Minggu, 07 Januari 2018

Para Profesor dalam Kasus Korupsi

Para Profesor dalam Kasus Korupsi
Endang Suryadinata  ;  Lulusan Erasmus Universiteit Rotterdam
                                            KORAN JAKARTA, 15 Desember 2017



                                                           
Kasus korupsi e-KTP diduga merugikan negara 2,3 triliun rupiah. Kasus ini melibatkan banyak pihak, termasuk mantan Ketua DPR, Novanto. Menunggu sidang perdana perkara korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa ini, Rabu (13/11), ibarat “menunggu Godot”. Ini judul naskah drama karangan Samuel Beckett yang meraih Nobel pada 1969. Publik menunggu sambil berharap-harap cemas. Akhirnya setelah drama tujuh jam, pada pukul 17.13, Hakim Yanto membacakan dakwaan.

Dakwaannya memperkaya diri sebanyak 7,3 juta dollar AS dari proyek e-KTP. Dengan dibacakan dakwaan, otomatis praperadilan yang diajukan gugur. Lagi-lagi, ke depan, masyarakat masih akan “menunggu Godot” terkait proses persidangan selanjutnya. Jika drama karya Beckett merupakan refleksi pertanyaan akhir persidangan, rakyat juga bertanya akhir persidangan ini. Akankah terdakwa dinyatakan bersalah atau bebas.

Persidangan memang sangat krusial bagi perjalanan bangsa ini ke depan baik dari sisi politik, moral, maupun hukum. Kemudian secara lebih spesifik terkait masa depan pemberantasan korupsi Tanah Air.

Dalam hitungan KPK, kasus e-KTP diperkirakan merugikan negara 2,3 triliun rupiah. Ini jelas merupakan bukti nyata kejahatan penyelenggara negara yang sangat serius. Telah terjadi perampokan uang negara yang dilakukan secara terencana dan sistematis. Selain itu, ada kolaborasi eksekutif dan legislatif yang ditopang jaringan pebisnis sebagai klien para oknum politisi dan pejabat.

Dari para terdakwa kasus e-KTP lain yang sudah diadili, terlihat jelas bahwa kejahatan korupsi luar biasa ini dimulai dari kesepakatan elite yang hanya melibatkan segelintir pejabat parpol, boleh disebut sebagai mastermind kejahatan. Ini kemudian didiktekan atau dikoordinasikan dengan pengambil kebijakan terkait di Kemendagri. Selanjutnya dijadikan agenda bersama antara pemerintah dan DPR (Korupsi Politik dalam Kasus e-KTP, Laode Ida, 2017:18-3).

Tentu sangatlah jahat segelintir elite politik bisa merampok uang negara dengan cara-cara yang dibuat seakan konstitusional dan tanpa cacat hukum. KPK tidak mudah membawa terdakwa ini ke persidangan. Kita menyaksikan hukum seperti menjadi “kuda tunggangan” dalam drama memuakkan bagi orang yang masih punya nurani dan akal sehat.

Kita ingat, hakim sidang praperadilan Cepi Iskandar pernah memutuskan status tersangka tidak sah dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2017). Selain itu, hakim Cepi juga memutuskan, KPK menghentikan penyidikannya.

Rakyat Terlukai

Anehnya, ketika status tersangka Setnov dinyakan tidak sah oleh hakim Cepi, tampak orang-orang besar pendukungnya mulai dari politisi hingga guru besar bergembira-ria. Sementara itu, rakyat yang hanya wong cilik, namun perhatian pada kasus korupsi di Tanah Air sungguh merasa terlukai. Sebab kebenaran yang sejati dikalahkan formalisme hukum yang sebenarnya juga sudah dikorupsi.

Korupsi berasal dari kata kerja corrumpere (Bahasa Latin) yang berarti membusukkan. Demikian pula telah terjadi pembusukan di segenap lini kehidupan. Nilai-nilai moral jungkir balik. Jadinya, para penjahat dipuja. Yang benar malah dimasukkan penjara sebagaimana menimpa Ahok. Namun kita tidak habis pikir, beberapa guru besar (profesor) mati-matian mendukung terdakwa atau para penguasa dan pengusaha yang korup.

Boleh jadi para guru besar melihat ada “sisi baik” atau manfaat dari korupsi. Memang ada pemikir sekaligus peneliti yang melihat korupsi dari sisi berbeda. Singkatnya, ada yang menemukan ”sisi baik” dari praktik korupsi. Menurut Sun Yan, ahli politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, korupsi ternyata membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.

Britta Hilstrom dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (Sept 1997) menulis, ”Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini.”

Karena dirasa ada manfaatnya itulah, pendapat Sun Yan lalu dijadikan pembenar, termasuk mungkin oleh para profesor yang mendukung Setnov. Bahkan boleh jadi gara-gara pemikiran Sun Yan, hingga 2014 saja, sekitar 10 guru besar dan 200 doktor terjerat korupsi.

Memikirkan guru besar yang mendukung koruptor atau bahkan terjerat korupsi tersebut, perlu diketengahkan kisah Doktor Faust, karya Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), yang menjual jiwanya ke setan demi kejayaan dan ilmu pengetahuan. Guru besar seharusnya punya integritas (satunya kata dengan perbuatan). Namun, jika setan atau uang sudah menggoda, karakter, integritas, intelektualitas atau akal sehat bisa dibuang ke tong sampah.

Meski demikian, kita bersyukur masih banyak guru besar yang antikorupsi. Sebanyak 153 profesor dan guru besar menyatakan dukungan kepada KPK untuk menghadapi hak angket. Mereka menggulirkan dukungan tersebut di Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin petang, 19 Juni 2017.

Mereka juga menyatakan penolakan terhadap usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lewat revisi ini, KPK hendak dilemahkan, kalau perlu dibubarkan. Padahal KPK adalah tulang punggung pemberantasan korupsi.

Maka, KPK justru perlu diberi wewenang untuk melakukan Operasi Tangan Besi seperti di Italia, bukan hanya OTT (Operasai Tangkap Tangan) seperti sekarang. Operasi yang dikomandani hakim Antonio Di Pietro dan mulai dilakukan sejak 1992, hingga kini disebut-sebut sebagai pemberantas korupsi terbesar di Eropa.

Operasi itu tidak mengenal istilah tebang pilih. Banyak pejabat tinggi diseret ke pengadilan Mantan Perdana Menteri Giulio Andreotti yang sudah tujuh kali berkuasa pun diadili. Perdana Menteri Guiliano Amato pun mengundurkan diri pada Maret 1993.

Banyak sosok yang dianggap sebagai tokoh kunci korupsi lalu bunuh diri. Raul Gardini, pengusaha terkemuka Italia pada dekade 1980, bunuh diri karena malu. Ini kasus bunuh diri ke-12 sejak Operasi Tangan Besi dilancarkan. Para politisi busuk Italia yang dijuluki maling juga banyak dipenjarakan (The Sunday Times, July, 1993).

Dengan kata lain, sekarang justru harus ada penguatan terhadap KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan lewat operasi pencegahan atau pemberantasan korupsi yang lebih dahsyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar