Di
Balik Gencarnya Serangan JAD di Indonesia Arif Budi Setyawan ; Mantan Napiter |
KOMPAS,
08 April
2021
Banyak yang bertanya-tanya mengapa para
pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang menyebut kelompok
mereka sebagai Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia masih gencar
melakukan serangan, padahal NIIS telah kalah telak di Suriah dan Irak? Aksi terbaru mereka dalam satu pekan
terakhir terbilang sukses menghebohkan seisi negeri. Bom bunuh diri di Gereja
Katedral Makassar yang dilakukan sepasang suami-istri dan yang terbaru adalah
percobaan serangan menggunakan pistol di Mabes Polri. Hebohnya lagi, kejadian
di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan. Lalu, mengapa mereka sebegitu nekatnya
melakukan aksi yang sepintas malah merugikan diri sendiri dan kelompoknya
itu? Bukankah banyaknya penangkapan setelah kejadian aksi teror terhadap
orang-orang di kelompoknya—yang bahkan hanya karena satu kelompok pengajian dengan
pelaku—merupakan sebuah kerugian? Jika mengacu pada push factor dan pull
factor, push factor paling utama dari aksi-aksi tesebut adalah adanya
keinginan untuk terus melakukan serangan teror guna menunjukkan eksistensi
kelompok mereka (NIIS) yang telah kalah telak di Suriah dan Irak. Mereka boleh kehilangan wilayah, tetapi tak
boleh kehilangan prinsip ideologi yang telah menjadi brand kelompok mereka,
yaitu memerangi semua pihak yang dianggap musuh mereka. Jika tidak ada lagi
serangan, itu akan mematikan brand kelompok mereka. Dan itu adalah sebuah
kehinaan dan kerugian bagi mereka. Sementara pull factor-nya, salah satunya,
adalah adanya gejolak di masyarakat Indonesia yang sebagian mulai tak
menyukai kebijakan rezim penguasa. Karena itu, mereka berpikir, jika mereka
melakukan sebuah amaliyah, akan semakin mudah menimbulkan kegaduhan di tengah
masyarakat kita. Dan, bukan tidak mungkin justru ada sebagian masyarakat yang
ikut senang karena aksi mereka. Pola
pikir teroris Kelompok pelaku aksi-aksi itu sangat senang
dengan kegaduhan di tengah masyarakat yang menyebabkan masyarakat semakin
membenci negara yang memang menjadi musuh mereka. Yang artinya negara
terlihat semakin lemah. Dan, inilah sebenarnya target yang paling mereka
inginkan dalam jangka pendek. Ingat, mereka ini sedang melakukan perang
gerilya atau asimetris warfare, yaitu pihak yang lemah melawan pihak yang
kuat. Dalam perang gerilya, target utama yang ingin dicapai kelompok yang
lemah bukanlah mengalahkan yang kuat, tetapi menimbulkan kerugian yang
sebesar-besarnya di pihak yang kuat dengan aksi yang seminimal mungkin. Sebagai orang yang pernah ikut dalam
kelompok aktivis ”perang gerilya”, saya sangat paham pola pikir seperti di
atas. Meski demikian, dalam perang gerilya yang
dilakukan kelompok NIIS dan para pendukungnya, mereka hanya fokus pada
”kemenangan pribadi”. Yang penting beraksi untuk membuktikan tingkatan ”iman”
mereka. Tak peduli setelah aksinya banyak kawan
mereka yang bahkan hanya karena satu grup di media sosial ikut ditangkap oleh
aparat karena dianggap mengetahui, tetapi tak melaporkan kepada pihak
berwajib. Hal ini menjadikan mereka semakin liar dan
berbahaya. Tidak ada lagi pertimbangan keselamatan orang lain yang bahkan
sepemahaman dengan mereka. Semangat persaudaraan mereka lemah. Hanya sebatas
karena sama-sama bersemangat. Kalau sudah tertangkap dan menyeret
kawan-kawannya yang lain ikut ditangkap, barulah mereka akan menyesal. Seandainya mereka memiliki kepedulian dan
mau berpikir agak dalam mengenai risiko yang harus ditanggung oleh
kawan-kawannya karena aksi yang akan dilakukannya, apalagi jika mau berpikir
tentang akibat yang akan ditanggung umat Islam karena aksi mereka, pasti
sedikit atau banyak akan mengurangi maraknya aksi individual belakangan ini. Coba saja mereka mau memikirkan lebih jauh
mengenai dampak perbuatannya. Teman-temannya bisa ikut ditangkap, dan ketika
sudah ditangkap akan meninggalkan keluarganya yang pasti akan kian menderita.
Siapa yang akan mengurus keluarganya yang ditinggalkan itu? Dan seterusnya. Mungkin hal itu bisa menjadi rem yang kuat
bagi mereka. Namun sayang, seringnya hal itu tidak dipikirkan. Padahal, apa
yang mereka lakukan itu sering kali sangat receh bila dibandingkan era
Azhari- Noordin M Top dulu. Kembali lagi pada prinsip perang gerilya,
di mana target kelompok yang lemah bukanlah mengalahkan yang kuat, tetapi
menimbulkan kerugian sebesar-besarnya di pihak yang kuat dengan aksi
seminimal mungkin, maka jangan sampai kita terbawa pada skenario mereka. Di media sosial para simpatisan NIIS yang
saya pantau pascaterjadinya serangan di Mabes Polri terjadi glorifikasi yang
luar biasa terhadap pelaku. Secara garis besar, isi glorifikasi mereka adalah
memuji bahwa seorang perempuan telah berhasil membuat institusi Polri
kerepotan dan mempertanyakan ke mana para lelaki yang mengaku pendukung NIIS. Malulah pada pelaku serangan —bunuh diri—
di Mabes Polri itu yang berhasil menjatuhkan harga diri Polri. Jika kita ikut melemparkan tuduhan bahwa
aksi-aksi mereka sebagai setting-an atau konspirasi, atau pengalihan isu,
atau mencaci ketidakmampuan negara dalam menghadapi kelompok pelaku
teror, itu adalah bukti bahwa kita
ikut menambah kegaduhan yang membuat mereka senang. Stop! Hentikan itu sekarang juga! Lebih
baik diam jika tidak bisa memberi dukungan. Jangan membuat para teroris
senang karena kebodohan kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar