Kamis, 20 Februari 2014

Mencari Pemimpin Bervisi Kelautan

Mencari Pemimpin Bervisi Kelautan

Andi Perdana Gumilang  ;   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
KORAN JAKARTA,  20 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Tahun 2014 menjadi tahun penting untuk mencari serta mendapatkan pemimpin baru Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan, maka sosok pemimpin yang muncul perlu memiliki perhatian besar dalam mengelola potensi sumber daya kelautan yang ada untuk kesejahteraan rakyatnya.

Berdasarkan fakta geografis, wilayah Indonesia memiliki luas perairan yang lebih luas dibandingkan daratan dan sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Lebih dari itu, wilayah laut Indonesia memiliki nilai strategis bagi perekonomian dunia. 
Potensi wilayah laut Indonesia sebesar 5,8 juta km2, lebih besar dibandingkan wilayah darat, serta memiliki garis pantai sepanjang 95.200 km dan potensi lestari sumber daya ikan laut 6,5 juta ton per tahun atau 8,1 persen potensi ikan laut dunia (FAO, 2008).

Hal ini menjadikan Indonesia punya modal dasar potensi pembangunan yang jauh lebih besar dan beragam daripada negara-negara lain.

Dalam buku Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity, Indonesia memiliki potensi kekayaan laut mencapai 1,2 triliun dollar AS per tahun, baik yang berkaitan dengan sumber daya alam dan jasa kelautan.

Namun, sumbangan sektor kelautan nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah, hanya sekitar 22 persen, sementara negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia seperti Korea Selatan, Jepang, China, Thailand, Norwegia, dan Islandia, sumbangan sektor kelautan bagi PDB nya rata-rata lebih dari 35 persen.

Tentu ini menjadi ironis mengingat besarnya potensi kelautan negeri ini yang belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan.
Seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Sekitar 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik dan sekitar 75 persen dari produk komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dollar AS setiap tahunnya.

Karena Indonesia secara geoekonomi paling strategis diapit oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, maka seharusnya Indonesia mendapatkan keuntungan paling besar dari arus perdagangan global tersebut. Sayang, selama ini, justru Singapura, Hong Kong, Jepang, dan RRC yang memetik keuntungan.

Dari kacamata oseanografi-atmosfer, pergerakan arus laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui perairan dalam Indonesia, Indonesian Throughflow atau Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) memegang peran penting dalam mengontrol iklim global. Beberapa penelitian menunjukkan setiap tahun rata-rata 10 juta meter kubik per detik (10 sverdrup) massa air mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui Selat yakni Selat Lombok, Selat Ombai, dan Laut Timor.

Terganggunya keseimbangan sistem arus laut ini menimbulkan efek yang besar terhadap dinamika laut-atsmofer di kedua samudra ini yang dikenal dengan istilah fenomena El Nino-La Nina dan Indian Ocean Dipole.

Sementara itu, seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia serta semakin menipisnya SDA dan jasa-jasa lingkungan di daratan, maka laut secara realitas akan menjadi tumpuan harapan manusia sebagai sumber pangan, obat-obatan, kosmetik, bahan baku industri, energi sumber daya mineral, pariwisata, transportasi, dan komunikasi.

Bila negeri ini mampu mendayagunakan potensi kelautan dan perikanan secara produktif, masalah pengangguran dan kemiskinan diharapkan bisa terpecahkan.
Namun, hal itu hanya menjadi impian belaka bila pemimpin di negeri ini masih belum menggeser paradigmanya ke laut sebagai kekuatan (sea power). Karena itu, Indonesia membutuhkan pemimpin berwawasan kelautan.

Orientasi Kelautan

Dalam mengelola potensi kelautan, diperlukan akselerasi dan terobosan dari seluruh komponen untuk mewujudkan laut sebagai kekuatan, maka beberapa faktor perlu menjadi perhatian. Pemerintahan baru ke depan perlu mereorientasi pembangunan nasional dari yang berbasis daratan ke kelautan.

Artinya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus dibangkitkan dengan membangun infrastruktur dan kluster-kluster industri terpadu berbasis kelautan yang ditopang oleh pelabuhan yang memadai di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti di sepanjang Selat Malaka–Laut Natuna, Selat Sunda–Selat Karimata, Selat Lombok–Selat Makassar, Laut Sawu–Laut Sulawesi, Laut Banda–Teluk Cenderawasih, dan Laut Arafura–Merauke.

Pelabuhan laut dapat digunakan untuk mengapalkan komoditas dan produk yang berasal dari wilayah daratan, seperti perkebunan, tanaman pangan, ternak, industri manufaktur, dan pertambangan.

Sarana transportasi laut juga harus diperkuat dan dikembangkan agar mampu memecahkan masalah konektivitas antarwilayah pulau yang selama ini membuat ekonomi nasional kurang efisien.

Pada saat yang sama, teknologi dalam pendayagunaan sumber daya laut dalam, perikanan, migas, dan mineral lainnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) bagian Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik perlu ditingkatkan.

Segala permasalahan di sektor kelautan seperti penyelesaian batas-batas wilayah dan penegakan kedaulatan wilayah saatnya diatasi. Pemerintah perlu memberi kemudahan rakyat dalam kelompok usaha kecil sektor perikanan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha baik dalam aspek produksi, industri pengolahan, maupun perdagangan hasil produksi.

Meningkatkan kapasitas nelayan dan pembudi daya ikan agar mereka mampu menjalankan usaha yang memenuhi skala ekonomi dengan baik dan menghasilkan produk berkualitas berdaya saing perlu menjadi agenda secara berkelanjutan.

Pendidikan Kelautan

Secara umum, sekitar 60-70 persen petani dan nelayan Indonesia berpendidikan SD, 15 persen SLTP, 13 persen SLTA, dan hanya 1 persen lulus perguruan tinggi (Cipto, 2012). Kondisi ini menunjukkan keprihatinan dalam pendidikan nelayan.

Pendidikan sudah saatnya mampu mengangkat pendidikan petani dan nelayan sebagai pelaku penyedia pangan. Amanah UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menyentuh kehidupan nelayan secara nyata.

Di samping itu, kualitas pendidikan penyuluh perikanan laut perlu ditingkatkan. Berdasarkan UU No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K), penyuluh dituntut profesional dan mampu menjadi mitra strategis petani, nelayan dalam membangun pertanian dan perikanan.
Nelayan diharapkan terampil menerapkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan serta mampu mengelola usaha perikanan secara berkelanjutan.

Penyuluh perikanan berperan penting mendampingi nelayan agar komoditas perikanan yang diperolehnya dapat memiliki daya saing. Infrastruktur pelabuhan perikanan yang baik perlu dibangun secara merata di setiap wilayah.

Kemampuan penyuluh sebagai mitra nelayan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan lanjut di program studi pengelolaan sumber daya kelautan, manajemen sumber daya perikanan, dan yang terkait. 

Potensi laut Indonesia yang besar sudah saatnya menjadi fokus untuk memecahkan berbagai persoalan kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, pemimpin berwawasan kelautan perlu memperkuat pendidikan kelautan di wilayah Indonesia.
Upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan pembangunan wilayah laut yang kuat diperlukan sebuah rencana dan sistem pengelolaan sumber daya laut yang tepat. 

Untuk menyusun rencana dan menjalankan sistem tersebut diperlukan beberapa komponen penting di mana salah satu komponen tersebut adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan.

Paradigma pendidikan kelautan perlu berlandaskan pada IPTEK. Tanpa penguasaan IPTEK kita tidak akan mampu memberikan nilai tambah pada sumber daya laut yang kita eksploitasi sehingga jika sumber daya laut yang dimanfaatkan dan diambil tersebut habis, maka tidak ada lagi yang dapat menjadi sumber pendapatan negara
Bangsa ini akan segera jatuh dalam persaingan ekonomi global jika selamanya hanya mengandalkan pada ekspor produk-produk bahan mentah.

Langkah-langkah terobosan untuk memacu penguasaan IPTEK kelautan setidaknya pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan ekonomi dan industri berdasarkan pada potensi yang dimiliki yaitu sumber daya laut.

Selama ini, belum ada perubahan nyata dalam roadmap pembangunan nasional, negara ini masih berkutat pada orientasi daratan. Penelitian dan industri sudah saatnya mengoptimalkan potensi kelautan untuk kemajuan bangsa.

Selain itu, perlunya memberikan pembinaan sumber daya manusia (SDM) sejak dini kepada generasi muda mengenai kelautan sehingga mereka terpacu untuk mencintai laut dan akan lebih mudah dalam mendalami ilmu-ilmu mengenai kelautan. Kurikulum pendidikan kelautan perlu dimasukkan agar dapat memacu peningkatan IPTEK kelautan. 

Pemerintah perlu membangun dan memperluas lembaga penelitian dan perguruan tinggi di bidang kelautan secara memadai. Di sisi lain, para peneliti kelautan perlu didorong untuk menghasilkan inovasi baru yang penting bagi kemajuan bidang kelautan. 

Sejarah mencatat bahwa ketangguhan maritim adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan Nusantara. Selain penguasaan sains dan teknologi kelautan dalam menghidupkan kembali kejayaan maritim Nusantara, lebih penting dibutuhkan visi dan strategi yang tepat untuk mengubah paradigma pembangunan, dari paradigma daratan menuju paradigma kelautan.

Paradigma pembangunan yang akan mengantarkan bangsa ini kembali ke puncak kejayaan. Karenanya, sudah saatnya Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki wawasan komprehensif tentang negara berjuluk maritim ini. Pemimpin Indonesia 2014-2019 saatnya harus melek pembangunan berwawasan kelautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar