JKN
: Politik dan Teknis Belum Seimbang
Hasbullah Thabrany ; Kepala Pusat Kajian
Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 03 April 2014
Tiga
bulan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diselenggarakan dengan penuh
harap dan hujat. Ada yang penuh harap dengan rela mengantre panjang untuk
menjadi peserta. Tetapi, ada yang frustrasi dan menuntut pembubaran JKN/BPJS.
Hujatan
tambah menggaung karena program kolosal ini menjadi magnet politik pada tahun
pemilu. Konsep JKN telah disusun dengan baik, menuju sebuah sistem yang
efisien dan berkeadilan. Potensi moral hazarddan fraudsiap ditangkal dalam
JKN. Meskipun program JKN dirancang dengan baik, seperti sebuah kendaraan,
kinerja sopir (pimpinan dan pegawai BPJS), bahan bakar (kecukupan dan
kualitas sumber daya), serta kepatuhan fasilitas kesehatan JKN belum sesuai
harapan. ”Mobil JKN” dirancang menggunakan pertamax, tetapi diisi premium.
”Mobil JKN” dilengkapi instrumen baru yang lengkap, tetapi sopir belum
terbiasa atau sopir main-mainkan untuk kepentingannya.
Para
penumpang (peserta) diharapkan patuh aturan, tetapi banyak yang egois. Maka
itu, mobil tidak berjalan mulus dan penumpang marah-marah. Gejala
ketidakmulusan JKN kita temui di berbagai media sosial, berita-berita di
koran, radio dan televisi, serta dari mulut ke mulut. Penumpang yang tidak
paham mengira ”mobil JKN” buruk dan menuntut dibubarkan JKN/BPJS atau
pembayaran CBG. Sebagai program kolosal baru, wajar jika masih banyak masalah
teknis. Sangat disayangkan pada masa kampanye pemilu, keluar surat edaran
(SE) Dirut BPJS Nomor 55/2014 tentang Peserta PBI.
Meskipun
dirut membantah bahwa SE tersebut tidak berkaitan dengan kampanye partai, isi
surat, waktu edar, dan target surat edaran dapat ditafsirkan dan digunakan
untuk penguatan partai tertentu. Pada waktu yang sama, partai tersebut juga
mengklaim sebagai berperan besar dalam JKN. Padahal, tanpa perjuangan
”pahlawan tanpa tanda jasa” yaitu KAJS/BPJS Watch, SJSN dan UU BPJS sulit
terwujud. Inilah politik—jika ada peluang meraih hati rakyat, seseorang atau
sekelompok orang dapat muncul menjadi ”pahlawan”. Padahal JKN/SJSN harus
dikerjakan dengan niat tulus— terlepas dari kepentingan politik. JKN/SJSN
adalah perintah konstitusi/UUD45, bukan inisiatif suatu partai atau
sekelompok orang.
Akar Masalah
Dibandingkan
dengan masalah moral hazard, kecurangan, ketidaktepatan, dan besar kebocoran
subsidi BBM, masalah JKN sesungguhnya kecil sekali. Masalah utama timbul
karena belum ada satu paham utuh tentang JKN. Sosialisasi JKN oleh BPJS
banyak yang tidak sesuai dengan konsep dan visi-misi JKN. Salah satu contoh,
iklan awal BPJS adalah mengedepankan BPJS. Selain itu, kartu peserta awal
diterbitkan sebagai kartu BPJS, bukan kartu JKN sebagaimana lazimnya di
dunia. Materi sosialisasi BPJS yang berbeda dengan materi sosialisasi
Kemenkes yang mengusung JKN (lebih tepat) menimbulkan kebingungan pemahaman
pada tahap awal. Inilah egoisme BPJS.
Hal itu
mencitrakan sikap ”kalian dan kami”
di kalangan tenaga kesehatan. Ketika pembayaran sebagian penyakit dinilai
tidak memadai oleh dokter dan RS, tenaga kesehatan dengan mudah menghujat
BPJS. Mereka tidak merasa sebagai bagian dari JKN. Padahal, kesuksesan JKN
lebih banyak dipengaruhi tenaga kesehatan, bukan oleh BPJS atau di Kementrian
Kesehatan. Sementara perangkat sistem informasi dan pemahaman petugas BPJS di
lapangan sampai akhir Maret 14 masih banyak masalah. Masyarakat tidak mudah
memahami BPJS dan JKN dan menilai prosedur makin rumit.
Informasi
yang diberikan petugas BPJS di lapangan masih konsisten satu dengan lainnya
misalnya tentang rujukan, tentang pemilihan kelas, tentang obat penyakit
kronis, dan sebagainya. Pemahaman staf BPJS di berbagai kantor cabang masih
belum sama. Itu menimbulkankebingunganbanyak pihak. Peserta lama seperti
peserta Askes dan anggota TNI/ POLRI menilai layanan JKN yang mereka terima
lebih jelek dari sebelumnya. Banyak pasien penyakit kronis masih mengeluhkan
panjangnya antrean dan tidak dapat memperoleh obat yang mereka biasa dapat.
Banyak
masalah pemahaman dokter yang terkait pemahaman pembayaran CBG dan kapitasi
yang belum memadai dan staf BPJS belum berhasil menjelaskan dengan baik.
Perubahan besar terjadi pada pembayaran kepada fasilitas kesehatan, yang
semula berbasis per pelayanan kini menjadi bayaran borongan yang disebut Ina-CBG.
Sebagian besar RS dan dokter spesialis belum paham. Dalam Jamkesmas,
pembayaran CBG hanya untuk pasien kelas III, kini pasien kelas II dan kelas I
juga dibayar secara borongan. Metode baru pasti menimbulkan guncangan.
Ketika
dokter menemukan beberapa bayaran CBG jauh di bawah dari yang biasa mereka
terima, mereka bereaksi membatasi layanan atau obat. Ada RS yang mematok
biaya maksimum sebesar yang tercantum dalam daftar CBG. Ada RS yang
menetapkan paket obat dan layanan maksimum sesuai biaya perkiraan sendiriagarselaluadasurplus.
Akibat itu, ketika harga obat melebihi ketentuan sepihak RS, pasien tidak
diberikan obat yang sebelumnya diberikan. Sesungguhnya bayaran borongan CBG adalah
bayaran rata-rata, tetapi tidak sedikit RS yang memahaminya sebagai biaya
maksimum.
Korbannya
adalah peserta. Besaran kapitasi dan CBG yang masih di bawah harga
keekonomian, harga yang menutupi biaya produksi rata-rata oleh sektor swasta
(dokter praktik, klinik swasta, dan RS milik swasta) membuat masalah JKN
bertambah banyak. Sayangnya, ketentuan UU SJSN di mana tarif pembayaran BPJS
merupakan tarif kesepakatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan tidak
digunakan. Banyak keluhan dari pengurus asosiasi bahwa mereka tidak mendapat
kesempatan yang adil dalam penarifan. Masalah besar lain adalah terjadi
kolusi antara pemerintah dan sebagian pengusaha yang mematok batas atas upah
untuk iuran hanya 2x penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang kira-kira
sebesar Rp4,75 juta per bulan.
Praktik
tersebut tidak sesuai prinsip asuransi sosial dan gotong-royong yang memadai.
Pekerja yang bergaji tinggi hanya mengiur sedikit. Padahal, menurut wakil
menteri perdagangan, pada 2012 terdapat 50 juta pekerja yang berpenghasilan
di atas Rp20 juta sebulan. Entah apa yang terjadi, perpres menetapkan batas
upah untuk iuran hanya Rp4,75 juta. Akibat itu, JKN kehilangan pendapatan
potensial puluhan triliun setahun dan kualitas layanan dokter dan RS terpaksa
terpangkas.
Peserta
(pekerja dan anggota keluarganya) yang merugi akibat kolusi tersebut.
Pemerintah pun hanya mau membayar iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu
sebesar Rp19.225, jumlah yang belum memadai untuk layanan yang baik. Karena
potensi iuran yang rendah, tarif ke fasilitas kesehatan dipaksa rendah.
Tenaga kesehatan berteriak dan bereaksi. Pekerja dan keluarganya tidak
mendapat layanan sebagaimana yang diharapkan. Artinya pemerintah belum
berpihak kepada rakyat banyak.
Adakah Solusi?
Solusi
selalu ada sebab JKN disusun dengan baik. Hanya, perlu koreksi pada
bagian-bagian yang kini tidak sesuai spesifikasi konsep (bestek) JKN. Sumber
utama solusi adalah mobilisasi dana yang memadai dan pemilihan ”sopir”
(petugas BPJS di semua lini) yang berkompeten dan berintegritas tinggi.
Tenaga kesehatan harus dibayar layak sebagaimana pegawai BPJS dibayar layak.
Memang, dibandingkan tahun lalu, tambahan iuran PBI dan kenaikan iuran sudah
terjadi penambahan dana. Penghasilan tenaga kesehatan secara rata-rata tidak
berkurang. Tetapi, dengan peningkatan demand, bebankerja tenaga kesehatan
meningkat lebih tinggi.
Padahal,
rata-rata pendapatan tenaga kesehatan sebelum JKN umumnya relatif belum
memadai. Sistem kesehatan, yang hanya berperan 3% produk domestik bruto,
belum menghargai tenaga kesehatan di tingkat provider secara layak. Maka itu,
kualitas layanan kesehatan belum akan baik. Yang
diperlukan hanyalah keberanian pemerintah menetapkan besaran iuran, tarif
kapitasi, dan tarif CBG pada harga keekonomian yang layak. Iuran dapat
dinaikkan jika BPJS dapat membuktikan layanan JKN berkualitas baik. Rakyat
menunggu perbaikan nyata oleh BPJS dan pemerintah. Rakyat juga menunggu kerja
efektif dari Dewan Pengawas BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang
mewakili rakyat mengawal Dana Amanat milik rakyat (peserta). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar