Minggu, 07 Januari 2018

Tantangan Jadi Negara Maju

Tantangan Jadi Negara Maju
Fahruddin Salim  ;  Dosen Program Magister Manajemen Universitas Pancasila
                                            KORAN JAKARTA, 21 Desember 2017



                                                           
Abad ini diyakini menjadi era kebangkitan ekonomi Asia. Ini dimotori Tiongkok dan India. Asia akan menjadi pusat perhatian dunia. Jika abad ke-19 menjadi kebangkitan ekonomi Eropa, abad ke-20 milik Amerika Serikat, kini di abad ke-21 akan menjadi milik Asia. Faktor utama kebangkitan ekonomi Asia didorong industrialisasi, arus urbanisasi dan perdagangan dunia yang tumbuh pesat.

Tiongkok dan India paling banyak memanfaatkan potensi ini dan menjadi lokomotif dalam industrialisasi. Urbanisasi kerap dipandang negatif karena menimbulkan masalah sosial. Namun jika dapat dikelola dengan baik justru mendorong laju pertumbuhan ekonomi kota berkesinambungan. Urbanisasi dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kedua negara tadi, menurut Goldman Sachs, diperkirakan menjadi terbesar nomor satu dan tiga dunia pada 2050 dan menjadi rival G-7.

Sementara itu, menurut laporan Standard Chartered dalam The Super Cycle Report (2010), Tiongkok akan menjadi superpower ekonomi pada 2020, negara ekonomi terbesar dunia. Sedangkan India menjadi kekuatan ekonomi nomor 3 dunia pada 2030, menggeser Jepang dan Jerman.

Optimisme tersebut telah menumbuhkan percaya diri bangsa Asia lainnya, khususnya emerging economy untuk bangkit. Semua ingin menjadi bagian dari kebangkitan Asia, termasuk Indonesia. Survei McKinsey Global Institute (2012) menyebutkan, Indonesia berpotensi menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-7 dunia pada 2030. Komite Ekonomi Indonesia (KEN) pada era SBY, juga memperkirakan Indonesia masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030.

Menurut McKinsey Global Institute (2012), ada beberapa faktor yang mendorong Indonesia menjadi negara industri maju. Di antaranya, tingkat pertumbuhan ekonomi dinilai paling stabil. Sekitar 90 persen pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari wilayah di luar Jawa. Jadi, pertumbuhan ekonomi ini bukan hanya di Jawa atau Jakarta.

Sekitar 11 persen ekspor komoditas berasal dari nonmigas. Pemakaian sumber daya sudah berkurang hingga 7 persen. Ada 60 persen pertumbuhan ekonomi ditopang peningkatan produktivitas. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari pertumbuhan angkatan kerja, tetapi juga produktivitas.

Jika proyeksi McKinsey Global Institute (2012) menjadi kenyataan, Indonesia hanya memerlukan waktu 85 tahun untuk bisa menjadi negara maju. Inggris memerlukan waktu 250 tahun. Sementara itu, Tiongkok hanya perlu 12 tahun untuk melipatgandakan PDB-nya menjadi negara industri maju.

Landasan

Indonesia selama ini berada di kelompok negara kelas menengah. Untuk bisa beralih ke maju, tidak hanya didorong optimism. Indonesia perlu landasan kokoh. Selama ini, kemajuan masih bertumpu pada sesuatu yang menjadi kekhususan (endowment factor). Ini tidak dimiliki negara lain. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang merupakan input produksi dalam penciptaan nilai tambah. Letak geografisnya juga di jantung perdagangan Asia Pasifik, sehingga memiliki peluang memanfaatkan rantai produksi global.

Namun dalam jangka panjang, SDA akan menyusut karena tidak dapat diperbarui. Indonesia harus memiliki daya saing berkelanjutan untuk menopang kemajuan ekonominya. Untuk bisa beralih menjadi negara maju, Indonesia harus membangun infrastruktur dan meningkatkan kualitas SDM sehingga mampu meningkatkan daya saing.

Selain bertumpu pada faktor SDA, pertumbuhan juga ditopang konsumsi domestik yang besar. Di negara maju, kontribusi ekspor dan investasi sangat penting seperti Malaysia, Singapura, Tiongkok, atau Jepang. Meski perekonomian bangsa akan terus tumbuh ditopang konsumsi domestik, produktivitas juga harus meningkat. Produktivitas bisa melalui peningkatan kualitas SDM. Sedang industrialisasi bersinergi dengan SDA dan tenaga kerja. Sayangnya, industrialisasi cenderung berjalan di tempat. Misalnya, industri manufaktur (pengolahan) yang dianggap menjadi sektor unggulan untuk mendorong daya saing nasional masih belum optimal, bahkan cenderung growth recession dan kontribusinya tidak naik.

Pertumbuhan konsumsi domestik juga harus mempertimbangkan aspek kesenjangan dan pemerataan. Selama ini, ada indikasi pertumbuhan kelas menengah cukup pesat, namun pada sisi lain masih ada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Menurut McKinsey Global Institute, tahun 2030 pertumbuhan kelas konsumen Indonesia diperkirakan mencapai 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini berpendapatan 3.600 dollar AS per kapita per tahun.

Kesuksesan menjadi negara industri maju sangat tergantung pada kemampuan bangsa mengeliminasi berbagai hambatan dan sekaligus meningkatkan daya saing. Negara harus menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru dengan human capital, teknologi, dan peningkatan jumlah pengusaha (wirausahawan). Pemerintah juga harus meningkatkan peran sektor fiskal, keuangan, dan iklim bisnis yang mampu mendorong pertumbuhan dunia usaha. Tantangan dunia usaha akan makin berat jika dukungan sektor keuangan dan perbankan tidak efisien.

Sementara itu, dunia usaha hingga kini masih dicengkeram berbagai masalah strategis yang menghambat daya saing. Aturan bisnis masih seringkali berubah. Bahkan banyak regulasi daerah dan nasional justru menghambat kemajuan dunia usaha. Ketertiban hukum dan keamanan bisnis juga belum terjamin. Pungli masih terjadi di mana-mana.

Kestabilan ekonomi juga rentan dipengaruhi ekonomi global seperti tampak dari kondisi perekonomian terdampak pengaruh global. Rendahnya kemampuan membangun infrastruktur ikut melemahkan daya saing bisnis. Dampaknya investasi asing banyak didominasi dalam sektor SDA. Sementara itu, investasi asing sektor manufaktur hanya membidik pasar domestik, bukan berorientasi ekspor.

Rendahnya dukungan perbankan terhadap kemajuan sektor usaha kecil dan menengah menyebabkan struktur industri lemah dalam mendukung daya saing. Sedang dunia industri dihadapkan pada rendahnya tenaga kerja terlatih. Ini sudah sering dikeluhkan dunia industri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar