Populisme
Islam (1)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
28 Desember
2017
Dalam beberapa tahun
terakhir, istilah “populisme Islam” mulai menjadi wacana akademis di kalangan
para ahli. Istilah itu digunakan untuk melihat fenomena politik Islam sejak
terjadinya sejumlah aksi massa kalangan Muslim Indonesia pada akhir 2016 dan
awal 2017 terkait dengan Pilkada DKI Jakarta.
Penulis “Resonansi” ini
sering mendapatkan pertanyaan tentang populisme Islam Indonesia, baik dari
audiens dalam negeri maupun luar negeri. Pertanyaan itu sering mengandung
nada bahwa populisme Islam tidak hanya akan menguasai politik, tetapi juga
arsitektur Islam Indonesia.
Wacana dan persepsi mereka
tentang populisme Islam terkait dengan keberhasilan mereka mengalahkan
pasangan cagub-cawagub Ahok-Djarot dari cagub-cawagub Anies-Sandi. Bagi
mereka, kemenangan Anies-Sandi merupakan kemenangan populisme Islam yang
tengah bangkit dan dapat terus menemukan momentumnya dalam pilkada 2018 dan
selanjutnya pileg dan pilpres 2019.
Lebih jauh, kebangkitan
populisme Islam terkait dengan sejumlah aksi massa kalangan Muslim Indonesia.
Untuk itu, perlu diingat kembali, gelombang aksi yang juga disebut “Aksi Bela
Islam”, bermula dengan aksi 14 Oktober 2016 (1410), 28 Oktober 2016 (2810), 4
November 2016 (411), 2 Desember 2016 (212), 11 Februari 2017 (112), 21
Februari 2107 (212 jilid 2), 31 Maret 2017 (313), dan aksi 5 Mei 2017 (Aksi
55).
Aksi-aksi massa tersebut
jelas dipicu pernyataan cagub yang sekaligus pejawat Gubernur DKI Jakarta
Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dalam kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu
(27/9/2016). Pada waktu itu, Ahok di depan warga mengutip surah al-Maidah
ayat 51; ia pada intinya menyatakan agar para pemilih tidak “dibohongi”
dengan menggunakan ayat tersebut untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan
Nasrani—tentu saja termasuk ia sendiri.
Pernyataan Ahok segera
menimbulkan kontroversi begitu videonya yang sudah diedit diunggah Buni Yani
ke Youtube. Di kalangan Muslim terjadi perbedaan persepsi: sebagian
menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama, sebagian lagi menilai Ahok
tidak menodai Islam.
Kontroversi menjadi
berganda dengan terbitnya pendapat dan sikap MUI Pusat (11/10/2016) yang
mencakup lima poin. Pada intinya MUI menegaskan, kaum Muslim wajib memilih
pemimpin Muslim sesuai surah al-Maidah ayat 51. Juga ditegaskan, pernyataan
Ahok yang menyebutkan larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan
Nasrani sebagai kebohongan adalah haram dan termasuk ke dalam tindakan
penodaan Alquran. Akhirnya, menyatakan ulama yang menyampaikan surat
al-Maidah 51 sebagai bohong adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.
Kegandaan kontroversi yang
mendorong kian meningkatnya eskalasi religio-politik terkait dengan kenyataan
bahwa sikap MUI ini kemudian dianggap sebagai fatwa MUI Pusat. Hal ini
terlihat dengan munculnya Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI di bawah
pimpinan Bachtiar Nasir.
Ketua Umum MUI KH Ma’ruf
Amin pernah menyatakan, GNPF tidak memiliki kaitan dengan MUI. Tetapi, GNPF
kian menemukan momentum ketika pimpinan FPI Rizieq Shihab beserta sejumlah
aktivis dengan kecenderungan paham praksis keislaman yang sama bergabung.
Penting dicatat, ormas
arus utama Islam Indonesia, khususnya NU dan Muhammadiyah, terlihat kagok
menyikapi semua perkembangan ini. Banyak kalangan pimpinan NU menolak
politisasi kasus Ahok, sedangkan elite Muhammadiyah lebih kentara bersikap
ambigu.
Di tengah kontroversi dan
polarisasi seperti itu, aksi 212 berlangsung dengan dihadiri sangat banyak
massa. Kenyataan membanjirnya massa memadati kawasan Monas dan berbagai jalan
di sekitarnya menjadi subjek perdebatan pula. Apakah mereka secara genuine
merepresentasikan kebangkitan populisme Islam?
Terlepas dari lapisan
massa berbeda yang ikut dalam aksi besar itu, pimpinan aksi dan para
pendukungnya melihat aksi 212 sebagai pertanda kebangkitan populisme Islam.
Aksi 212 khususnya menimbulkan euforia tentang kesatuan dan kebangkitan Islam
Indonesia, baik secara keagamaan, politik, maupun ekonomi.
Gejala itu dapat terlihat
dari pernyataan yang digaungkan, yang sederhananya: “Jika Donald Trump bisa
menang dengan populismenya, mengapa umat Islam Indonesia tidak?” Anggapan dan
pernyataan ini secara implisit mengandung makna aksi-aksi massa yang umumnya
damai itu mengandung agenda politik tertentu.
Pertanyaannya kemudian
adalah: apakah secara historis ada populisme Islam itu? Jika ada, apakah
realitas sosiologis-politis masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia
memungkinkan kebangkitan hegemoni politik populisme Islam? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar