemimpin
politik datang dari adanya komitmen pemimpin tersebut terhadap
janji-janjinya. Apabila Jokowi ingin menjadi seorang pemimpin yang mendapat
kepercayaan rakyat maka dirinya harus mengedepankan dan menepati janjinya
kepada rakyat.
Respons
atau kritikan terhadap pencalonan Jokowi tidak hanya mendapat tanggapan dari
sebagian masyarakat, tetapi juga beberapa partai termasuk Gerindra. Bagi
partai Gerindra, pencalonan Jokowi oleh PDI-P dianggap melanggar perjanjian
Batu Tulis yang pernah disepakati antara Prabowo dan Megawati. Beberapa fakta
perjanjian Batu Tulis belakangan banyak dimunculkan oleh beberapa petinggi
Partai Gerindra, yang isinya pada 2014 PDI Perjuangan dan Megawati akan
mendukung Prabowo sebagai Capres. Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh adanya
koalisi PDI-P dan Gerindra pada Pemilihan Presiden tahun 2009. Sikap PDI-P
yang berusaha untuk menghindar dan tidak memperhatikan respon Gerindra
semakin merenggangkan hubungan kedua partai, dari yang sebelumnya sangat
erat.
Bagi
penulis hal lain yang perlu di respons dari pencalonan Jokowi adalah adanya
penggunaan kalimat bahwa Jokowi menerima mandat dari ketua umum PDI-P.
Kalimat itu menunjukan bahwa Jokowi adalah kepanjangan tangan dari partainya
dan bukan rakyatnya, hal ini tentu perlu dikritisi dan diperhatikan sebab
Jokowi merupakan pejabat publik yang tidak lagi boleh dikendalikan partainya.
Track Record
Sosok
Jokowi memang tengah naik dan mendapat banyak sorotan, tetapi hal tersebut
dapat dengan mudah hilang manakala rakyat menilai dirinya tidak amanah.
Kinerja Jokowi sebagai gubernur juga sebenarnya belum tergolong istimewa
sebab belum ada prestasi nyata yang ditunjukkan oleh Jokowi kepada warga
Jakarta. Berbagai permasalahan yang ada di Jakarta juga belum sepenuhnya
terselesaikan, seperti banjir dan kemacetan yang hingga saat ini belum jelas
arah penanganannya. Berkaca kepada kondisi tersebut, pencapresan Jokowi di
tahun ini sepertinya hanya mengambil kesempatan dan momentum politik yang
ada.
Apabila
Jokowi memang direncanakan untuk maju dalam persaingan calon presiden maka
akan lebih baik jika itu dilakukan pada tahun 2019, manakala dirinya telah
selesai satu periode menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Untuk menjadi pemimpin
nasional yang kuat, berkarakter dan bertanggung jawab maka Jokowi harus di
uji terlebih dahulu. Apabila Jokowi berhasil memimpin Jakarta selama satu
periode dan memecahkan segala persoalan yang ada maka dirinya dapat
dinyatakan sudah sangat layak memimpin Indonesia.
Peluang
Jokowi untuk menjadi pemimpin nasional akan jauh lebih besar apabila diri dan
partainya sedikit menahan hasrat politik yang ada. PDI-P juga perlu menyadari
bahwa pencalonan Jokowi sebagai Capres juga adalah pertaruhan politik yang
akan menentukan suara PDI-P pada pemilu periode berikutnya. Perlu dipahami
bahwa Jokowi belum sepenuhnya memiliki track
record positif, karena itu perlu sebuah pertimbangan yang matang untuk
menjadikan dirinya sebagai Capres di tahun ini.
Disisi
lain sebagai seorang pemimpin, Jokowi selayaknya memperhatikan aspirasi
masyarakatnya yang menghendaki agar persoalan Jakarta diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Jabatan yang melekat pada dirinya sebagai seorang gubernur
merupakan amanah, apabila sebagai gubernur saja Jokowi tidak menjalankan amanah
itu dengan baik maka bagaimana kelak jika telah terpilih menjadi presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar