Sabtu, 24 Maret 2012

Subsidi BBM dan Kompensasi BLT

Subsidi BBM dan Kompensasi BLT
  Arianto A Patunru, Dosen FEUI; Peneliti LPEM-FEUI
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret 2012



Subsidi bahan bakar minyak keliru, paling tidak dalam tiga hal: tidak produktif, tidak tepat sasaran, dan tidak ramah lingkungan.

Tidak produktif karena jumlah dana yang begitu besar seharusnya lebih bermanfaat jika digunakan untuk membantu mengatasi masalah paling krusial Indonesia: infrastruktur. Dokumen perencanaan pembangunan pemerintah, seperti Rencana Panjang Jangka Menengah (RPJM) maupun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah dengan benar mengidentifikasi tantangan utama sisi penawaran ekonomi Indonesia, yaitu infrastruktur.

Sayangnya, APBN masih belum tampak mendukung prioritas ini: pembangunan infrastruktur hanya 8 persen dari total belanja pemerintah, sementara 13 persen dialokasikan untuk subsidi energi, yang mayoritas masuk ke BBM. Saat partisipasi swasta masih terkendala, akan lebih produktif jika dilakukan realokasi sebagian anggaran dari subsidi BBM ke pembangunan infrastruktur.

Praktik subsidi BBM saat ini juga tidak tepat sasaran karena hampir setengahnya ternyata dinikmati oleh mereka yang berada di desil teratas (10 persen teratas) masyarakat berdasarkan pendapatan dan hanya 2 persen dikonsumsi desil terbawah (10 persen terbawah). Dengan kata lain, lebih dari 90 persen subsidi BBM sebenarnya dinikmati oleh yang bukan golongan termiskin.

Terakhir, subsidi BBM seperti saat ini menekan insentif bagi dunia usaha untuk masuk ke sektor energi terbarukan. Seruan pemerintah untuk mulai beralih dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan hanya jadi retorika jika produk-produk energi terbarukan tak mampu bersaing dengan harga bensin yang dipatok terlalu rendah.

Indonesia salah satu penghasil emisi karbon dioksida berbasis bensin terbesar: emisi per kapitanya melebihi India dan China. Jakarta yang macet, misalnya, tak hanya membakar bensin sia-sia, tetapi juga mengisi paru-paru dengan karbon dioksida.

Kompensasi?

Isu berikutnya adalah kompensasi. Mengapa perlu ada kompensasi? Idealnya, jika terjadi guncangan dalam perekonomian dan agen ekonomi serta faktor produksi menyesuaikan diri dengan cepat, tak perlu ada kompensasi. Namun, kenaikan harga—seperti kenaikan harga Premium karena subsidinya dikurangi—dapat mengubah pendapatan relatif konsumen (walaupun pendapatan nominal tetap, ia merasa seolah berpendapatan lebih rendah karena dengan uang yang sama sekarang ia hanya bisa membeli lebih sedikit).

Butuh waktu untuk kembali pada tingkat konsumsi optimal seperti semula. Mereka yang berpendapatan nominal tinggi akan cepat menyesuaikan diri dengan cara realokasi konsumsi. Namun, mereka yang miskin akan kesulitan karena opsi buat mereka lebih sedikit. Di sini mekanisme kompensasi dimaksudkan untuk membantu kelompok kedua ini untuk bisa cepat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru.

Untuk memperjelas, bayangkan ada lima konsumen Premium: dua kaya (A dan B) dan tiga miskin (C, D, dan E). Semua membeli Premium bersubsidi pada harga sama per liter. Kenaikan harga bensin akan menurunkan kesejahteraan kelima orang ini tanpa kecuali, tetapi derajatnya berbeda-beda. A dan B akan langsung menyesuaikan pola konsumsi (mengurangi rekreasi, menjadi lebih hemat, dan sebagainya). Tidak demikian halnya dengan C, D, dan E yang dihadapkan pada opsi konsumsi yang terbatas.

Jika mekanisme pengawasan berjalan sempurna, seharusnya A dan B saja yang membeli bensin tanpa subsidi. Yang miskin tetap boleh membeli pada harga subsidi. Namun kita telah menyaksikan, praktik harga berbeda untuk barang yang sama adalah makanan empuk bagi spekulan dan biaya pengawasan bisa menjadi mahal sekali. Jika ini terjadi, tujuan penghematan untuk realokasi anggaran pada hal-hal yang lebih konstruktif pun sirna.

Di sini mekanisme kompensasi seperti bantuan langsung tunai (BLT) bekerja sebagai berikut. Subsidi dikurangi (atau dicabut). Akibatnya, harga Premium ”terpaksa” naik. Semua (A, B, C, D, dan E) harus membeli pada harga yang lebih tinggi. Lalu pemerintah mengambil sebagian dari uang yang di-”hemat” (dari subsidi yang berkurang) untuk diberikan kepada yang miskin (C, D, dan E). Kompensasi tidak diberikan kepada A dan B, orang kaya yang tadinya menikmati subsidi salah sasaran tersebut.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kompensasi BLT hanya diberikan dalam dua atau tiga bulan? Sebagaimana namanya, kompensasi bersifat sementara: hanya diberlakukan untuk meredam guncangan, dalam hal ini kenaikan harga. Data empiris menunjukkan, inflasi yang timbul setelah kenaikan harga bensin akan berangsur normal dalam tiga bulan. Maka, kompensasi kepada si miskin juga dilakukan dalam tiga bulan. 

Selanjutnya, program pengentasan orang miskin dilakukan dengan kebijakan yang lebih bersifat jangka panjang, seperti bantuan sekolah miskin, program keluarga harapan, dan jaminan kesehatan masyarakat. Program-program tersebut juga terus disempurnakan.

Tentu saja tulisan ini menyederhanakan masalah. Politik BBM yang maju-mundur telah meningkatkan ketakpastian dan harga barang-barang lain telah mulai naik. Ini adalah isu yang berbeda. Ini berkaitan dengan kemampuan pemerintah dan DPR mengambil keputusan tegas. Semakin lama keputusan tidak diambil, kian tinggi ketidakpastian. Jika ini berjalan terus, argumen ekonomi di atas bisa gagal, terlibas tarik-menarik politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar