Trump
Melawan Dunia Baru
Anis Matta ; Pengamat Politik
Internasional
|
REPUBLIKA,
28 Desember
2017
Sidang Umum PBB pada 21
Desember 2017 secara mayoritas menolak pengakuan Presiden Amerika Serikat
Donald Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Deklarasi itu
ditolak 128 negara, AS hanya didukung delapan negara, dan sisanya 35 negara
abstain.
Bisa jadi Trump akan
berjalan terus karena baginya ini bukan sekadar memenuhi janji kampanye,
melainkan hasrat “menulis” sejarah dan peta dunia baru. Dalam berbagai
kesempatan, Trump sempat menyatakan menerima ide solusi dua negara, yang
sejatinya bertentangan dengan gagasan Negara Israel Raya dari Theodore Herzl
dan para zionis radikal pengikutnya.
Dalam mimpi Herzl, Negara
Israel Raya terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak,
merangkai seluruh wilayah Jordan, Suriah, Lebanon, Kuwait dan sebagian besar
Arab Saudi. Dalam skenario itu, Palestina seharusnya lenyap dari peta bumi.
Rencana itu sebagian
dilaksanakan dengan menciptakan “proxy state” sebagai bumper dan tempat
penampungan emigran Palestina seperti Yordania, atau sebagai perlindungan
keamanan seperti Mesir.
Langkah lain melalui
proyek konflik berkesinambungan di kawasan, seperti konflik Sunni-Syiah dalam
perang Iran-Irak 1980-1988; konflik etnis Kurdi; konflik perbatasan
Irak-Kuwait (1990) yang memicu Perang Teluk pertama 1991, disusul invasi
Amerika 2003; lalu konflik Arab Spring dan kontra-Arab Spring sejak 2010.
Sekarang, kawasan itu menjadi spot konflik global terpanas dan melibatkan
hampir semua kekuatan, termasuk Rusia yang paling akhir terlibat.
Sebagian lagi dijalankan
dengan melokalisasi isu Palestina menjadi isu domestik, sehingga
negara-negara Arab tidak terlibat atau hanya mendukung Palestina secara
pasif.
Perubahan
geopolitik
Akankah deklarasi Trump
berjalan seperti Deklarasi Balfour seabad lalu? Jawabnya, dunia sudah jauh
berubah. Pertama, Deklarasi Balfour dibuat dengan premis bahwa Sekutu akan
menang Perang Dunia I. Di atas puing-puing imperium Ottoman pada 1924 ditulis
sebuah peta dunia baru oleh Sykes-Picot-mewakili negara adidaya saat itu,
Inggris dan Prancis-yang memasukkan entitas baru bernama Israel dan menghapus
Palestina.
Perang Dunia II juga
dimenangkan Sekutu, tapi Amerika juaranya. Namun, setelah Perang Dingin,
Barat tampak kehilangan arah dan sibuk menyelamatkan kepentingan
masing-masing, terutama dalam hal ekonomi.
Posisi AS tengah melemah
karena semua proyek globalnya kandas di tengah jalan. Yang paling merugikan
adalah invasi ke Irak 2003 dan konflik Libya. AS juga limbung menyikapi
Suriah, karena harus berhadapan dengan Rusia.
Perkembangan kedua adalah
munculnya kekuatan baru, yaitu Cina dan Rusia. Cina kini membayangi AS dan
Eropa dalam ekonomi, militer, dan teknologi. Menurut data Bank Dunia, dari
75,8 triliun dolar AS PDB dunia 2016, AS menghasilkan 18,6 trilun dolar AS
(24,5 persen), Eropa sekitar 17,6 triliun dolar AS (23,2 persen) dan Cina
11,2 triliun dolar AS (14,7 persen).
Jika Eropa dipecah
berdasarkan negara, PDB terbesar dihasilkan Jerman yang “hanya” 3,5 triliun
dolar AS. Jauh berbeda dengan paruh kedua abad lalu ketika AS dan Eropa
menguasai sekitar 80 persen output ekonomi dunia.
Penetrasi Cina dan Rusia
ke Eropa semakin dalam. Proyek Jalur Sutera “One Belt One Road” menghubungkan
Cina ke Eropa dalam waktu 18 hari via darat, jauh lebih singkat dibandingkan
35 hari via laut. Jalur pipa gas hingga pesisir Pakistan melepaskan
ketergantungan Negeri Tirai Bambu itu terhadap Selat Malaka jika terjadi
eskalasi di Laut China Selatan.
Rusia menguasai pasokan
gas ke Eropa. Orang juga belum lupa dengan warisan nuklir yang kini ada di
genggaman Presiden Vladimir Putin. Itulah mengapa sanksi Amerika dan Uni
Eropa terhadap Rusia atas kasus Ukraina tidak efektif.
Amerika tidak lagi mampu
memobilisasi Eropa. Apalagi, kompetisi antara kaum nasionalis konservatif dan
globalis liberal menajam dan akan mengubah konfigurasi ideologis kepemimpinan
negara di kedua tempat itu.
Konstelasi politik kawasan
Arab menjadi faktor ketiga. Turki dan Iran menggantikan sekutu Israel, yaitu
Arab Saudi dan Mesir, sebagai pemain utama. Sebelum deklarasi Trump,
negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab,
serta Mesir telah dikondisikan untuk menerima.
Dalam situasi transisi
kekuasaan di Saudi, Muhammad bin Salman bertindak pragmatis untuk mendapat
dukungan Trump meraih mahkota kerajaan. Media memberitakan perjalanan rahasia
penasihat sekaligus menantu Trump, Jared Kushner, ke negeri itu pada akhir
Oktober. Semua drama "Game of Thrones" yang sekarang terjadi di
Arab Saudi adalah bagian dari deal itu.
Pengondisian ini sia-sia
karena segitiga Turki, Iran, dan Rusia menutup ruang gerak Amerika. Apalagi
saat ini, semangat perlawanan rakyat Palestina jauh lebih kuat dari semangat
bertahan kaum Yahudi. Sejak intifada meletus pada 1987, pamor kedigdayaan
tentara Israel yang pernah mengalahkan tentara gabungan Aran pada 1948 seolah
meredup. Belakangan ini, semakin banyak orang Yahudi yang hengkang dari
Israel dan kembali ke negara asalnya.
Akhir mimpi
Trump dan pendukung
berdirinya negara Israel berhadapan dengan dunia yang sama sekali baru.
Rentang satu abad sejak Deklarasi Balfour 1917, yang semula direncanakan
menjadi perayaan berubah menjadi kehinaan. Ancaman Amerika bantuan keuangan
Amerika pun tak digubris. Hasil voting PBB menunjukkan betapa Paman Sam
tengah kehilangan legitimasi sebagai superpower. Bisa jadi, inilah akhir
mimpi kaum zionis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar