Rabu, 23 April 2014

Jangan Amputasi KPK

Jangan Amputasi KPK  

Adnan Pandu Praja  ;   Wakil Ketua KPK
KOMPAS, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
TELAH banyak upaya melemahkan KPK sejak didirikan: kriminalisasi, mempersulit kebutuhan anggaran pembangunan gedung, dan lain-lain.
Upaya pelemahan paling sistemik tecermin dalam revisi KUHP dan KUHAP, antara lain karena para perancang kedua revisi itu telah mengabaikan hal mendasar berikut.

Undang-Undang KPK (Nomor 30 Tahun 2002) mengamanatkan agar KPK jadi mekanisme pemicu, model proses penegakan hukum bagi Kepolisian dan Kejaksaan di bidang pemberantasan korupsi. Dalam 10 tahun usianya, KPK sudah memenjarakan 396 koruptor sampai tingkat MA, 100 persen conviction rate. Kisah sukses ini semestinya rujukan dalam merancang kedua revisi.

Pertama, penyelidikan. Inilah fase paling menentukan dibandingkan dengan penyidikan dan penuntutan karena KPK tidak bisa memberhentikan kasus pada tahap penyidikan (SP3). Sebab utama ialah bahwa pada fase penyelidikan, KPK tak dapat menggunakan upaya paksa seperti menahan dan menyita. Dibutuhkan kolaborasi intensif antara auditor, penyidik, penuntut, dan profesi lain menemukan dua alat bukti yang cukup.

Peran auditor amat menonjol dalam memahami bisnis pengadaan maupun perizinan, khususnya bila berkaitan dengan persoalan akuntansi. Pola kolaborasi ini tak dimiliki penegak hukum lain. Tahap berikutnya, penyidikan, sesungguhnya hanya untuk merangkai hubungan antara alat bukti, pelaku, dan saksi-saksi supaya menjadi kisah utuh.

Kedua, kewenangan menyadap sangat bermanfaat dalam operasi tangkap tangan kasus ikan kakap, seperti suap-menyuap di MK, kasus Hambalang, dan kasus sapi berjenggot. Tanpa penyadapan hampir mustahil patgulipat di pusat kekuasaan dapat dibongkar habis.

Ketiga, forum ekspose terbatas sebagai bentuk keterbukaan yang sangat dibutuhkan dalam mencegah intervensi, penyimpangan proses pemeriksaan, dan forum evaluasi agar kasus tidak jalan di tempat. Publik akan memantau perkembangan penanganan kasus dan mengkritik ketika kasus berpotensi menyimpang. Akibatnya, hakim akan sangat berhati- hati dalam menyidangkan dan memutus kasus korupsi yang berasal dari KPK. Bandingkan dengan jalannya persidangan dan putusan kasus korupsi yang bukan berasal dari KPK.

Audit kinerja oleh BPK

Pasal 20 (2) UU KPK mengamanatkan agar KPK diaudit keuangannya dan kinerjanya. Awal Januari 2014 BPK sudah menye- rahkan kepada DPR Laporan Hasil Audit atas Kepatuhan Kinerja Penindakan KPK terhadap SOP sebagai Penjabaran dari UU KPK dan UU KUHAP. Kesimpulan audit BPK menyatakan bahwa penindakan KPK sejak pengaduan sampai penuntutan telah tepat dan konsisten sesuai dengan prosedur. Nyaris sempurna kendati terdapat beberapa rekomendasi yang harus dilaksanakan KPK se- mata-mata karena keterbatasan SDM.

Hasil audit BPK telah membuktikan kepada bangsa Indonesia bahwa independensi KPK dari intervensi pemerintah, DPR, dan kekuatan mana pun membuat KPK selalu berhasil menjebloskan koruptor ke tahanan. Kolaborasi auditor, penyidik, jaksa, dan profesi lain adalah cara jitu membongkar kejahatan state capture corruption. Penyadapan adalah kewenangan yang sangat bermanfaat untuk dapat mengungkap kasus besar di pucuk kekuasaan.

KPK sebagai produk reformasi telah menjadi institusi yang solid dengan ritme kerja yang konstan meski terjadi tiga kali pergantian pemimpin dan menghadapi masa sulit, seperti kriminalisasi. Transparansi kinerja penindakan telah menuai dukungan masyarakat luas yang menjadi garda penyelamat KPK di masa sulit. Terbantahnya pandangan bahwa KPK tebang pilih dan menargetkan kelompok tertentu saja.

Argumen paling menonjol dalam merevisi KUHAP dan KUHP adalah perlindungan HAM tersangka korupsi dari penyalahgunaan wewenang oleh KPK dengan merujuk pada pola pemeriksaan di sejumlah negara maju. Para perumus revisi KUHAP dan KUHP telah mengabaikan faktor instrumen, struktur, kultur, serta Indeks Persepsi Korupsi negara tempat studi banding jauh lebih baik dari Indonesia. HAM tersangka korupsi selalu berhadapan dengan HAM mayoritas masyarakat korban korupsi. Perlindungan hak koruptor secara berlebihan mengakibatkan terabaikannya hak mayoritas korban kejahatan korupsi berupa hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Korupsi jadi kejahatan dunia dengan lahirnya Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) yang diratifikasi dengan UU No 7/2006. Indonesia baru merealisasi sepertiga dari instrumen pemberantasan korupsi yang diatur dalam UNCAC
dengan dibentuknya KPK, UU Tindak Pidana Korupsi, dan TPPU.

Kami belum mengatur korupsi di sektor swasta dan lain-lain. Namun, KPK telah menginspirasi dunia melalui Kusala Ramon Magsaysay dan jadi kebanggaan anggota DPR dan presiden dalam forum internasional. Sangat kontradiktif dengan penghargaan terhadap KPK di dalam negeri.

Boleh dibilang KPK produk reformasi yang dapat diharapkan menyelamatkan Indonesia. Mekanisme pemicu seharusnya dimaknai sebagai laboratorium pemberantasan korupsi dengan menggunakan instrumen, struktur, dan kultur asli Indonesia.

Sepuluh tahun cukup membuktikan bahwa kita dapat memberantas korupsi dengan cara Indonesia, sebagaimana dibuktikan dengan seluruh putusan MA dalam perkara tipikor yang berasal dari KPK dan Hasil Audit Kinerja BPK. Apa pun isi KUHP dan KUHAP yang mengabaikan MA dan BPK sehingga KPK teramputasi diyakini akan dibatalkan oleh MK. Pendulum keadilan ditentukan kemauan politik pemerintah dan DPR memberantas korupsi di pusat kekuasaan. Mau kembali ke Orde Baru?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar