Perundungan Elite di Media Sosial
Antony Lee ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 04 April
2016
Presiden
keenam RI yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluh atas perundungan atau bully terhadap partainya yang sebagian terjadi
di media sosial. Keluhan atas perundungan ini menjadi bahan refleksi menarik
untuk melihat kedewasaan netizen atau pengguna internet dalam menyampaikan
pesan sekaligus kebesaran hati elite politik menerima kritik.
Sebagai
alat, media sosial sangat tergantung pada penggunanya. Di sini kematangan
pengguna media sosial jadi penting karena perubahan zaman dan alat
berkomunikasi juga perlu diikuti dengan perubahan perilaku penggunanya.
Di
masa sistem pemerintahan negara kota semacam Romawi atau Yunani kuno,
politisi tinggal berbicara di forum-forum untuk menyampaikan pesan kepada
publik. Namun, politisi juga perlu punya keahlian khusus. Cicero (106-43 SM),
politisi, orator, sekaligus filsuf Romawi, harus berlatih orasi sebelum
berkecimpung ke politik karena di masa itu keahlian orasi menjadi kunci
menggaet konstituen.
Di
era setelah penemuan mesin cetak, lalu perkembangan media elektronik,
komunikasi antara politisi dan konstituennya berlangsung melalui perantara
media. Sifat komunikasinya hampir serupa dengan masa-masa negara kota. Namun,
bukan hanya komunikasi searah satu orang ke masyarakat, melainkan terkadang
komunikasi bisa berjalan dua arah melalui filter organisasi dan ideologi
media.
Di
era internet, komunikasi bisa berlangsung multiarah. Seorang konstituen yang
senang dengan program kerja politisi bisa langsung memuji-muji tokoh idolanya
lewat Twitter atau Facebook. Begitu pula dengan masyarakat yang tak suka
dengan pernyataan politisi, bisa langsung memarahi politisi tersebut.
Sistem
komunikasi multiarah ini di satu sisi bisa menjadi positif apabila dijadikan
sarana mengatasi defisit demokrasi. Media sosial bisa digunakan warga
menyampaikan unek-unek, kritik, dan saran dalam pengambilan kebijakan publik.
Namun, jika media sosial digunakan sebagai alat merundung politisi, tentu
akan jadi berbeda ceritanya.
Perdebatan
soal perundungan siber ini juga terjadi di ruang publik di negara-negara yang
demokrasinya lebih matang daripada Indonesia, seperti Amerika Serikat dan
Inggris. Media cetak di kedua negara itu juga membahas baik-buruknya politisi
di-bully. Dalam konteks kampanye pemilihan presiden AS 2012 silam, Time
menurunkan tulisan "The Problem
with Political Cyberbullying". Pesannya, jika remaja tak boleh
dirundung karena bisa membahayakan pertumbuhan mental ataupun keselamatan
mereka, apakah politisi boleh di-bully?
Perundungan atau
kritik?
Soal
keluhan perundungan dari Yudhoyono, hal itu tampaknya tak terlepas dari
keriuhan "Tour de Java" versus "Tour de Hambalang" di
media sosial beberapa pekan lalu. Saat itu, kerja politik Yudhoyono lewat
lawatan ke sejumlah daerah di Pulau Jawa dan kritik yang dilontarkannya
terhadap pemerintahan Joko Widodo ditanggapi sinis sebagian netizen. Hal ini
terutama muncul setelah Presiden Jokowi menyambangi Hambalang, proyek
berbiaya mahal masa Yudhoyono yang mangkrak karena kasus korupsi yang
sebagian melibatkan elite politik Partai Demokrat.
Pengajar
budaya siber di Departemen Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Rendy
Pahrun Wadipalapa, tak sepenuhnya sependapat dengan keluhan Yudhoyono.
Menurut dia, elite politik juga harus mampu membedakan kritik dan
perundungan. Rendy mengatakan, perundungan itu terjadi berulang-ulang dan
menyerang martabat. Jika yang diserang argumentasi, hal itu bukan perundungan.
Tidak tepat pula jika semua jenis kritik kemudian diberi label
"perundungan" oleh elite politik.
"Publik
sekarang kritis dan sensitif. Publik menjadi himpunan kelas menengah yang
'cerewet' dan sadar akan haknya. Rekam jejak elite politik mudah dilacak di internet,"
katanya.
Peneliti
politik kelas menengah, masyarakat sipil, dan gerakan politik pada Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati, berpendapat, kritik netizen
kepada Yudhoyono dan Partai Demokrat merupakan tanggapan balik publik atas
upaya pencitraan politik politisi. Dia menilai, kritik netizen menjadi
indikator gejala antusiasme publik karena kanal informasi meluas dengan
adanya media sosial dan representasi politik mereka jadi lebih punya gaung.
Namun,
ia juga mencatat, netizen juga harus punya kontrol diri yang baik sebelum
melontarkan kritik. Dengan begitu, elite politik tak boleh anti terhadap
kritik netizen di media sosial, tetapi di sisi lain, netizen juga harus mampu
memformulasikan kritik tanpa menyerang martabat seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar