Pemimpin
Menurut Tajus Salatin
Parni Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 01 April 2014
Masih
ingat Kitab Tajus Salatin atau Taj al-Salatin yang artinya Mahkota Segala
Raja? Betul, itu buku yang berisi pedoman untuk raja-raja Nusantara, karya
Bukhari Al-Jauhari yang bergelar Syah Alam dan hidup dalam masa pemerintahan
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammil dari Kerajaan Aceh Darussalam
pada abad XVII.
Isi buku
ini adalah tentang bagaimana seharusnya perilaku dan kewajiban raja, menteri,
hulubalang, serta pembesar kerajaan lainnya juga rakyat dalam bernegara
berdasar ajaran Islam. Begitu yang diungkapkan dalam Ensikopledi Aceh: Adat,
Hikayat dan Sastra, karya LK Arad an Medri, sastrawan asal Aceh (2008).
Budayawan
Abdul Hadi WM menyebutkan, Tajus Salatin (TS) adalah sastra Melayu Islam
pertama yang membicarakan masalah etik, kepemimpinan, politik, dan manajemen
pemerintahan. Bukhari adalah ulama dan satrawan Melayu besar abad XVI-XVII.
Terlepas
masih ada pro dan kontra tentang asal usul penulis buku ini (ada yang
mengatakan berasal dari Johor, Malaysia), buku ini ditulis di istana kerajaan
Aceh Darussalam pada 1603 atau 1012 H dipersembahkan untuk Sultan Alauddin.
TS
diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Jawa (Serat Tajus Salatin),
Sunda, Belanda, Inggris, dan Prancis.
Tersusun
dalam 24 fasal, isi buku ini memang lengkap. Buku ini sangat relevan dengan
Pemilu 2014 karena isinya adalah petunjuk untuk menjalankan pemerintahan,
memimpin rakyat yang majemuk secara etnik, agama, dan latar belakang
kehidupan.
Hal yang
sangat menarik untuk disimak adalah, petunjuk bagaimana seorang raja
(pemimpin) harus bisa membagi waktu.
Ada
empat waktu yang harus diperhatikan, yakni 1) waktu untuk menjalankan
kewajiban perintah agama, 2) waktu untuk melakukan kewajiban pemerintahan, 3)
waktu untuk makan dan tidur dan 4) waktu untuk beristirahat, bersenang-senang
dengan istri dan keluarga.
Merujuk
pada akhlak dan perilaku mulia para nabi, terutama Nabi Muhammad Saw, TS
mengingatkan, para nabi memegang kekuasaan adalah untuk tujuan spiritual,
ibadah kepada Allah, bukan tujuan material atau memperkaya diri. Demikian
hendaknya diikuti para raja atau pemimpin.
10 Syarat Pemimpin
Tajus
Salatin mengungkapkan 10 syarat untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik,
yakni:
Akil
baligh atau dewasa dan berpendidikan, agar dapat membedakan mana yang baik
dan buruk.
2.
Mempunyai ilmu pengetahuan yang banyak dan berwawasan luas.
3.
Pandai memilih menteri, yakni orang yang berilmu, sehingga mampu menjalankan
tugas sesuai bidangnya.
4. Baik
rupa (paras), kalau kurang baik yang penting baik budinya.
5. Dermawan.
Kedermawanan merupakan sifat bangsawan atau orang berbudi, sedangkan kikir
sifat orang musyrik dan murtad.
6. Ingat
kebaikan orang yang pernah membantunya.
7.
Berani menegur anak buah, termasuk jenderal dan panglima perang, jika
terbukti melanggar perintah dan undang-undang.
8.
Jangan teralu banyak makan dan tidur, karena kedua hal itu sumber bencana.
9. Tidak
gemar main perempuan (melakukan hubungan seks), sebab itu bukan tanda orang
berbudi.
10.
Laki-laki. Perempuan boleh mejadi raja atau pemimpin jika memang tidak ada
laki-laki yang layak untuk diangkat.
Pemimpin sejati, menurut “Tunjuk
Ajar Melayu”
Senapas
dengan Tajus Salatin, kitab Tunjuk Ajar Melayu (TAM) karya Tenas Effendy,
sastrawan Riau, memberikan petunjuk tentang sifat pemimpin sejati sebagai
berikut:
Kalau
hendak tahu pemimpin sejati, tengoklah ia memimpin negeri: memerintahnya di
jalan Allah memerintahnya dengan petuah amanah memerintah tidak semena-mena
memerintah tidak mengada-ada memerintah dengan berlapang dada memerintah
dengan akal budinya memerintah dengan bermanis muka memerintah dengan
berlembut lidah memerintah dengan adilnya berkuasa tidak membinasakan kuat
tidak mematahkan besar tidak mengecilkan tinggi tidak merendahkan kaya tidak
menistakan
Ungkapan-ungkapan
dalam TS dan TAM itu juga terdapat dalam khazanah sastra dan budaya daerah
Nusantara lainnya. Contohnya, dalam ajaran Jawa dikenal ungkapan “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa
menghinakan) dan “nguwongke”
(memanusiakan atau menghormati harkat kemanusiaan).
Semua
tanda pemimpin yang baik itu adalah sifat-sifat pemimpin profetik (kenabian).
Sekarang, silahkan pilih calon anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan
wapres yang memenuhi persyaratan-persyaratan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar