Korup
yang Sopan Tidak Sopan
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
|
KORAN
SINDO, 07 April 2014
Kelihatannya
para ahli politik tidak memiliki catatan khusus mengenai fenomena politik
dalam pemilu tahun ini. Tidak ada yang meramalkan bakal datang calon-calon
presiden yang sama sekali tak terduga.
Juga
tidak ada catatan khusus yang menyatakan bahwa dalam pemilu ini warna lama masih
tetap dominan. Bahkan tidak ada juga catatan khusus para ahli politik
mengenai bagaimana akan jadinya nasib para calon yang sudah pernah ”nyalon”
dan tetap ”nyalon” lagi. Sikap para pemilih yang sebetulnya sudah bosan
memilih juga tidak menjadi perhatian khusus mereka. Apalagi sikap para
pemilih muda yang dalam pemilu tahun ini akan memilih untuk pertama kalinya
dan mereka tidak tahu apa-apa mengenai siapa yang bakal dipilih.
Fenomena
mengenai pemilih yang tidak tahu menahu siapa yang bakal dipilih kelihatannya
bukan sesuatu yang aneh. Banyak pemilih yang tak tahu sama sekali siapa
sebaiknya yang harus dipilih. Sebaliknya, banyak pula pemilih yang telah
memilih, tapi tak tahu menahu latar belakang tokoh yang dipilihnya. Memilih
calon pemimpin kelihatannya tak semudah memilih calon mertua. Ahli politik
tidak memiliki catatan mengenai situasi politik yang tak terduga seperti
sekarang ini.
Para
pemilih lama yang sudah berkali-kali memberikan suara mereka dalam pemilu
kehilangan selera memilih karena mereka juga tidak tahu yang mana pilihan
terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara kalau calon terbaiknya tidak ada.
Bosan memilih merupakan ”apatisme
kritis” yang tak diperhatikan oleh pihak mana pun. Mungkin memang tidak
ada pihak yang memiliki kompetensi khusus, dan yang bisa dipercaya oleh
mereka yang sudah apatis itu, yang berhak tampil untuk menata jiwa masyarakat
agar mereka bersemangat memilih.
Di
mana-mana di kalangan ”aparat penegak
pemilu” orang berkata bahwa setiap warga negara harus memilih. Berikan
suara dan turutlah menentukan kebijakan publik. Turut memilih dianggap sikap
yang paling bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada siapa? Bagaimana kalau
turut memilih hanya berarti turut memperkuat kecenderungan menyimpang yang
sudah melekat di dalam jiwa para tokoh yang dipilih?
Tidakkah
yang begini ini lalu berarti bahwa turut memilih dengan segenap tanggung
jawab tadi justru hanya berarti memperkuat keburukan demi keburukan di dalam masyarakat?
Bukankah ini berarti bahwa turut memilih dengan segenap rasa tanggung jawab
seperti disebut tadi ternyata malah berarti turut merusak kehidupan
masyarakat? Kata orang tua, ”nasi
memang telah menjadi bubur”, tapi pengalaman masa lalu ketika kita
memilih tokoh, memilih partai, dan membuat mereka menang tidakkah itu patut
dijadikan pelajaran politik yang berharga? Sesal kemudian tidak berguna.
Begitu
kata pepatah. Tapi, ”menyesali pilihan
kita” yang membuat partai dan orang-orang yang kita pilih korup besar-
besaran juga tidak berguna? Partai dan orang-orangnya yang dulu kita pilih
yang selama lima tahun tak berbuat sesuatu yang berarti dan korup secara
mencolok dan membikin hidup rakyat makin susah tak boleh disesali? Siapa
bilang hal ini tak berguna kalau kita menyesal dan kemudian kita tak bakal
memilih mereka lagi? Bagaimana kalau penyesalan itu menjadi tindakan politik
untuk menjauhi mereka, tak mau memilih mereka, dan kita menjadi apatis
terhadap apa yang sekarang ada?
Apakah
”apatisme kritis” yang dibangun di atas landasan pengalaman buruk, atas rasa
kecewa, dan kemudian mengambil tindakan berupa menarik kembali ”trust”
politik kita pada mereka, bukan suatu sikap politik yang sehat wal afiat?
Siapa yang menyatakan tidak? Kemunculan para calon, yang jelas tampak semata
”mencari pekerjaan”, membikin kita makin muak terhadap pemilu. Di dalam
daftar calon anggota legislatif (caleg), yang terbuang dari bidang
masing-masing, lalu masuk parlemen, apa gunanya orang-orang macam itu?
Kompetensi nol. Pengalaman nol.
Wawasan
nol. Sikap nol. Buat apa kita pilih calon-calon seperti ini. Mengapa kita tak
harus apatis secara kritis melihat perkembangan keadaan yang makin hari makin
buruk? Kita mencari dan berharap akan tampilnya tokoh-tokoh yang menawarkan
solusi bagi kehidupan bangsa. Kita menanti para pemimpin yang bakal mampu
memimpin bangsa yang tidak serakah, tidak mata duitan, dan tidak menyimpang
dari kebijakan. Kita ingin pemimpin yang memimpin dengan baik. Bukan orang biasa
yang sebentarsebentar menangis, menyanyi, dan menangis.
Politik
kita bukan film India. Di film India menangis, menyanyi, dan menangis
dianggap baik. Tapi, dalam politik kita itu barang buruk yang harus kita
jauhi. Psikologi politik kita menggambarkan jiwa yang terluka. Kita kecewa.
Kita marah. Kita muak. Kemudian kita menyusun kesadaran politik, menjadi
pengetahuan politik yang baik: kelembutan yang korup bukan lagi kelembutan.
Dia merupakan kekerasan. Kesopanan yang korup bukan kesopanan lagi. Dia merupakan
watak munafik dan serakah yang tak bisa kita biarkan. Kita kecewa. Bahkan
sangat kecewa.
Kita
marah. Mungkin hingga ke puncak kemarahan yang tak kita ketahui berapa
tingginya. Kebijakan demi kebijakan hanya melahirkan kata-kata, tapi bukan
sabda agung yang bakal diikuti tindakan nyata. Tiba-tiba masa untuk memilih
sudah ada di depan mata. Lalu, kita tak berselera memilih agar kita tak
tertipu untuk kesekian kalinya. Apa yang mau dipilih dalam kondisi ketiadaan
pilihan macam ini? Kita tak peduli tokoh-tokoh pilihan kita yang kita beri
kepercayaan mengendalikan jalannya pemerintahan itu lembut sekali seperti
Arjuna atau kurang lembut dan wataknya lebih mirip saudagar burung di Pasar
Burung Jalan Pramuka.
Lembut
dan tidak lembut di sini tidak menjadi faktor penting. Meskipun begitu, kalau
sikapnya jelas brangasan, seruduk-seruduk menabrak sana menabrak sini, itu
jelas buruk. Ukuran moral seperti ini agak konyol. Kita membutuhkan pemimpin
yang bisa mengisi kehausan masyarakat akan kepemimpinan yang layak menjadi
panutan yang patut kita dengar suaranya, kita ikuti langkahnya, dan kita
percayai bahwa dengan kepemimpinannya persoalan mendasar yang kita hadapi
akan kita selesaikan.
Kita
tidak ingin ruwet seperti ini. Kita merindukan pemimpin yang sejak di dalam
pikirannya sudah bersih, tidak menyimpang, tidak serong, dan tidak menipu.
Kebijakan publik tidak boleh dibangun di atas landasan kebohongan semata demi
kepentingan politik-ekonomi pribadinya sendiri. Kebijakan publik ya kebijakan
publik: dia terbuka untuk dikoreksi secara publik dan diabadikan demi
kepentingan publik, di dalam situasi politik yang begini rusuh. Mana makna
keterbukaan?
Mana
kebijakan antikorupsi yang didengung-dengungkan seperti suara lebah yang
bising, tapi isinya malah sebaliknya: korup, korup, korup di manamana.
Mengapa pemimpin tidak malu? Mengapa kehancuran seperti ini tak membuat para
tokoh terpukul? Mengapa kebohongan masih dipertahankan? Bohong secara lembut
dan halus, sehalus karpet istana, tetap bohong. Kebusukan, biarpun lembut,
tetap berbau. Namanya bau kebusukan yang lembut. Korup, menyimpang,
selingkuh, atau serong dari konstitusi dan aspirasi rakyat, biarpun sopan,
tetap korup.
Korup
yang sopan sekali pun namanya masih korup dan akan tetap masih korup. Korup
yang sopan dikutuk rakyat biasa, dikutuk kaum rohaniwan, dan disumpahserapahi
di mana-mana. Apalagi di mata KPK karena korup, biarpun dilakukan secara
sopan, tetap tidak sopan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar