Menyoal
Moratorium Haji
Muhammad
Bagus Irawan, PENELITI KAJIAN SOSIAL KEAGAMAAN
IDEA STUDIES, IAIN
WALISONGO
SUMBER : SUARA KARYA, 16 Maret 2012
Ihwal pelaksanaan ibadah haji di Indonesia selalu menjadi
perbincangan alot. Ini terkait dengan usulan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Busyro Muqodas kepada Kementerian Agama (Kemenag) agar
menunda/menutup sementara (moratorium) pendaftaran jamaah haji.
Sebabnya, dari tahun ke tahun, minat dan jumlah masyarakat
Indonesia untuk menunaikan rukun Islam kelima itu semakin membeludak; sementara
kuota calon haji (calhaj) dari Kemenag relatif sama setiap tahun dan tidak ada
penambahan signifikan. Sehingga, antrean calhaj pun makin panjang, bahkan
antrean bisa mencapai 10-12 tahun.
Usulan moratorium ini dianggap langkah preventif yang bijak,
meskipun menyulut pro dan kontra. Wakil Ketua KPK memandang bila pengelolaan
biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), terutama terkait biaya pendaftaran awal
sebesar Rp 25 juta per calhaj, belum diselenggarakan dengan profesional,
akuntabilitas dan transparan, hal ini sangat rawan penyelewengan. Apalagi,
calhaj sendiri tidak pernah mendapat informasi yang jelas mengenai dana dan
bunga BPIH yang sudah disetorkan. Bila kasus-kasus macam ini terus dibiarkan
diduga rawan kebocoran dan mudah dikorup.
Dalam catatan KPK, dana BPIH mencapai Rp 38 triliun dan bunganya
Rp 1,7 triliun. Adapun jumlah pendaftar calon haji hingga Februari 2012
membengkak menjadi 1,4 juta orang dengan setoran awal Rp 32 triliun.
Namun, usulan moratorium itu pun ditolak oleh Menteri Agama
Suryadharma Ali, karena dinilai sama saja dengan mencegah masyarakat menunaikan
ibadah haji. Senada dikemukakan oleh anggota Komisi VIII DPR RI Hasrul Azwar
yang menilai KPK terlalu berlebihan. (Pelita 23/2/12) Jika KPK menengarai rawan
penyelewengan, alangkah baiknya KPK melakukan pengawasan dan audit terhadap
dana BPIH.
Bahkan mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi juga menyatakan KPK sudah
keluar dari kapasitasnya, mengingat kebijakan penyelenggara negara seharusnya
diukur dari dampak yang ditimbulkan terhadap rakyat, bukan dari asumsi-asumsi.
Selain itu, tugas dan fungsi KPK bukanlah dalam mengkaji konsepsi dan aturan,
namun menyelidik ekses serta penyelewengan dari sebuah aturan, yakni korupsi.
Jikalau ada usulan moratorium haji, semestinya usul itu berasal dari masyarakat
atau DPR. (Antaranews, 28/2/12).
Bila ditelaah lagi, usulan moratorium ini memiliki banyak urgensi.
Pertama, jika dilaksanakan akan meminimalisasi tumbuh suburnya
lahan korupsi. KPK dalam hal ini mengingatkan kepada Kemenag agar lebih
berhati-hati mengelola dana yang dititipkan umat. Risikonya jelas, bila ada
oknum Kemenag yang terbukti menyeleweng, harus siap menanggung dosa dan hukuman
dunia dan akhirat.
Kedua, para calhaj yang sudah mendaftar, secara psikologis bisa
merasa lebih tenang dan tinggal menunggu informasi dana dan kepastian waktu
keberangkatan. Ini mengingat selama ini para calhaj yang sudah mendaftar bisa
dikatakan dalam situasi tidak menentu dan terombang-ambing.
Ketiga, tentunya moratorium pendaftaran haji bukanlah upaya
menyetop masyarakat yang belum mendaftar untuk menunaikan jamaah haji. Namun,
alangkah baiknya apabila dana yang sudah dikumpulkan rakyat itu ditabung
sendiri, dikelola untuk perniagaan yang akan menguntungkan, atau digunakan
untuk membantu yang lain ketimbang dana itu disetor ke Kemenag dan tidak ada
kejelasan.
Keempat, Kemenag harus bertanggung jawab dengan amanat dana yang
sudah dihimpunnya, agar nantinya bisa dilaksanakan pemberangkatan haji yang
laik dan tidak kacau lagi. Kemenag harus segera membenahi segala kelemahannya
dalam prosesi dan pelayanan pemberangkatan calon jamaah haji Indonesia, supaya
tidak ada jamaah yang kecewa dan menjadi korban lagi.
Kelima, tentunya KPK sebagai pihak pengusul tidak berhenti di situ
saja, tetapi menjalankan fungsi utamanya mengaudit dan menjaring para koruptor
yang selalu memanfaatkan peluang untuk korupsi.
Terakhir, adanya usulan moratorium pendaftaran haji dari KPK
kepada Kemenag menjadi bukti keharmonisan antar-institusi untuk selalu
mengingatkan dan menjalankan tugas terbaiknya bagi terwujudnya kesejahteraan
dan ketentraman rakyat. Bagaimanapun, terkait sistem dan asumsi apa pun, rakyat
mengharapkan keputusan yang terbaik.
Bagi Kemenag, terlepas dari polemik yang terjadi itu, sejatinya
usulan moratorium dipandang sebagai teguran yang harus menjadi perhatian.
Secepatnya Kemenag melakukan pembenahan sistem dan manajemen haji, dengan
akuntabilitas, dan transparansi yang tinggi. Sudah saatnya Kemenag menata diri,
memberikan akses informasi yang jelas kepada para calhaj, untuk apa saja dana
BPIH tersebut.
Selain itu, adanya moratorium ini juga merupakan langkah
preventif, mengingat hasil audit tahunan Indonesian
Coruption Watch (ICW) yang menempatan Kemenag dalam lumbung institusi yang
paling rawan korupsi.
Selama ini, Kemenag juga menuai pandangan miring terkait sistem
pelaksanaan ibadah haji. Bukan rahasia umum lagi, apabila dari tahun ke tahun,
pelaksanaan ibadah haji tidak beres dan semrawut dan persoalannya selalu sama
membuat pemerintah dinilai tidak mampu membenahinya. Bahkan Komisi VIII DPR RI
sebagai pengawas pelaksanaan haji sesuai UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Haji juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan haji tahun 2011 kacau
balau. (Pelita, 5/12/11) Kondisi itu bila dibiarkan dapat menghambat kemabruran
haji yang dilaksanakan.
Jadi, sebaiknya Kemenag sebagai penyelenggara haji memperbaiki
kinerja dan pelayanan pelaksanaan ibadah haji, melakukan instrospeksi dan tidak
mencari kambing hitam atau melempar kesalahan. Bagaimanapun, banyak jamaah haji
yang merasa tidak puas dan kecewa terhadap Kemenag. Ini perlu mendapatkan
perhatian secara seksama. Wallahu a'lam
bis showab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar