Hamba
Allah dari Jawa Timur
A Mustofa Bisri, PEMIMPIN PONDOK
PESANTREN RAUDLATUTH THALIBIN, REMBANG
Sumber
: JAWA POS, 2 Maret 2012
PULUHAN
ribu orang datang melayat ke Langitan, Widang, Babat. Entah berapa ribu lagi
yang ingin datang tak kesampaian. Jalan raya pantura macet 5 km karena
terhambat lautan manusia. Sehari sebelumnya, Rabu 29 Februari 2012, para
pelayat mulai berdatangan.
Sementara itu, di gedung PB
NU dan beberapa tempat lain, orang-orang berzikir dan berdoa. Belum lagi mereka
yang menyampaikan takziahnya melalui SMS, Facebook, serta Twitter.
Pada Rabu itu sekitar pukul 18.30, tokoh spiritual karismatis NU, pengasuh
Pesantren Langitan: KH Abdullah Faqih, dipanggil ke hadirat Ilahi. Innaa
lillaahi wainnaa Ilaihi raaji'uun.
Bila ciri utama waliyullah, kekasih Allah, itu adalah istikamah dan dicintai orang banyak, pastilah Kiai Abdullah Faqih -seperti keyakinan saya- termasuk waliyullah. Saya kebetulan mendapat anugerah kenal secara pribadi dan sering menjadi ''penderek'' kegiatan yang melibatkan kiai tawaduk berwajah manis itu. Saya termasuk yang bersaksi mengenai keistikamahan beliau, baik istikamah secara bahasa (lughatan) maupun menurut istilah (isthilaahan).
Semua orang tahu belaka keistikamahan beliau dalam menjunjung tinggi norma-norma dan ajaran Islam. Sebab, hal itu mewujud dalam sikap dan perilaku beliau sehari-hari. Beliau adalah jenis kiai yang sebenar-benar kiai. Kiai yang berusaha semaksimal serta seoptimal mungkin mengikuti dan meniru jejak pemimpin agungnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau lembut, penyayang, rendah hati, ikhlas, dan suka menolong. Mereka yang pernah bergaul dengan Kiai Abdullah Faqih pasti bisa bercerita banyak tentang kelembutan sikap maupun tutur kata beliau.
Kiai Abdullah Faqih istikamah mengayomi santri dan masyarakat. Bahkan mengayomi para kiai yang ''berijtihad'' berjuang melalui politik praktis. Beliau mengayomi seraya mendidik. Beliau mengayomi dan mendidik -tidak hanya mengajar- para santrinya. Beliau mengayomi dan mendidik masyarakat dengan sikap -tidak hanya dengan tutur kata. Ketika para kiai pendukung Gus Dur merasa kecewa, Kiai Faqih mengayomi mereka dengan menyediakan perhatian serta pemikiran -tidak hanya waktu dan tempatnya.
Saya menggunakan istilah mendidik karena Kiai Abdullah Faqih memang tidak sekadar memberikan nasihat dan bila ber-amar makruf nahi mungkar hampir tidak terasa ''amar'' maupun ''nahi''-nya karena kelembutannya itu. Menasihati pun, beliau tidak terasa menasihati karena beliau menyampaikan dengan ikhlas dan tidak menggurui. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana beliau ''menasihati'' Gus Dur, Allahu yarhamuh, dan Gus Dur menerima dengan berterima kasih.
Kiai Abdullah Faqih dari Jawa Timur adalah satu di antara tiga hamba Allah yang sempat disebut-sebut sebagai ''Penyangga Tanah Jawa''. Beliau menyusul dua hamba Allah yang lain yang lebih dulu dipanggil ke hadirat-Nya. Yaitu, dari Jawa Tengah: Kiai Abdullah Salam Kajen Pati, wafat 11 November 2001, dan dari Jawa Barat: Kiai Abdullah Abbas Buntet Cirebon, wafat 10 Agustus 2007. Rahimahumullah.
Tiga abadilah, hamba-hamba Allah, itulah yang dulu memelopori untuk mendukung Gus Dur agar menjadi Kiai Bangsa saja, tidak menjadi - sekadar- presiden. Namun, ketika Gus Dur berijtihad menjadi presiden, mereka itu tidak menghalang-halangi.
Tiga tokoh Abdullah dari Jawa itu memang mempunyai banyak kemiripan. Mereka adalah kiai pengasuh pesantren dengan ilmu keislaman yang cukup dan akhlak yang mulia. ''Mewakafkan'' diri mereka untuk masyarakat dan tidak pernah mementingkan diri sendiri. Mencintai dan peduli terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia. Ikhlas berjuang untuk itu secara lahir dan batin. Beramal dan berdoa. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang indah di sisi-Nya.
Dengan wafatnya Kiai Abdullah Faqih, rahimahumullah, habislah sudah tiga Abdullah, hamba Allah, yang disebut-sebut sebagai ''Penyangga Tanah Jawa'' itu. Mereka diambil oleh Kekasih mereka beserta ilmu-ilmu dan akhlak mereka. Mudah-mudahan ini bukan pertanda Allah membiarkan negeri ini menjadi semakin terpuruk dengan banyaknya umara dan ulama suu'. Tapi, semoga Allah justru akan menolong negeri dan bangsa ini dengan memunculkan lagi hamba-hamba teladan seperti tiga kiai Abdullah itu seperti pepatah harapan: Gugur satu tumbuh seribu. Semoga. ●
Bila ciri utama waliyullah, kekasih Allah, itu adalah istikamah dan dicintai orang banyak, pastilah Kiai Abdullah Faqih -seperti keyakinan saya- termasuk waliyullah. Saya kebetulan mendapat anugerah kenal secara pribadi dan sering menjadi ''penderek'' kegiatan yang melibatkan kiai tawaduk berwajah manis itu. Saya termasuk yang bersaksi mengenai keistikamahan beliau, baik istikamah secara bahasa (lughatan) maupun menurut istilah (isthilaahan).
Semua orang tahu belaka keistikamahan beliau dalam menjunjung tinggi norma-norma dan ajaran Islam. Sebab, hal itu mewujud dalam sikap dan perilaku beliau sehari-hari. Beliau adalah jenis kiai yang sebenar-benar kiai. Kiai yang berusaha semaksimal serta seoptimal mungkin mengikuti dan meniru jejak pemimpin agungnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau lembut, penyayang, rendah hati, ikhlas, dan suka menolong. Mereka yang pernah bergaul dengan Kiai Abdullah Faqih pasti bisa bercerita banyak tentang kelembutan sikap maupun tutur kata beliau.
Kiai Abdullah Faqih istikamah mengayomi santri dan masyarakat. Bahkan mengayomi para kiai yang ''berijtihad'' berjuang melalui politik praktis. Beliau mengayomi seraya mendidik. Beliau mengayomi dan mendidik -tidak hanya mengajar- para santrinya. Beliau mengayomi dan mendidik masyarakat dengan sikap -tidak hanya dengan tutur kata. Ketika para kiai pendukung Gus Dur merasa kecewa, Kiai Faqih mengayomi mereka dengan menyediakan perhatian serta pemikiran -tidak hanya waktu dan tempatnya.
Saya menggunakan istilah mendidik karena Kiai Abdullah Faqih memang tidak sekadar memberikan nasihat dan bila ber-amar makruf nahi mungkar hampir tidak terasa ''amar'' maupun ''nahi''-nya karena kelembutannya itu. Menasihati pun, beliau tidak terasa menasihati karena beliau menyampaikan dengan ikhlas dan tidak menggurui. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana beliau ''menasihati'' Gus Dur, Allahu yarhamuh, dan Gus Dur menerima dengan berterima kasih.
Kiai Abdullah Faqih dari Jawa Timur adalah satu di antara tiga hamba Allah yang sempat disebut-sebut sebagai ''Penyangga Tanah Jawa''. Beliau menyusul dua hamba Allah yang lain yang lebih dulu dipanggil ke hadirat-Nya. Yaitu, dari Jawa Tengah: Kiai Abdullah Salam Kajen Pati, wafat 11 November 2001, dan dari Jawa Barat: Kiai Abdullah Abbas Buntet Cirebon, wafat 10 Agustus 2007. Rahimahumullah.
Tiga abadilah, hamba-hamba Allah, itulah yang dulu memelopori untuk mendukung Gus Dur agar menjadi Kiai Bangsa saja, tidak menjadi - sekadar- presiden. Namun, ketika Gus Dur berijtihad menjadi presiden, mereka itu tidak menghalang-halangi.
Tiga tokoh Abdullah dari Jawa itu memang mempunyai banyak kemiripan. Mereka adalah kiai pengasuh pesantren dengan ilmu keislaman yang cukup dan akhlak yang mulia. ''Mewakafkan'' diri mereka untuk masyarakat dan tidak pernah mementingkan diri sendiri. Mencintai dan peduli terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia. Ikhlas berjuang untuk itu secara lahir dan batin. Beramal dan berdoa. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang indah di sisi-Nya.
Dengan wafatnya Kiai Abdullah Faqih, rahimahumullah, habislah sudah tiga Abdullah, hamba Allah, yang disebut-sebut sebagai ''Penyangga Tanah Jawa'' itu. Mereka diambil oleh Kekasih mereka beserta ilmu-ilmu dan akhlak mereka. Mudah-mudahan ini bukan pertanda Allah membiarkan negeri ini menjadi semakin terpuruk dengan banyaknya umara dan ulama suu'. Tapi, semoga Allah justru akan menolong negeri dan bangsa ini dengan memunculkan lagi hamba-hamba teladan seperti tiga kiai Abdullah itu seperti pepatah harapan: Gugur satu tumbuh seribu. Semoga. ●
...menangis hati ini, menetes air mata sudah pasti. Ketika sosok ulama' (Lampu Dunia) dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Dunia bertambah gelap tanpa beliau-beliau. Semoga Amal baik beliau diterima oleh Allah, diampuni segala kesalahan dan dosanya, Aamin.
BalasHapusMohon ijin Kopas tulisan ini wahai saudara...
Wassalam
M.Makinudien