Minggu, 06 April 2014

Memidana (Pelaku) Politik Uang

Memidana (Pelaku) Politik Uang

Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
MEDIA INDONESIA, 05 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
KAMPANYE pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 telah dipenuhi praktik politik uang. Jika ditelusuri, praktik semacam itu akan jauh lebih banyak ketimbang yang selama ini terekspos di media massa.

Secara hukum, larangan politik uang (money politics) diatur dalam Pasal 86 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada peserta kampanye pemilu.

Subjek dan objek politik uang

Undang-undang menempatkan subjek pelaku politik uang secara luas yang mencakup pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu. Definisi setiap subjek tersebut kemudian dijelaskan dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pelaksana kampanye ialah pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Petugas kampanye sebetulnya masih menjadi bagian dari partai politik karena ditetapkan oleh partai politik, sedangkan peserta kampanye pemilu ialah masyarakat yang berdomisili di daerah pemilihan tempat kampanye dilaksanakan.

Menurut ketentuan, pelaksana kampanye dan petugas kampanye didaftarkan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya. Keduanya dimandatkan untuk bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan kelancaran kegiatan kampanye.

Rumusan politik uang yang diatur dalam undang-undang dan peraturan KPU sebetulnya menjangkau semua orang yang terlibat dalam kegiatan kampanye. Masyarakat umum dapat saja menjadi pihak yang secara aktif melakukan politik uang terhadap masyarakat lain, terlepas apakah tindakannya atas sepengetahuan atau tidak dari pelaksana kampanye ataupun petugas kampanye.

Dalam konteks penegakan hukum, ada atau tidaknya keterlibatan pelaksana atau petugas kampanye dalam politik uang yang dilakukan oleh masyarakat umum dalam kampanye partai tertentu memang harus melalui proses pembuktian. Apakah memang ada perintah langsung, memberikan kesempatan (pembiaran), atau memang di luar kendali pelaksana dan petugas kampanye.

Menurut Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012, politik uang yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa diterjemahkan apakah janji atau pemberian tersebut dilakukan secara langsung oleh pelaksana kampanye atau melalui orang lain. Yang pasti, siapa pun yang melakukan politik uang artinya telah melanggar larangan kampanye yang diatur dalam undang-undang.

Politik uang sebagai tindakan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Menurut penjelasan undang-undang, materi lainnya tidak termasuk barang-barang yang merupakan atribut kampanye pemilu, seperti kaus, bendera, dan topi. Jika dihubungkan dengan kasus yang konkret, kampanye Partai Demokrat di Bandung (30/3) yang memberi kan bola sepak kepada peserta pemilu menurut definisi undang undang merupa kan bentuk politik uang.

Hal itu juga berlaku sama bagi partai politik dan peserta pemilu lainnya, ketika ada pemberian barang yang bukan bagian dari atribut kampanye, misalnya pembagian sembako, pengobatan gratis, atau bentuk lainnya, sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.

Pidana politik uang

Ancaman sanksi pidana atas politik uang dalam masa kampa nye hanya dimungkinkan kepada pelaksana kampanye (Pasal 301 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2012). Delik ini dikategorikan sebagai kejahatan dalam pemilu (bukan pelanggaran) dengan ancaman pidana penjara dan denda.

Penjatuhan pidana dikenakan terhadap pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu (definisi pelaksana).

Bagi calon anggota legislatif, sanksi ini akan berlanjut pada sanksi administratif oleh KPU berupa pembatalan sebagai daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih. Ini akan dilakukan ketika kasus pidana politik uang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Pasal 90 UU Nomor 8/2012).

Penjatuhan pidana pemilu akan menjangkau setiap orang ketika politik uang dilakukan dalam masa tenang dan pada hari pemungutan suara, baik itu dilakukan oleh pelaksana, peserta, pelaksana kampanye, atau setiap orang (Pasal 301 ayat 2 dan 3 UU 8/2012).

Pemenuhan unsur pidana politik uang yang diatur dalam undang-undang sebetulnya tidaklah rumit. Penegak hukum cukup membuktikan apakah dalam pelaksanaan kampanye, masa tenang, atau pada hari pemungutan suara ada tindakan menjanjikan atau memberikan uang/materi lain.

Pembuktian apakah janji atau pemberian tersebut berdampak pada pemilih dalam hal penggunaan hak pilihnya tidaklah harus dipenuhi. Menurut pemulis, sangat tidak mungkin memidana pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput), kecuali ada pengakuan dari yang bersangkutan bahwa ia menerima janji atau uang/materi.

Apalagi membuktikan apakah pemilih menggunakan suaranya untuk partai politik atau caleg tertentu. Sebab, dalam surat suara sama sekali tidak mencantumkan identitas pemilih. Kalaupun ada pengakuan dari pemilih bahwa ia memilih partai politik atau caleg tertentu, bagaimana melakukan verifikasi atas pengakuan tersebut?

Maka, berdasarkan aturan yang ada, memidana politik uang bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi penegak hukum. Sudah saatnya politik uang dengan segala bentuknya dipidana untuk menciptakan iklim pemilu yang bebas dari praktik kotor tersebut. Sebab, politik uang menjadi faktor utama yang semakin menyuburkan praktik korupsi di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar