Minggu, 07 Januari 2018

Trump Melawan Dunia Baru

Trump Melawan Dunia Baru
Anis Matta  ;  Pengamat Politik Internasional
                                                 REPUBLIKA, 28 Desember 2017



                                                           
Sidang Umum PBB pada 21 Desember 2017 secara mayoritas menolak pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Deklarasi itu ditolak 128 negara, AS hanya didukung delapan negara, dan sisanya 35 negara abstain.
Bisa jadi Trump akan berjalan terus karena baginya ini bukan sekadar memenuhi janji kampanye, melainkan hasrat “menulis” sejarah dan peta dunia baru. Dalam berbagai kesempatan, Trump sempat menyatakan menerima ide solusi dua negara, yang sejatinya bertentangan dengan gagasan Negara Israel Raya dari Theodore Herzl dan para zionis radikal pengikutnya.

Dalam mimpi Herzl, Negara Israel Raya terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak, merangkai seluruh wilayah Jordan, Suriah, Lebanon, Kuwait dan sebagian besar Arab Saudi. Dalam skenario itu, Palestina seharusnya lenyap dari peta bumi.
Rencana itu sebagian dilaksanakan dengan menciptakan “proxy state” sebagai bumper dan tempat penampungan emigran Palestina seperti Yordania, atau sebagai perlindungan keamanan seperti Mesir.

Langkah lain melalui proyek konflik berkesinambungan di kawasan, seperti konflik Sunni-Syiah dalam perang Iran-Irak 1980-1988; konflik etnis Kurdi; konflik perbatasan Irak-Kuwait (1990) yang memicu Perang Teluk pertama 1991, disusul invasi Amerika 2003; lalu konflik Arab Spring dan kontra-Arab Spring sejak 2010. Sekarang, kawasan itu menjadi spot konflik global terpanas dan melibatkan hampir semua kekuatan, termasuk Rusia yang paling akhir terlibat.

Sebagian lagi dijalankan dengan melokalisasi isu Palestina menjadi isu domestik, sehingga negara-negara Arab tidak terlibat atau hanya mendukung Palestina secara pasif.

Perubahan geopolitik

Akankah deklarasi Trump berjalan seperti Deklarasi Balfour seabad lalu? Jawabnya, dunia sudah jauh berubah. Pertama, Deklarasi Balfour dibuat dengan premis bahwa Sekutu akan menang Perang Dunia I. Di atas puing-puing imperium Ottoman pada 1924 ditulis sebuah peta dunia baru oleh Sykes-Picot-mewakili negara adidaya saat itu, Inggris dan Prancis-yang memasukkan entitas baru bernama Israel dan menghapus Palestina.

Perang Dunia II juga dimenangkan Sekutu, tapi Amerika juaranya. Namun, setelah Perang Dingin, Barat tampak kehilangan arah dan sibuk menyelamatkan kepentingan masing-masing, terutama dalam hal ekonomi.

Posisi AS tengah melemah karena semua proyek globalnya kandas di tengah jalan. Yang paling merugikan adalah invasi ke Irak 2003 dan konflik Libya. AS juga limbung menyikapi Suriah, karena harus berhadapan dengan Rusia.

Perkembangan kedua adalah munculnya kekuatan baru, yaitu Cina dan Rusia. Cina kini membayangi AS dan Eropa dalam ekonomi, militer, dan teknologi. Menurut data Bank Dunia, dari 75,8 triliun dolar AS PDB dunia 2016, AS menghasilkan 18,6 trilun dolar AS (24,5 persen), Eropa sekitar 17,6 triliun dolar AS (23,2 persen) dan Cina 11,2 triliun dolar AS (14,7 persen).

Jika Eropa dipecah berdasarkan negara, PDB terbesar dihasilkan Jerman yang “hanya” 3,5 triliun dolar AS. Jauh berbeda dengan paruh kedua abad lalu ketika AS dan Eropa menguasai sekitar 80 persen output ekonomi dunia.

Penetrasi Cina dan Rusia ke Eropa semakin dalam. Proyek Jalur Sutera “One Belt One Road” menghubungkan Cina ke Eropa dalam waktu 18 hari via darat, jauh lebih singkat dibandingkan 35 hari via laut. Jalur pipa gas hingga pesisir Pakistan melepaskan ketergantungan Negeri Tirai Bambu itu terhadap Selat Malaka jika terjadi eskalasi di Laut China Selatan.

Rusia menguasai pasokan gas ke Eropa. Orang juga belum lupa dengan warisan nuklir yang kini ada di genggaman Presiden Vladimir Putin. Itulah mengapa sanksi Amerika dan Uni Eropa terhadap Rusia atas kasus Ukraina tidak efektif.

Amerika tidak lagi mampu memobilisasi Eropa. Apalagi, kompetisi antara kaum nasionalis konservatif dan globalis liberal menajam dan akan mengubah konfigurasi ideologis kepemimpinan negara di kedua tempat itu.

Konstelasi politik kawasan Arab menjadi faktor ketiga. Turki dan Iran menggantikan sekutu Israel, yaitu Arab Saudi dan Mesir, sebagai pemain utama. Sebelum deklarasi Trump, negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, serta Mesir telah dikondisikan untuk menerima.

Dalam situasi transisi kekuasaan di Saudi, Muhammad bin Salman bertindak pragmatis untuk mendapat dukungan Trump meraih mahkota kerajaan. Media memberitakan perjalanan rahasia penasihat sekaligus menantu Trump, Jared Kushner, ke negeri itu pada akhir Oktober. Semua drama "Game of Thrones" yang sekarang terjadi di Arab Saudi adalah bagian dari deal itu.

Pengondisian ini sia-sia karena segitiga Turki, Iran, dan Rusia menutup ruang gerak Amerika. Apalagi saat ini, semangat perlawanan rakyat Palestina jauh lebih kuat dari semangat bertahan kaum Yahudi. Sejak intifada meletus pada 1987, pamor kedigdayaan tentara Israel yang pernah mengalahkan tentara gabungan Aran pada 1948 seolah meredup. Belakangan ini, semakin banyak orang Yahudi yang hengkang dari Israel dan kembali ke negara asalnya.
Akhir mimpi

Trump dan pendukung berdirinya negara Israel berhadapan dengan dunia yang sama sekali baru. Rentang satu abad sejak Deklarasi Balfour 1917, yang semula direncanakan menjadi perayaan berubah menjadi kehinaan. Ancaman Amerika bantuan keuangan Amerika pun tak digubris. Hasil voting PBB menunjukkan betapa Paman Sam tengah kehilangan legitimasi sebagai superpower. Bisa jadi, inilah akhir mimpi kaum zionis.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar