Melawan
Kepura-puraan
David Krisna Alka ; Pemikir Politik
Kebudayaan Populis Institute,
Peneliti Maarif Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 03 April 2014
MUSIM kampanye pemilu legislatif
tahun ini segera berlalu. Sejak 16 Maret lalu, berbagai rupa kampanye calon
anggota legislatif dan partai politik hadir merayu. Sorak-sorai caleg
menjanjikan sesuatu terdengar bertalu-talu. Ada juga caleg yang kampanyenya
malu-malu, dan penyanyi dangdut di atas panggung kampanye bergoyang tak
jemu-jemu.
Bagi masyarakat yang merasakan
suasana batin demokrasi hadir dan menjanjikan perubahan, mereka
berpartisipasi dengan sukarela. Sebaliknya, bagi mereka yang skeptis, cukup
mengamati dan membaca lalu lintas berita kampanye di berbagai media. Bagi
yang datang karena dibayar, pandai-pandai mereka saja. Bagi yang muak, mereka
berpaling muka. Bagi yang tak peduli, sepertinya mereka menganggap kampanye
itu palsu. Nah, itulah yang mesti dilawan, kepalsuan.
Belajar dari pengalaman, caleg
lama atau partai politik lama terkadang lupa atau `sengaja lupa' dengan
janji-janji kampanyenya. Harapannya, partai baru dan caleg baru tak seperti
itu. Bila yang baru juga `palsu', apa lagi hendak dikata, kita tengok saja buktinya.
Ka rena suara dan voluntarisme rakyat bukan `juru pijat politisi' yang duduk
di dalam ruang perwakilan rakyat untuk menjaga keluwesan otot-otot mereka.
Harus dilawan
Tak dapat dimungkiri,
keselarasan antara kehidupan batin dan penampilan publik adalah bagian dari
kehidupan autentik. Menurut Kierkegaard (2004:69), orang yang memiliki double life, atau yang penampilan
luarnya berbeda sama sekali dengan apa yang dihayatinya dalam hati, dikatakan
menjalani kehidupan yang penuh kepalsuan atau tidak autentik karena tidak ada
kongruensi atau keselarasan antara kehidupan batin dan kehidupan lahir.
Penampilan dan tindakan luar
seolah-olah `menipu' orang lain karena apa yang sebenarnya terjadi dalam
batin tersimpan rapat dan tidak kelihatan bagi banyak orang. Sulit menangkap
secara pasti kampanye mana yang autentik dan kampanye siapa yang penuh
kepura-puraan, palsu.
Dalam sebuah catatan, sejak
reformasi 1998, tren partisipasi politik jumlahnya malah makin menurun. Pada
1999 partisipasi pemilih sekitar 92%, dan di Pemilu 2009 turun jauh menjadi
71%. Apa sebabnya? Tak lain dan tak bukan karena kepalsuan bersimaha
rajalela. Pelajaran yang diperoleh bahwa yang bisa menang ialah mereka yang
lihai, yang mempunyai relasi, yang pintar memperdaya orang lain, yang cekatan
membayar pada saat yang tepat dan di tempat yang tepat, begitu bukan?
Citra kosong seolah semua
bersih, caleg bersih, parpol bersih, slogannya antikorupsi, kenyataannya
kosong melompong tak ada isi. Akibatnya, stigma palsu dalam dunia politik
cukup melekat. Seolah tak ada kejujuran dalam politik dan seolah juga tak ada
orang baik dalam politik. Sampai kapan kita bertahan menunggu harapan politik
yang penuh kebaikan?
Menarik membaca gagasan
restorasi Indonesia yang bertitik tumpu pada perubahan pola pikir masyarakat
Indonesia dari kepura-puraan menjadi keterusterangan. Gagasan itu ialah
harapan kemajuan. Sebab, kita akan mengubah pemerintahan untuk lima tahun
mendatang.
Substansi
Substansi perubahan itu
terang-benderang ada, hadir secara nyata di depan mata, dan terasa di dalam
jiwa. Keinginan baik dalam kampanye dengan enam janji atau sepuluh janji
masih sekadar suara di tengah massa dan penampakan kata di dalam media massa.
Masyarakat ingin keterusterangan
yang nyata dalam segala ruang kehidupan politik kita sehingga demokrasi di
Indonesia menjadi lebih matang dan parlemen kita diisi oleh orang-orang yang
berkomitmen kerakyatan, bukan `keuangan', dan tidak dalam kepura-puraan.
Rakyat atau warga negara
memiliki hak yang setara melalui partisipasinya dalam demos. Menurut Donny
Gahral Ardian (2009), demokrasi dan kewargaan sungguh tak dapat dipisahkan.
Warga negara mendapat hak yang setara bukan melalui partisipasi dalam gagasan
abstrak kemanusiaan. Warga negara memperoleh hak yang setara melalui
partisipasinya dalam demos sebagai substansi politik.
Artinya, konsep sentral dalam
demokrasi bukan kemanusiaan, melainkan rakyat. Dalam arena politik, rakyat
tidak berhadapan satu sama lain sebagai abstraksi, tetapi individu politis,
pemerintah, atau yang diperintah, sekutu atau oposisi. Karena itu, suara dari
kultur kehidupan politik mana pun tak boleh diabaikan.
Demikianlah, dalam Pemilu
Legislatif 9 April 2014 ini, saatnya kita memilih keterusterangan, bukan
kepura-puraan. Sebagai penutup, menarik mengutip pernyataaan Franz Magnis
Suseno dalam salah satu media nasional belum lama ini, “Keinginan baik tidak cukup, popularitas juga tidak cukup.
Popularitas itu tidak menunjukkan substansi kemampuan memberikan harapan!“
Selamat mencoblos. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar