Sabtu, 24 Maret 2012

Paras Perempuan Surabaya

Paras Perempuan Surabaya
  Senja Aprela Agustin, PENGAJAR PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER SURABAYA
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 24 Maret 2012



SELAMA ini Surabaya dimitoskan sebagai kota panas menyengat sehingga turut membiakkan makna bahwa penghuninya berwatak keras dan kasar. Namun, tak selamanya makna tersebut bertahan. Saat ini yang terbit justru makna Surabaya kota yang teduh dan lembut. Semua itu tergambarkan lewat serangkaian kehadiran tamantaman di beberapa sudut kota, jalur hijau yang makin banyak, dan trotoar berlantai bersih yang dinaungi pepohonan berbunga. Taman-taman kota tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh warganya sebagai ruang publik yang ramai dikunjungi siang dan malam. Ruang publik yang mampu menggerakkan tindakan setiap individu untuk berkumpul, bersantai, melepas penat, sekadar memadu kasih, berolah raga, hingga urusan membahagiakan anak-anak bermain riang dengan biaya minim. Seperti pasar, mereka bersinggungan, riuh, tetapi tetap harmonis berinteraksi.

Begitu pula dengan pemandangan di muka gang kecil kampung-kampung yang berada di sepanjang jalan utama kota yang menjadi lebih rimbun dan cantik berkat menjulangnya pohon-pohon yang berbunga warna-warni menyegarkan panorama indah saat berkendara. Bila beberapa dari kita tinggal di dalam kampung-kampung yang berada di tengah kota, akan terasa pula perubahan pemandangan hijau segar dan teduh tersebut. Keberadaan taman-taman kota dan tanaman berbunga di ruas-ruas jalan mampu mengembalikan ruang publik yang telah lama hilang. Mitos kota panas dan keras yang telah lama bertengger di benak penduduk asli dan dari luar Kota Surabaya bergeser karena warga menciptakan makna baru sebagai kota yang ‘hijau’ meskipun udara dan sengatan panas matahari itu tentu saja tak kan lenyap begitu saja.

Dalam semiotika, ilmu yang mempelajari tentang tanda, makna bagian yang tak tampak pun bisa ditelusuri. Mengacu ke level penandaan tingkat pertama, yakni makna denotasi, ruang-ruang hijau tersebut hanyalah bermakna literal tata letak beragam tanaman dan pepohonan yang berbunga. Namun, pada level penandaan kedua yang disebut konotasi, sebuah makna dapat diperoleh dengan cara menghubungkannya dengan perasaan abstrak atau keyakinan (konvensi) tertentu. Misalnya, bunga dimaknai sebagai bentuk ungkapan cinta, atau amplop yang dimaknai sebagai bentuk suap. Kali ini, bagi saya Surabaya menjadi kota ‘feminin’. Tanda feminin yang diidentikkan dengan kelembutan tangan perempuan yang menumbuhkannya.

Kuasa Perempuan Pemimpin

Perempuan kerap diasosiasikan dengan kelembutan, memelihara, merawat, halus, dan harmoni. Melalui kelembutannya, perempuan `berkuasa'. Perempuan memahami bagaimana seharusnya tempat tinggal yang dapat menya mankan penghuninya dan membuat betah para tamunya. Seperti kasih ibu yang dengan sabar mengajarkan anggota keluarganya untuk mencintai rumahnya kembali. Urusan domestik yang selama ini dilekatkan pada perempuan justru hadir di ruang publik. Perempuan dianggap wajar apabila pandai mengurus rumah tangga dan lelaki wajar apabila bekerja di luar rumah. Hal itu merupakan bentuk peran gender. Istilah gender yang menurut Ivan Illich (2007) adalah pembedaan-pembedaan berdasarkan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentukbentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi, yang dihubungkan dengan lelaki dan yang dihubungkan dengan perempuan dalam kebudayaan. Gender menyiratkan keterkaitan saling melengkapi dalam pasangan oposisi ganda seperti lelaki-perempuan, publik-domestik, fungsi-dekoratif, dan keras-lembut. Itu nilai-nilai yang sesungguhnya bukan bawaan biologis, melainkan sebuah konstruksi sosial yang dialamiahkan.

Saat ini peran gender itu sepertinya bertumpang tindih. Pekerjaan domestik mengurus keindahan rumah justru muncul di ruang publik kota. Tangan perempuan membantu mempercantik paras kota. Kota Surabaya akhirnya mempunyai wajah feminin. Mitos yang sebelumnya tampak alamiah, bahwa Surabaya merupakan kota panas menyengat serta kota bisnis yang sarat dengan persaingan keras sebagai karakter sifat maskulin, lambat laun mulai berubah. Gagasan lain justru sedang diproduksi, yaitu Surabaya yang feminin.

Keindahan cara mendesain ruang hijau memunculkan kembali identitas perempuan sebagai ‘pemegang pemerintahan’. Seperti kejayaan sistem pemerintahan matriakal masa purba atau yang masih ditemui dalam budaya Minangkabau. “Di mana ada suatu masa, perempuanlah yang memimpin dan menggerakkan sistem perekonomian pertanian. Jika dia tak bekerja, laparlah semua orang (anggota gens). Derajatnya dimuliakan hingga muncullah hukum peribuan atau matriarchat (Soekarno, 1963).” Pemerintahan ibu, yang oleh Soekarno diidentikkan dengan zaman kuno-bercocok tanam, yang berbeda dengan pemerintahan bapak yang identik dengan zaman modern-pabrik justru digenggam kembali oleh perempuan.

Identitas feminin itu justru membawa kebaikan bagi paras Kota Surabaya. Kebaikan yang berbuah penghargaan kesuksesan Surabaya meraih Environmentally Sustainable City (ESC) 2011, semacam Adipura untuk level ASEAN, berkat partisipasi masyarakat dan pemerintah serta media yang terus melestarikan lingkungan melalui gerakan ‘green and clean’. Sungguh slogan ‘personal is political’ oleh kaum feminisme tergambarkan lewat gaya menata kota. Kecakapan perempuan dalam mengurus rumah tangga dibawa ke ruang publik. Uraian tersebut merupakan sebuah bukti bahwa perempuan mulai ‘dianggap’ dalam urusan tata kota. Karena itu, sudah saatnya bagi perempuan untuk menuliskan dirinya kembali dalam sejarah atas kecakapannya mendesain kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar