Senin, 07 April 2014

Menakar Kepartisanan Bos Jawa Pos Group

Menakar Kepartisanan Bos Jawa Pos Group

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 19 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dahlan Iskan, tokoh pers nasional, Minggu 16 Maret 2014, batal dilantik Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai anggota sekaligus kader Partai Demokrat.

Sekalipun batal, pembatalan tersebut tak mengurangi persepsi dan citra Dahlan Iskan sebagai tokoh Partai Demokrat saat ini. Pembatalan itu bahkan bisa saja sebagai bagian dari strategi kampanye Partai Demokrat, mengawali kampanye Pemilu 2014. Karena, sekalipun tidak jadi dilantik, toh Dahlan Iskan tetap berkampanye di daerah Magelang dan sekitarnya dengan membawa sekitar 10.000 relawan.

Mengapa disebut sebagai bagian dari strategi? Buktinya liputan media atas "acara yang batal" tersebut tetap saja marak. Dahlan tetap saja berkampanye bagi partai yang memberinya panggung untuk pencalonan dirinya sebagai Presiden 2014 - 2019.

Dahlan Iskan memang sosok yang menarik. Ia bukan politisi, tetapi kiprahnya di berbagau arena telah memberinya porto folio sebagai seorang politikus yang diperhitungkan. Sebagai tokoh pers nasional, Dahlan tergolong fenomenal. Ia seorang wartawan sejati yang menjadi industriawan media.

Pada 1980-an, oleh pimpinannya di majalah Tempo, di Jakarta, Dahlan "dibuang" ke Surabaya. Tugasnya untuk membangun Jawa Pos, sebuah harian lokal yang secara bisnis sudah gagal. Penugasan itu bagaikan sebuah misi yang tidak masuk akal.

Karena di era itu, tidak gampang mengangkat sebuah bisnis media yang telah gagal. Tapi yang terjadi kemudian, koran gagal itu, dalam waktu relatif singkat sudah menjelma menjadi media sukses.

Di era Orde Baru, dimana perusahaan pers dibayangi keputusan Menteri Penerangan yang sewaktu-waktu mencabut izin penerbitan, harian Jawa Pos yang dia pimpin, selalu berada dalam posisi aman.

Dalam posisi seperti itu, Dahlan berhasil mengembangkan Jawa Pos menjadi sebuah konglomerasi media. Di saat banyak media di ibukota terus bergelut dengan kesulitan mengembangkan bisnis sebuah suratkabar, Dahlan dari kota Surabaya, secara pelan tetapi pasti berhasil membangun harian-harian di daerah. Dahlan mampu membuktikan, untuk menjadi pengusaha pers yang sukses, tidak harus berusaha menjadikan Jakarta sebagai basis.

Saat ini, konon Jawa Pos Grup memiliki sekitar 180 penerbitan. Tidak termasuk belasan televisi lokal dan kantor berita JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan jaringan yang cukup luas seperti itu, tidak heran jika ada yang menyebut, Dahlan Iskan merupakan salah seorang manusia terkaya di Indonesia.

Bahwasanya lembaga pemeringkat tentang orang-orang kaya di Indonesia, tidak atau belum mencantumkan nama Dahlan Iskan, hal itu semata-mata karena terkendala oleh metode pemeringkatan.

Metode pengumpulan data sejauh ini baru menggunakan data perusahaan yang sudah masuk pasar bursa. Dari sana kemudian diselidiki, siapa pengusaha yang menjadi pembayar pajak terbesar.

Dan Jawa Pos Grup, belum atau tidak masuk pasar bursa. Saham Jawa Pos hanya dikuasai Dahlan dan beberapa sahabatnya. Belum satu lembar saham Jawa Pos yang diperdagangkan di bursa saham. Sehingga sulit bagi pemeringkat mendeteksi berapa kekayaan ril Dahlan Iskan.

Tanpa harus mencari konfirmasi dari Dahlan, melihat volume aktiftas promosinya dalam pencapresan Partai Demokrat, Ia tercatat yang paling banyak kuat keuangannya.

Penampilan Dahlan memang sangat bersahaja. Tetapi sejatinya Dahlan sudah menjelma seperti Raja Media warga Amerika Serikat, Ruport Murdoch. Skala perbandingannya mungkin masih terlalu jauh. Tapi tidak begitu berlebihan bila Dahlan dijuluki "Ruport Murdoch"nya Indonesia.

Tidak heran, jika keberhasilan "Ruport Murdoch Indonesia" ini membuat penguasa seperti Presiden SBY tertarik merangkulnya. Dengan merangkul Dahlan Iskan, maka semua media yang berada di bawah kendali kepemilikannya, secara manusiawi akan lebih bersahabat atau jinak menghadapi pemerintahan SBY.

Dahlan mula-mula ditawari menjadi Direktur Utama PLN. Saat pro kontra muncul menjelang penetapannya sebagai Orang Nomor Satu di perusahaan 'lilin' Indonesia itu, Dahlan dengan entengnya berreaksi. Katanya, dia tidak pernah melamar melainkan dilamar.

Setelah 'berhasil' sebagai Dirut PLN, di 2009, Dahlan Iskan dipercaya Presiden SBY memimpin Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menjelang Pilpres 2014, SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, mengundang Dahlan Iskan sebagai salah seorang peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat.

Menghadapi Pilpres 2014, Dahlan Iskan dan SBY memiliki kepentingan yang hampir sama. Yaitu terbentuknya citra yang positif. Bagi Dahlan Iskan, citra positif itu tidak hanya dia butuhkan untuk mendukukung pencapresannnya, tetapi juga karena hingga saat ini masih terus diganggu oleh pemberitaan tentang mega korupsi di PLN.

Sementara bagi SBY pencitraan penting, terutama menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden. Jangan sampai setelah tidak berkuasa lagi, lalu media mengungkit masa lalu yang tidak positif selama SBY menjadi Presiden.

Oleh sebab itu bergabungnya si Raja Media, Dahlan Iskan dengan kekuasaan, tidak sekadar sebuah kisah kebetulan. Khusus bagi Dahlan keputusannya bergabung dengan partai penguasa, hal ini menjadi sebuah pertaruhan. Bagaimana dia mempetaruhkan reputasinya dari seorang wartawan yang independen menjadi non-independen atau partisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar