Paras
Perempuan Surabaya
Senja
Aprela Agustin, PENGAJAR
PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER
SURABAYA
SUMBER : MEDIA INDONESIA,
24 Maret 2012
SELAMA
ini Surabaya dimitoskan sebagai kota panas menyengat sehingga turut membiakkan
makna bahwa penghuninya berwatak keras dan kasar. Namun, tak selamanya makna
tersebut bertahan. Saat ini yang terbit justru makna Surabaya kota yang teduh
dan lembut. Semua itu tergambarkan lewat serangkaian kehadiran tamantaman di
beberapa sudut kota, jalur hijau yang makin banyak, dan trotoar berlantai
bersih yang dinaungi pepohonan berbunga. Taman-taman kota tersebut dimanfaatkan
dengan baik oleh warganya sebagai ruang publik yang ramai dikunjungi siang dan
malam. Ruang publik yang mampu menggerakkan tindakan setiap individu untuk
berkumpul, bersantai, melepas penat, sekadar memadu kasih, berolah raga, hingga
urusan membahagiakan anak-anak bermain riang dengan biaya minim. Seperti pasar,
mereka bersinggungan, riuh, tetapi tetap harmonis berinteraksi.
Begitu
pula dengan pemandangan di muka gang kecil kampung-kampung yang berada di
sepanjang jalan utama kota yang menjadi lebih rimbun dan cantik berkat
menjulangnya pohon-pohon yang berbunga warna-warni menyegarkan panorama indah
saat berkendara. Bila beberapa dari kita tinggal di dalam kampung-kampung yang
berada di tengah kota, akan terasa pula perubahan pemandangan hijau segar dan
teduh tersebut. Keberadaan taman-taman kota dan tanaman berbunga di ruas-ruas
jalan mampu mengembalikan ruang publik yang telah lama hilang. Mitos kota panas
dan keras yang telah lama bertengger di benak penduduk asli dan dari luar Kota
Surabaya bergeser karena warga menciptakan makna baru sebagai kota yang ‘hijau’
meskipun udara dan sengatan panas matahari itu tentu saja tak kan lenyap begitu
saja.
Dalam
semiotika, ilmu yang mempelajari tentang tanda, makna bagian yang tak tampak
pun bisa ditelusuri. Mengacu ke level penandaan tingkat pertama, yakni makna
denotasi, ruang-ruang hijau tersebut hanyalah bermakna literal tata letak
beragam tanaman dan pepohonan yang berbunga. Namun, pada level penandaan kedua
yang disebut konotasi, sebuah makna dapat diperoleh dengan cara menghubungkannya
dengan perasaan abstrak atau keyakinan (konvensi) tertentu. Misalnya, bunga
dimaknai sebagai bentuk ungkapan cinta, atau amplop yang dimaknai sebagai
bentuk suap. Kali ini, bagi saya Surabaya menjadi kota ‘feminin’. Tanda feminin
yang diidentikkan dengan kelembutan tangan perempuan yang menumbuhkannya.
Kuasa Perempuan Pemimpin
Perempuan
kerap diasosiasikan dengan kelembutan, memelihara, merawat, halus, dan harmoni.
Melalui kelembutannya, perempuan `berkuasa'. Perempuan memahami bagaimana seharusnya
tempat tinggal yang dapat menya mankan penghuninya dan membuat betah para
tamunya. Seperti kasih ibu yang dengan sabar mengajarkan anggota keluarganya
untuk mencintai rumahnya kembali. Urusan domestik yang selama ini dilekatkan
pada perempuan justru hadir di ruang publik. Perempuan dianggap wajar apabila
pandai mengurus rumah tangga dan lelaki wajar apabila bekerja di luar rumah. Hal
itu merupakan bentuk peran gender. Istilah gender yang menurut Ivan Illich
(2007) adalah pembedaan-pembedaan berdasarkan tempat, waktu, alat-alat,
tugas-tugas, bentukbentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi, yang dihubungkan
dengan lelaki dan yang dihubungkan dengan perempuan dalam kebudayaan. Gender
menyiratkan keterkaitan saling melengkapi dalam pasangan oposisi ganda seperti
lelaki-perempuan, publik-domestik, fungsi-dekoratif, dan keras-lembut. Itu
nilai-nilai yang sesungguhnya bukan bawaan biologis, melainkan sebuah
konstruksi sosial yang dialamiahkan.
Saat
ini peran gender itu sepertinya bertumpang tindih. Pekerjaan domestik mengurus
keindahan rumah justru muncul di ruang publik kota. Tangan perempuan membantu
mempercantik paras kota. Kota Surabaya akhirnya mempunyai wajah feminin. Mitos
yang sebelumnya tampak alamiah, bahwa Surabaya merupakan kota panas menyengat
serta kota bisnis yang sarat dengan persaingan keras sebagai karakter sifat
maskulin, lambat laun mulai berubah. Gagasan lain justru sedang diproduksi,
yaitu Surabaya yang feminin.
Keindahan
cara mendesain ruang hijau memunculkan kembali identitas perempuan sebagai
‘pemegang pemerintahan’. Seperti kejayaan sistem pemerintahan matriakal masa
purba atau yang masih ditemui dalam budaya Minangkabau. “Di mana ada suatu
masa, perempuanlah yang memimpin dan menggerakkan sistem perekonomian
pertanian. Jika dia tak bekerja, laparlah semua orang (anggota gens).
Derajatnya dimuliakan hingga muncullah hukum peribuan atau matriarchat
(Soekarno, 1963).” Pemerintahan ibu, yang oleh Soekarno diidentikkan dengan
zaman kuno-bercocok tanam, yang berbeda dengan pemerintahan bapak yang identik
dengan zaman modern-pabrik justru digenggam kembali oleh perempuan.
Identitas
feminin itu justru membawa kebaikan bagi paras Kota Surabaya. Kebaikan yang
berbuah penghargaan kesuksesan Surabaya meraih Environmentally Sustainable City (ESC) 2011, semacam Adipura untuk
level ASEAN, berkat partisipasi masyarakat dan pemerintah serta media yang
terus melestarikan lingkungan melalui gerakan ‘green and clean’. Sungguh slogan ‘personal is political’ oleh kaum feminisme tergambarkan lewat gaya
menata kota. Kecakapan perempuan dalam mengurus rumah tangga dibawa ke ruang
publik. Uraian tersebut merupakan sebuah bukti bahwa perempuan mulai ‘dianggap’
dalam urusan tata kota. Karena itu, sudah saatnya bagi perempuan untuk menuliskan
dirinya kembali dalam sejarah atas kecakapannya mendesain kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar