Jumat, 02 Maret 2012

Anggaran tanpa Daya Gedor


Anggaran tanpa Daya Gedor
Mohammad Eri Irawan, MAHASISWA PASCASARJANA UNAIR
Sumber : JAWA POS, 2 Maret 2012



PROBLEM mendasar berupa tata kelola yang buruk masih saja menjangkiti anggaran publik kita. Problem tersebut berimplikasi negatif terhadap lemahnya daya dorong instrumen fiskal untuk menggerakkan perekonomian.

Salah satu yang menjadi sorotan saat ini adalah masih banyaknya daerah yang belum mempunyai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) karena prosesnya molor. Berdasar data Kementerian Keuangan, hingga saat ini, 339 di antara 524 kabupaten/kota sudah mempunyai APBD, sedangkan 185 kabupaten/kota belum.

Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 12 APBD belum disahkan; Sumatera Utara (21); Riau (9); Lampung (8); Jabar (15); Jateng (11); Jatim (8); NTT (12); Papua (23); dan Papua Barat (8).

Ketika pengesahan APBD lambat, pencairan anggaran juga terhambat. Dampaknya, pembangunan tersendat. Secara umum, hal tersebut menunjukkan masih sangat rendahnya kadar tertib anggaran kita.

Tata Kelola Buruk

Selain lambatnya pengesahan APBD, tata kelola yang buruk ditunjukkan lewat penyerapan anggaran yang rendah, belanja sosial yang minim karena APBD tersedot untuk belanja pegawai, serta program pembangunan yang tak inovatif.

Konsekuensi tata kelola yang buruk itu adalah pertumbuhan ekonomi di daerah tidak terdongkrak. Padahal, APBD sebagai instrumen fiskal punya peran penting dalam memacu pergerakan ekonomi masyarakat.

Problem tata kelola yang buruk tersebut memang menyedihkan sekaligus menggelikan. Menyedihkan karena regulasi soal penyusunan APBD sebenarnya sudah sangat gamblang. Beleid sudah sangat jelas mengatur mekanisme pengesahan APBD, termasuk detail waktunya. APBD semestinya sudah harus disahkan melalui keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif maksimal sebulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berjalan atau pada November.

Menggelikan karena lambatnya pengesahan APBD sering tidak disebabkan adanya faktor substansial seperti pertarungan ide antara legislatif dan eksekutif dalam memperjuangkan program prorakyat. Yang ada justru APBD lambat disahkan karena hubungan eksekutif dan legislatif memburuk lantaran hal-hal tak penting. Misalnya, dikuranginya anggaran yang berhubungan dengan kepentingan para anggota DPRD.

Hal itu patut disayangkan. Padahal, penyusunan anggaran mencerminkan mutu para penyusunnya. Menurut Samuelson (1996), anggaran adalah sistem yang digunakan pemerintah dan organisasi untuk mengidentifikasi rencana pendapatan untuk pengeluaran tahun tertentu. Anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan strategi perencanaan strategis yang telah dibuat.

Anggaran publik (APBN dan APBD) memundaki amanat untuk memengaruhi struktur perekonomian guna memastikan terselenggaranya kehidupan yang memakmurkan rakyat. Jika tata kelola anggaran sangat buruk, tentu daya gedor alias efektivitas anggaran ke kehidupan ekonomi rakyat akan semakin lemah.

Dalam literatur ilmu anggaran, bisa dibilang peran instrumen anggaran di jagat ekonomi-politik negeri ini telah bergeser dari pengungkit (stimulator) fiskal menjadi sekadar instrumen untuk memelihara sustainabilitas fiskal (fiscal sustainability).

Mengapa anggaran publik kita tak punya daya gedor? Sebab, pemerintah tak lagi punya diskresi dalam menggelontorkan banyak dana untuk proyek pembangunan yang bisa menciptakan multiplier effect. Misalnya, pembangunan infrastruktur, penguatan pertanian, atau peningkatan daya saing UMKM. Selain karena masih lambatnya pengesahan, APBD tersandera berbagai pos belanja yang tidak atau kurang berkorelasi terhadap upaya mendinamisasi perekonomian masyarakat luas.

Pada 2010, misalnya, Kemenkeu mencatat, APBD banyak tersedot untuk belanja pegawai (belanja rutin). Alokasi belanja pegawai naik dari Rp 123 triliun (2009) menjadi Rp 198 triliun (2010). Belanja pegawai meningkat menjadi 45 persen dari sebelumnya 38 persen. Ada pun alokasi belanja modal hanya Rp 96 triliun, anjlok dari sebelumnya Rp 104 triliun. Porsi belanja modal dalam APBD turun dari 33 persen menjadi 22 persen. Terdapat 145 daerah yang memiliki alokasi belanja pegawai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada yang mencapai 80 persen.

Dana transfer ke daerah dari APBN yang superjumbo, melonjak sekitar 300 persen dalam tujuh tahun terakhir hingga 2012 mencapai Rp 437 triliun, terasa sia-sia jika kemudian dana itu tersita untuk pos-pos yang tak punya daya ungkit ekonomi.

Karena itu, jelas sudah bahwa fungsi anggaran publik untuk mewarnai kehidupan masyarakat kian jauh panggang dari api. Itu belum termasuk duit negara yang lenyap dimakan calo anggaran. Belum juga memperhitungkan pelaksanaan proyek yang tak optimal karena mulai proses perencanaannya sudah dipenuhi bau anyir korupsi.

Kondisi tersebut harus segera disikapi serius. Semua stakeholder seyogianya bergegas membalikkan arah kemudi anggaran menjadi lebih berpihak kepada rakyat. Sumber daya fiskal yang terbatas harus disikapi dengan politik anggaran yang menempatkan rakyat sebagai sumber sekaligus saluran energi dari setiap kebijakan penganggaran. Patut diingat, masih tingginya kemiskinan, salah satunya, disebabkan teramputasinya intervensi fiskal dalam program-program antikemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar