Simfoni
Gado-gado Idris Sardi
Denny Sakrie ; Pengamat Musik
|
TEMPO.CO,
30 April 2014
Sejak
memasuki era 2000-an, Idris Sardi terlihat berbeda dalam penampilan, baik di
atas panggung maupun penampilan sehari-hari. Lelaki bertubuh kerempeng ini
selalu menggunakan sarung. Mas Idris-demikian panggilan akrabnya-terlihat
lebih bersahaja dan sangat Indonesia. Dengan menggunakan sarung, Idris Sardi
terlihat merakyat. Sesungguhnya itulah jati diri Idris Sardi, termasuk dalam
sikap bermusik.
Semasa
hidupnya, Idris Sardi, yang kerap dipanggil Idris Simfoni, selalu
mengupayakan musik itu tak hanya dinikmati sebagian orang. Orkes Simfoni, di
tangan Idris, selalu diupayakan agar merakyat.
"Di era 1970-an, TVRI menampilkan acara musik
klasik Orkes Simfoni NHK Jepang yang memainkan repertoar klasik, seperti
Mozart, Schubert, dan Beethoven. Tapi, begitu acara ini ditayangkan,
rata-rata penonton langsung mematikan TV. Mereka nggak ngerti. Mereka merasa
musik klasik itu berat untuk dinikmati. Dan ini perlu waktu untuk ke arah
itu," demikian Idris Sardi bercerita perihal musik
klasik di Indonesia.
"Lalu saat itu saya ditantang oleh Drs Sumadi
sebagai Dirjen RTF untuk tiap bulan menampilkan orkestra di TVRI. Saya pun
mengajukan konsep yang intinya ingin mengedukasi penonton. Tidak serta-merta
langsung musik klasik yang berat-berat. Saya membongkar aransemen lagu-lagu
daerah, lagu-lagu perjuangan, keroncong, serta lagu-lagu Barat yang sedang
ngetop, seperti Feeling-nya Morris Albert. Itu saya sajikan dengan orkestra.
Sudah barang tentu dengan aransemen yang disesuaikan. Responsnya ternyata
baik. Ketika saya memainkan Walang Kekek dan Es Lilin, penonton terbawa dan
terhanyut, karena mereka kenal dengan lagu-lagu ini," kata
Idris Sardi kepada saya November 2008.
"Saya menyajikan musik seperti menghidangkan
makanan gado-gado dengan menggunakan piring, garpu, sendok, dan serbet, bukan
dengan beralaskan daun pisang," ujar Idris bertamsil kata.
Namun
Idris banyak menuai kritik dari kritikus musik. "Saya ingat ketika Franki Raden hingga Suka Hardjana mengecam
saya. Menurut mereka, orkes simfoni, ya, musik klasik. Dan menurut saya,
anggapan itu keliru besar," ujar Idris Sardi. Sebab, akhirnya memang
terbukti bahwa musik pop bahkan rock pun juga tetap afdol berbalut orkes
simfoni yang megah.
Di paruh
era 1960-an, Idris Sardi, Bing Slamet, dan Jack Lesmana diajak oleh Presiden
Sukarno untuk menghasilkan musik populer yang bisa lepas dari akar Barat.
Kemudian mereka menggali musik pergaulan di Maluku dan muncullah Irama Lenso,
yang diupayakan menghadang pengaruh musik pop Barat.
Konsep
kesenimanan Idris Sardi memang jelas: dia
selalu menghadirkan nasionalisme dalam karya-karya yang sebetulnya berakar
dari pola seni Barat. Proses adaptasi memang menjadi sesuatu yang mutlak
dalam berkesenian. Idris Sardi telah membuktikan bahwa nasionalisme dalam
bermusik itu penting untuk jati diri bangsa. Orkes Simfoni yang berasal dari
Barat toh bisa disajikan dalam dialektika kita sendiri. Gesekan biola Idris
Sardi, yang dijuluki biola maut, pun telah membuktikan bahwa seniman yang
banyak meraup tradisi klasik Barat itu tetap menghasilkan bunyi-bunyian musik
yang sarat atmosfer keindonesiaan. Pemikiran Idris Sardi ini sepatutnya
diteladani oleh anak muda sekarang. Selamat
jalan, Mas Idris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar