Berpulangnya
Kiai Penjaga Belantara
Sholahuddin, WARTAWAN
JAWA POS
Sumber
: JAWA POS, 2 Maret 2012
BULAN-bulan
awal 2012 ini merupakan bulan duka bagi warga nahdliyin. Bahkan, bukan
hanya duka bagi jamiyah NU, tetapi bulan duka umat Islam maupun bangsa
Indonesia. Betapa tidak. Dalam rentang Januari-Februari, setidaknya tiga kiai
besar wafat. Pada 15 Januari lalu, pimpinan Ponpes Lirboyo, Kediri, KH Imam
Yahya Mahrus berpulang. Kemudian, pada 31 Januari, pengasuh Ponpes Al Falah,
Ploso, Kediri, KH Munif Djazuli juga menyusul. Dan, pada 29 Februari, pengasuh
Ponpes Langitan, Tuban, KH Abdullah Faqih pun pulang ke rahmatullah.
Tiga nama kiai tersebut masuk di antara sedikit tokoh di negeri ini yang tidak diragukan kekiaiannya. Sepanjang hidupnya, mereka banyak mengabiskan waktu untuk mendidik dan mencerdaskan ribuan santri jamaah. Tidak mengherankan, ketika beliau pergi menghadap Sang Khalik, ribuan warga menyemut berebut mendoakan dan mengantarkan ke pesarean dengan air mata duka tumpah.
Sepanjang bekerja di Jawa Pos mulai 1999, beberapa kali saya mengikuti beberapa kegiatan yang dihadiri para kiai karismatik tersebut, baik pada pentas keagamaan, politik, maupun sosial-kemasyarakatan. Peran dan kiprah mereka sungguh luar biasa. Bukan hanya utun dalam memberikan petuah-petuah seputar hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik (hablum minallah). Tetapi, mereka juga sangat gigih menerbar benih semangat hubungan horizontal (hablum minannas) seperti kebersamaan, toleransi, persatuan, dan kesatuan di antara sesama.
Saya masih teringat ketika KH Mustofa Bisri (Gus Mus) saat memberikan taushiyah di acara musyawarah nasional (munas) alim-ulama di Asrama Haji Surabaya pada 2005. Saat itu, Gus Mus menyampaikan bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya pengaruh kiai bergantung kepada tingkat keilmuan, amaliah, dan kedekatannya kepada Tuhan dan masyarakatnya. Arief Budiman membuat kategorisai menarik tentang kiai. Bahwa kiai itu ada tiga. Yakni, kiai produk masyarakat; kiai produk pemerintah; dan kiai produk pers.
Kiai produk masyarakat merupakan orang yang sangat dihormati masyarakat dan memanggilnya kiai. Kiai kategori itu tak hanya menyiarkan ilmu agama, tetapi juga mengamalkan. Dia menjadi panutan perilaku saleh. Dia baik dengan Sang Khalik dan baik dengan makhluk. Setiap jengkal langkahnya untuk masyarakat. Mengawani, mendidik, membimbing, membela, dan menolong masyarakat.
Kata Gus Mus, kiai jenis itu ada meski sangat sedikit. Nah, merekalah sebenarnya yang patut disebut pewaris nabi (waratsatil anbiyaa). Karena itu, kiai produk masyarakat itu mempunyai pengaruh luar biasa di masyarakat. Tidak mengherankan, ketika mereka berpulang, ribuan jamaah menangisinya.
Lalu, kiai produk pemerintah. Pemerintah selalu memerlukan dukungan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil. Untuk itu, biasanya pemerintah berusaha memanfaatkan kiai yang memiliki pengaruh.
Selanjutnya, kiai produk pers. Pers merupakan pembentuk opini paling ampuh. Lihat saja, di TV-TV sekarang . Banyak di antara mereka itu yang mungkin secara keilmuan keagamaan pas-pasan. Tetapi, berkat sentuhan pers, ketenaran mereka jauh melebihi kiai produk masyarakat.
Kala itu, Gus Mus menyebut ada lagi kiai produk politisi dan kiai produk sendiri. Mula-mula, seperti halnya pemerintah, politisi atau pimpinan partai berusaha mendekati kiai melalui broker-broker yang bisa saja dari orang ndalem (anak, menantu, atau santri kiai), atau orang luar yang dekat dengan sang kiai. Lama-lama mereka berusaha dan ternyata mampu.
Sementara kiai produk sendiri, kemungkinan yang termurah. Modalnya hanya kemampuan akting, menghafal beberapa ayat dan hadis, busana kelengkapan seperti serban, baju koko, atau lebih afdol lagi jubah.
Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, dan Kiai Faqih hampir pasti tidak ada yang menyangsikan bahwa mereka masuk kategori kiai produk masyarakat. Memang, mereka juga tidak steril dari politik. Sebagian di antara kita juga mengetahui, dalam beberapa kesempatan, mereka kadang-kadang menghadiri undangan atau didatangi tokoh parpol tertentu.
Namun, keterlibatan mereka itu bukan dimaksudkan untuk kepentingan sesaat. Kalau boleh diibaratkan, mereka hanya ingin ikut andil dalam menyiapkan kendaraan-kendaraan alternatif untuk perjuangan umat atau jamaahnya. Mereka tidak ikut menumpang kendaraan itu, tetapi tetap setia mengabdi di pesantren sebagai habitatnya. Justru sering terjadi, para penumpang kendaraan yang sudah disiapkan para kiai itu lupa diri. Kalau kendaraan sudah jalan, kiai ditinggal, bahkan kadang-kadang dimusuhi.
KH Makruf Islamudin, asal Klaten, Jawa Tengah, dalam sebuah ceramahnya pernah menyampaikan hal menarik. Kiai atau ulama itu seperti harimau penjaga rimba belantara. Jika rimba belantara itu masih ada harimaunya, penghuni rimba itu menjadi terlindungi. Hewan atau binatang lain tidak akan berani mendekat. Sebaliknya, kalau rimba itu tidak ada harimau penjaganya, peluang penghuninya rusak itu sangat besar.
Karena itu, sebaiknya kiai-kiai memang terus berupaya untuk tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Kalau kemudian harimau itu keluar rimba belantara dan masuk kebun binatang, jadinya harimau itu tidak angker atau tidak disegani lagi. Tetapi, harimau itu malah lucu yang menjadi bahan tertawaan dan tontotan pengunjung kebun binatang. Demikian juga halnya ketika kiai keluar dari habitatnya, mereka akan seperti harimau yang masuk kebun binatang itu.
Kita meyakini, masih banyak kiai yang tetap istikamah memikirkan umat dan bangsa ini. Kita berharap, akan terus muncul kiai-kiai baru yang pernah nyantri kepada Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, Kiai Faqih, ataupun kiai-kiai lain. Mereka yang mampu mengawani masyarakat dengan kearifan dan doa-doanya. Semoga. ●
Tiga nama kiai tersebut masuk di antara sedikit tokoh di negeri ini yang tidak diragukan kekiaiannya. Sepanjang hidupnya, mereka banyak mengabiskan waktu untuk mendidik dan mencerdaskan ribuan santri jamaah. Tidak mengherankan, ketika beliau pergi menghadap Sang Khalik, ribuan warga menyemut berebut mendoakan dan mengantarkan ke pesarean dengan air mata duka tumpah.
Sepanjang bekerja di Jawa Pos mulai 1999, beberapa kali saya mengikuti beberapa kegiatan yang dihadiri para kiai karismatik tersebut, baik pada pentas keagamaan, politik, maupun sosial-kemasyarakatan. Peran dan kiprah mereka sungguh luar biasa. Bukan hanya utun dalam memberikan petuah-petuah seputar hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik (hablum minallah). Tetapi, mereka juga sangat gigih menerbar benih semangat hubungan horizontal (hablum minannas) seperti kebersamaan, toleransi, persatuan, dan kesatuan di antara sesama.
Saya masih teringat ketika KH Mustofa Bisri (Gus Mus) saat memberikan taushiyah di acara musyawarah nasional (munas) alim-ulama di Asrama Haji Surabaya pada 2005. Saat itu, Gus Mus menyampaikan bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya pengaruh kiai bergantung kepada tingkat keilmuan, amaliah, dan kedekatannya kepada Tuhan dan masyarakatnya. Arief Budiman membuat kategorisai menarik tentang kiai. Bahwa kiai itu ada tiga. Yakni, kiai produk masyarakat; kiai produk pemerintah; dan kiai produk pers.
Kiai produk masyarakat merupakan orang yang sangat dihormati masyarakat dan memanggilnya kiai. Kiai kategori itu tak hanya menyiarkan ilmu agama, tetapi juga mengamalkan. Dia menjadi panutan perilaku saleh. Dia baik dengan Sang Khalik dan baik dengan makhluk. Setiap jengkal langkahnya untuk masyarakat. Mengawani, mendidik, membimbing, membela, dan menolong masyarakat.
Kata Gus Mus, kiai jenis itu ada meski sangat sedikit. Nah, merekalah sebenarnya yang patut disebut pewaris nabi (waratsatil anbiyaa). Karena itu, kiai produk masyarakat itu mempunyai pengaruh luar biasa di masyarakat. Tidak mengherankan, ketika mereka berpulang, ribuan jamaah menangisinya.
Lalu, kiai produk pemerintah. Pemerintah selalu memerlukan dukungan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil. Untuk itu, biasanya pemerintah berusaha memanfaatkan kiai yang memiliki pengaruh.
Selanjutnya, kiai produk pers. Pers merupakan pembentuk opini paling ampuh. Lihat saja, di TV-TV sekarang . Banyak di antara mereka itu yang mungkin secara keilmuan keagamaan pas-pasan. Tetapi, berkat sentuhan pers, ketenaran mereka jauh melebihi kiai produk masyarakat.
Kala itu, Gus Mus menyebut ada lagi kiai produk politisi dan kiai produk sendiri. Mula-mula, seperti halnya pemerintah, politisi atau pimpinan partai berusaha mendekati kiai melalui broker-broker yang bisa saja dari orang ndalem (anak, menantu, atau santri kiai), atau orang luar yang dekat dengan sang kiai. Lama-lama mereka berusaha dan ternyata mampu.
Sementara kiai produk sendiri, kemungkinan yang termurah. Modalnya hanya kemampuan akting, menghafal beberapa ayat dan hadis, busana kelengkapan seperti serban, baju koko, atau lebih afdol lagi jubah.
Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, dan Kiai Faqih hampir pasti tidak ada yang menyangsikan bahwa mereka masuk kategori kiai produk masyarakat. Memang, mereka juga tidak steril dari politik. Sebagian di antara kita juga mengetahui, dalam beberapa kesempatan, mereka kadang-kadang menghadiri undangan atau didatangi tokoh parpol tertentu.
Namun, keterlibatan mereka itu bukan dimaksudkan untuk kepentingan sesaat. Kalau boleh diibaratkan, mereka hanya ingin ikut andil dalam menyiapkan kendaraan-kendaraan alternatif untuk perjuangan umat atau jamaahnya. Mereka tidak ikut menumpang kendaraan itu, tetapi tetap setia mengabdi di pesantren sebagai habitatnya. Justru sering terjadi, para penumpang kendaraan yang sudah disiapkan para kiai itu lupa diri. Kalau kendaraan sudah jalan, kiai ditinggal, bahkan kadang-kadang dimusuhi.
KH Makruf Islamudin, asal Klaten, Jawa Tengah, dalam sebuah ceramahnya pernah menyampaikan hal menarik. Kiai atau ulama itu seperti harimau penjaga rimba belantara. Jika rimba belantara itu masih ada harimaunya, penghuni rimba itu menjadi terlindungi. Hewan atau binatang lain tidak akan berani mendekat. Sebaliknya, kalau rimba itu tidak ada harimau penjaganya, peluang penghuninya rusak itu sangat besar.
Karena itu, sebaiknya kiai-kiai memang terus berupaya untuk tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Kalau kemudian harimau itu keluar rimba belantara dan masuk kebun binatang, jadinya harimau itu tidak angker atau tidak disegani lagi. Tetapi, harimau itu malah lucu yang menjadi bahan tertawaan dan tontotan pengunjung kebun binatang. Demikian juga halnya ketika kiai keluar dari habitatnya, mereka akan seperti harimau yang masuk kebun binatang itu.
Kita meyakini, masih banyak kiai yang tetap istikamah memikirkan umat dan bangsa ini. Kita berharap, akan terus muncul kiai-kiai baru yang pernah nyantri kepada Kiai Yahya Imam Mahrus, Kiai Munif Djazuli, Kiai Faqih, ataupun kiai-kiai lain. Mereka yang mampu mengawani masyarakat dengan kearifan dan doa-doanya. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar