Basa
Basi Dana Saksi Parpol
Bambang Arianto ; Direktur Eksekutif
Bulaksumur Empat, Yogyakarta
|
KOMPAS,
03 April 2014
Usulan mengenai kucuran dana
saksi partai politik dari anggaran negara sudah mendapat jawaban melegakan:
”tidak”. Meski demikian, ada baiknya kita mengkaji ulang duduk perkaranya
supaya ke depan kita selalu waspada terhadap upaya-upaya serupa.
Kehadiran saksi dalam pemilihan
umum (pemilu) jelas sangat penting demi terciptanya pemilu yang jujur dan
adil.
Namun, usulan dengan membiayai
saksi partai politik (parpol) hanya untuk meminimalkan kecurangan di setiap
tempat pemungutan suara (TPS) jelas sangat berlebihan, apalagi fungsi
pengawasan pemilu dari tahun ke tahun sebenarnya semakin meningkat.
Artinya, kecurangan dalam
pemungutan suara dapat ditekan, sebab rakyat dan tim pemantau independen
lainnya akan berusaha mengawasi jalannya pemilu dengan saksama.
Apalagi, biasanya, pelanggaran
dalam pemilu terjadi sebelum dan sesudah pelaksanaan pemilu.
Usulan ini bermula dari adanya
rumor mengenai parpol tertentu yang merasa kesulitan membayar saksi parpol
sehingga akhirnya mengusulkan pembiayaannya oleh negara. Suatu usulan yang
ujung-ujungnya memberatkan anggaran negara.
Di sisi lain, adanya keraguan
akan independensi para saksi parpol akan terwujudnya pemilu yang jujur
menjadi peringatan bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Usulan ini mempertaruhkan nama
baik Bawaslu di hadapan publik. Seakan telah terjadi keraguan dan penurunan
kepercayaan terhadap Bawaslu sebagai lembaga pengawas ritual elektoral.
Mandulnya kaderisasi
Dari ke-12 parpol peserta
pemilu, hanya dua parpol yang resmi menolak. Selebihnya menyetujui dan
berharap mendapat kucuran dana saksi parpol dari negara.
Anehnya, banyak elite parpol
seakan mengharapkan kucuran dana ini sebagai upaya mendongkrak partisipasi
kader agar lebih terlibat dalam partai dan Pemilu 2014. Seakan telah terjadi
kemandulan dalam sistem kaderisasi sebagian parpol di Tanah Air. Padahal,
setiap parpol seharusnya terus berproses dalam upaya pelembagaan partai.
Salah satu aspek dari
pelembagaan partai adalah sistem keanggotaan dan kaderisasi. Artinya, tanpa
harus diberi honor pun, parpol sudah seharusnya tetap menjamin dan memiliki
kesiapan menyediakan saksi bagi parpolnya masing-masing.
Dalam upaya konsolidasi
demokrasi, parpol sesungguhnya harus berperan sebagai salah satu pilar yang
menopang berdirinya suatu negara tanpa harus dibiayai oleh negara.
Usulan ini, bila ditelusuri
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota
DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPRD, bahwa saksi di setiap TPS
maksimal lima orang, tidak berarti honor saksi parpol menjadi tanggung jawab
negara. Kecuali, pengawas dari Bawaslu yang telah disetujui dibiayai oleh
negara.
Lagi pula, Pasal 12 UU No 2/2011
tentang Partai Politik menjelaskan secara abstrak melarang negara membiayai
parpol, kecuali anggaran yang sudah ditetapkan sesuai perolehan suara pada
pemilu sebelumnya.
Bila kita merujuk jumlah TPS
pada Pemilu 2014 yang tercatat 561.393, sedangkan jumlah peserta pemilu ada
12 parpol, maka bila setiap parpol memiliki satu saksi di tiap TPS, akan ada
sekitar 6.736.716 saksi.
Bila benar saksi parpol dibiayai
oleh negara, bisa dibayangkan betapa besar anggaran negara yang harus
dikeluarkan hanya untuk saksi parpol.
Parpol dan DPD
Dana saksi parpol pun rawan dari
kecemburuan sosial, sebab dana saksi ini tak meliputi dana saksi bagi calon
anggota DPD pada Pemilu 2014. Ada sekitar 945 calon DPD dari 34 provinsi yang
memperebutkan 136 kursi DPD.
Bila saksi parpol saja dibiayai
oleh negara, bisa saja para calon anggota DPD dibiyai oleh negara. Ada
530.516.385 calon anggota DPD dengan asumsi 945 calon anggota DPD dikalikan
dengan jumlah TPS 561.393. Bisa dibayangkan berapa beban negara yang harus
ditanggung.
Bila, akhirnya, usulan ini terus
dilanjutkan, itu artinya parpol sebagai satu pilar demokrasi telah melegalkan
praktik politik uang secara kolektif.
Harapan mewujudkan pemilu yang
umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan rahasia justru sangat jauh dari
harapan publik. Jika pemerintah akhirnya tetap ngotot mengucurkan dana itu,
semua elemen masyarakat sipil, terkhusus KPK, dan PPATK, harus ekstra ketat mengawasi.
Dalam sejarah politik, aturan
main mengenai mobilisasi dan penggunaan dana pemilu di Indonesia, diakui,
memang tidak sebaik di Amerika Serikat, yang telah konsisten mengedepankan
prinsip transparansi. Artinya, indikasi kecurigaan akan penyelewengan dana
negara terbuka luas.
Publik semakin dikecewakan
dengan tidak dewasanya parpol dalam menyikapi basa-basi dana saksi parpol.
Partai seharusnya terus
menampilkan proses kaderisasi di hadapan publik dengan tidak ”mengemis”
kepada negara hanya untuk membayar dana saksi parpol. Syukurlah, basa-basi
dana saksi parpol sudah berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar