G30S dan Permintaan Maaf
Franz
Magnis-Suseno SJ, Rohaniwan;
Guru
Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret
2012
Ada berita mengejutkan: Presiden, katanya,
mau mengajukan permintaan maaf kepada para korban segala pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka.
Rencana Presiden ini menuntut sikap kita
juga. Kalau di sini saya membatasi diri pada pelanggaran-pelanggaran
pasca-Gerakan 30 September (G30S), itu bukan untuk meremehkan
pelanggaran-pelanggaran lain. Namun, semata-mata karena raksasanya jumlah orang
yang menjadi korban, kompleksitasnya latar belakangnya, beban ketersentuhan
emosional, dan kepekaan yang sampai hari ini masih tersisa dalam masyarakat.
Menghindar dari Simplifikasi
Dari luar negeri, kasus pelanggaran kelihatan
jelas. Penumpasan sebuah kudeta kok bermuara pada pembunuhan massal terhadap
apa saja yang berbau komunis, disusul kebijakan resmi negara yang menghancurkan
eksistensi serta menstigmatisasi sebagai manusia terkutuk jutaan masyarakat
yang sedikit pun tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih
dari 10 tahun. Tak dapat diragukan, kejadian-kejadian itu termasuk salah satu
kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20.
Akan tetapi, masalahnya tak sesederhana itu.
Kita bisa bertanya: mengapa 46 tahun sesudah peristiwa itu emosi-emosi
anti-”PKI” masih begitu kuat; mengapa pengakuan mereka yang pernah ditahan,
disiksa, dan dikucilkan merupakan korban begitu sulit? Apakah hanya karena
indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film Pengkhianatan G30S/PKI)?
Sejak 1964, saya studi teologi di Yogyakarta.
Waktu itu saya semakin khawatir jangan-jangan Indonesia diambil alih oleh kaum
komunis. Kesan saya, masyarakat bukan komunis buta terhadap bahaya itu. Namun,
tsunami anti-PKI sesudah G30S menunjukkan bahwa saya keliru. Ternyata PKI
dibenci dan ditakuti, tetapi orang tak berani mengungkapkannya karena takut
dicap anti-Nasakom, ”komunisto-fobi”, atau—lebih gawat—”antek Nekolim”.
Kita ingat: 1995, Pramoedya Ananta Toer—yang
selama 13 tahun ditahan, salah seorang sastrawan Indonesia paling diakui secara
internasional—mendapat hadiah Magsaysay. Namun, Mochtar Lubis dan sejumlah
sastrawan lain protes keras. Bukan karena mau balas dendam, melainkan karena di
tahun-tahun sebelum G30S Pramoedya menjadi penghasut yang menyerukan
”pengganyangan” terhadap ”kebudayaan Manikebu, komprador, imperialis, dan kontrarevolusi”,
”kebudayaan setan yang seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi
Indonesia”.
Pramoedya hanya salah satu. Pada tahun-tahun
itu semua yang tak tunduk terhadap kebijakan Soekarno yang pro- PKI dihantam
dan diancam. PKI menyerukan pengganyangan ”tujuh setan desa” dan ”tiga setan
kota”, para lawan politiknya dicap ”Masyumi”. Masyumi sendiri yang pada 1960
dilarang Presiden Soekarno difitnah sebagai musuh revolusi. CGMI menyerukan
pembubaran HMI. Suasana penuh kebencian, intimidasi, dan fitnah terhadap segala
apa yang anti-PKI itulah yang meledak sesudah G30S.
Sekarang sudah hampir pasti (baca buku John
Roosa) bahwa G30S memang dirancang oleh Aidit dan bukan sekadar gerakan
beberapa opsir kiri Angkatan Darat (versi PKI dan Cornell Paper tulisan kondang
McVey/Anderson). Betul, ”kebijakan” Aidit ini tidak disahkan oleh Politbiro
PKI. Kebijakan politik komunis umumnya memang tak ditentukan dalam politbiro,
tetapi langsung oleh pimpinan/sekretaris jenderal partai. Bukankah selama
September 1965 orang-orang PKI bicara tentang ”revolusi yang hamil tua”?
Bukankah kader Pemuda Rakyat disuruh siap-siap?
Yogyakarta pada 1 Oktober 1965 diambil alih
oleh Dewan Revolusi. Kami waktu itu belum tahu bahwa pengambilalihan itu
terjadi dengan membunuh Komandan Korem Kolonel Katamso dan anggota stafnya,
Letkol Sugiono. Pada 4 Oktober, kami mendengar, mereka yang diculik ternyata
langsung dibunuh (suatu brutalitas yang sulit dimengerti: masak sandera dibunuh
sebelum coba diadakan perundingan). Saya langsung teringat kebrutalan komunis
di sekian negara di dunia. Kesan saya, orang-orang di Yogyakarta diliputi rasa
waswas, seakan-akan tahu ada darah mengalir dan akan ada darah mengalir lagi.
Mereka masih ingat peristiwa Madiun, 17 tahun sebelumnya, saat PKI membunuh
sekitar 4.000 orang non-kombatan.
Akhir Oktober 1965, saya membaca di koran
bahwa di Banyuwangi ditemukan sumur berisi 80 mayat santri. Di Yogya, RPKAD
sudah sejak 20 Oktober melakukan pembersihan terhadap ”PKI”, didukung
masyarakat yang antikomunis. Banyak tokoh komunis dieksekusi. Di Jawa Timur,
dan sejak Desember juga di Bali dan tempat lain, para pemuda mulai membunuhi
orang-orang PKI. Pembunuhan itu berlangsung sampai Februari 1966. Taksiran
jumlah terbunuh setengah juta dianggap realistis.
Mengerikan? Betul! Namun, sindiran Roosa
bahwa pembunuhan itu policy terencana Soeharto saya anggap naif.
Pembunuhan-pembunuhan itu—di mana militer memang sangat terlibat—merupakan
akibat segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya yang
menciptakan situasi yang oleh Mohammad Roem disebut ”mereka atau kami”.
Hal yang sepenuhnya jadi tanggung jawab
Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966. Suatu kebijakan
yang sama sekali tak perlu karena PKI sebagai kekuatan politik sudah hancur,
sedangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya mengusahakan
rekonsiliasi. Dasar kebijakan yang diambil justru sebaliknya: menciptakan rasa
benci dan dendam gelap, yaitu penghancuran kehidupan serta stigmatisasi
”orang-orang terlibat/tak bersih lingkungan” itu sebagai warga-bangsa yang
jahat.
Sudah Tiba Waktunya
Sekarang, 46 tahun kemudian, sudah tiba
waktunya kita berani menghadapi kenyataan dan mengambil sikap yang bermartabat.
Betul bahwa latar itu membuat kita mengerti mengapa sampai terjadi sesuatu yang
sedemikian mengerikan. Kompleksitas itu membungkamkan stigmatisasi bangsa
Indonesia pasca-1965 sebagai bangsa pembunuh oleh luar negeri.
Namun, memahami latar belakang tak berarti
membenarkan apa yang terjadi. Kita harus berani menyebut jahat apa yang jahat.
Secara sederhana: Betapa pun suasana politik waktu itu dipenuhi permusuhan dan
saling mengancam karena mengganasnya wacana PKI, tetapi meluasnya reaksi
anti-G30S menjadi pembunuhan liar besar-besaran—apalagi rancangan pemerintahan
Soeharto—tidak dapat dibenarkan. Kita perlu mengakui hal itu.
Oleh karena itu, kalau Presiden mau minta
maaf atas segala pelanggaran hak-hak asasi manusia pada masa lampau, termasuk
atas pelanggaran hak-hak asasi dalam tsunami antikomunis pasca-G30S, mari kita
dukung!
Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari
sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang
hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa
baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa
yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban.
Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga. ●
Di desa-desa terdapat 7 setan, yaitu:
BalasHapus(1) setan tuan tanah yang menolak melaksanakan ketentuan-ketentuan UUPA dan UUBH;
(2) setan pejabat/penguasa yang membela kepentingan setan tuan tanah;
(3) setan tengkulak yang memeras petani;
(4) kapitalis birokrat/kabir yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan cara mengeksploitasi petani;
(5) bandit desa yang menjadi antek dan kaki tangan tuan tanah;
(6) tukan ijon/ money lenders;
(7) lintah darat-renternir yang menjerat kaum tani dalam hutang sepanjang hidupnya.
Di kota-kota ada 3 setan kota, sipil dan militer yaitu: (1) kaum kapitalis birokrat;
(2) para penggelap-penipu;
(3) pejabat korup.
coba youtube 'shadow play offstream.tv'