Legalisasi
Pemotongan Upah dan Nasib Pekerja Nabiyla Risfa Izzati ; Dosen Hukum Ketenagakerjaan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada |
KOMPAS,
03 Maret
2021
Pandemi Covid-19 membawa implikasi serius
terhadap sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Anjloknya kinerja sektor
industri menyebabkan banyak perusahaan merugi, bahkan sebagian telah gulung
tikar. Dampaknya, perusahaan melakukan berbagai cara untuk sekadar bertahan
hidup, antara lain dengan pemotongan upah pekerja dalam rangka efisiensi
usaha. Pemotongan
upah dalam hukum ketenagakerjaan Dalam hukum ketenagakerjaan, kebijakan
pemotongan upah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan yang diubah dan dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang baru saja disahkan sebagai peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Terdapat limitasi alasan pemotongan upah
yang diperkenankan secara hukum, yaitu pemotongan upah untuk pembayaran
denda, ganti rugi, uang muka upah, dan/atau sewa barang milik perusahaan yang
disewakan kepada pekerja, utang atau cicilan utang pekerja, dan/atau
kelebihan pembayaran upah. Artinya, pemotongan upah akibat perusahaan
merugi tidak dikenal dan tidak diperbolehkan dalam hukum positif. Dengan kata
lain, perusahaan yang melakukan pemotongan upah dengan alasan tersebut
sebenarnya telah melakukan pelanggaran hukum dan pekerja berhak menuntut
pemenuhan hak berupa pembayaran upah secara utuh. Ketentuan yang menjamin hak-hak pekerja ini
kemudian mengalami pembiasan seiring terbitnya Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada
Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. Berdasarkan peraturan ini, perusahaan padat
karya tertentu dapat melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah
pekerja. Sektor padat karya yang disasar meliputi: industri makanan, minuman,
dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang
kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur. Legalisasi
pemotongan upah Permenaker Nomor 2 Tahun 2021 pada intinya
memberikan justifikasi hukum bagi perusahaan yang termasuk industri padat
karya dalam melakukan pemotongan upah pekerjanya. Memang, Permenaker ini
tidak secara eksplisit menggunakan istilah ”pemotongan upah”, melainkan
menggunakan frasa ”penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah”. Menurut penulis, hal ini dilakukan karena
Kementerian Ketenagakerjaan sebenarnya menyadari bahwa membuat peraturan
menteri yang melegalkan pemotongan upah dengan alasan terdampak pandemi
adalah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. Peraturan
pemerintah, dalam hierarki perundangan, memiliki posisi lebih tinggi
dibanding dengan peraturan menteri. Di tataran implementasi, Permenaker Nomor 2
Tahun 2021 ini sangatlah mengkhawatirkan dan akan berdampak langsung terhadap
upaya perlindungan pekerja di Indonesia. Sebelum adanya peraturan ini,
pemotongan upah sudah sering terjadi. Survei yang dilakukan perusahaan jasa
pencarian kerja Jobstreet mencatat, 43 persen pekerja mengalami pemotongan
gaji hingga sepertiganya selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar
(PSBB). BPS juga merilis adanya penurunan pendapatan
secara signifikan pada pekerja selama pandemi Covid-19. Dengan lahirnya
peraturan yang melegalkan, pemotongan upah dengan alasan pandemi Covid-19
akan semakin marak terjadi. Kepentingan
pekerja diabaikan Kementerian Ketenagakerjaan berdalih, peraturan
ini hadir justru untuk melindungi pekerja dari pemotongan upah secara
sepihak. Hal ini disebabkan permenaker ini mengatur bahwa pemotongan upah
harus didasarkan pada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja sebagaimana
termaktub dalam Pasal 6 Ayat (2). Namun, pandangan ini sangat naif dan bahkan
problematik apabila ditinjau dari kacamata hukum ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui, hubungan dan
kedudukan hukum antara pekerja dan pengusaha secara alamiah tidak akan
setara. Karena itu, kesepakatan yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja
kemungkinan besar bersifat disproporsional terhadap kepentingan pengusaha. Dengan kata lain, kesepakatan pemotongan
upah yang dilakukan oleh pengusaha dengan pekerja/buruh secara individual
berpotensi hanya memberikan keuntungan bagi pengusaha dan mengabaikan
kepentingan pekerja. Seharusnya, jikalau pun pemotongan upah
diperbolehkan untuk dilakukan melalui mekanisme kesepakatan, kesepakatan
harus dilakukan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh sehingga
yang tercapai adalah kesepakatan kolektif. Hal lain yang patut dikritisi dari
Permenaker ini adalah tidak adanya batasan maksimal pemotongan upah. Semuanya
dikembalikan pada kesepakatan pengusaha dan pekerja, yang proses dan hasilnya
sangat mungkin jauh dari rasa keadilan. Lebih lanjut, Permenaker ini juga sama
sekali tidak mengatur mekanisme pengawasan bagi perusahaan yang melakukan
pemotongan upah. Tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk melaporkan hasil
kesepakatan pemotongan upah kepada pemerintah melalui dinas ketenagakerjaan
setempat. Padahal, pemotongan upah dapat diberlakukan cukup lama hingga 31
Desember 2021 akan sangat memengaruhi kondisi sosial-ekonomi pekerja. Berdasarkan catatan di atas, kiranya
penting bagi Kementerian Ketenagakerjaan untuk meninjau ulang Permenaker ini.
Jangan sampai nasib pekerja dikorbankan lebih jauh, apalagi pekerja adalah
tulang punggung dari industri padat karya itu sendiri. Menjaga kelangsungan usaha pada industri
pada karya memang sangat penting, tapi melindungi hak dan hajat hidup pekerja
juga tidak kalah krusial. Jika pemerintah merasa bahwa kebijakan untuk
melegalkan pemotongan upah tidak dapat dihindarkan, sepatutnya hal ini
dibarengi dengan kebijakan lain yang berpihak pada pekerja. Contohnya, Program Bantuan Subsidi Upah
(BSU). Program yang telah dicoret dari APBN 2021 ini relevan untuk
diselenggarakan kembali karena manfaatnya dirasakan sekaligus oleh pekerja
dan pengusaha. Tanpa pertimbangan yang proporsional, Permenaker ini hanya
akan menjadi badai baru yang memorak-porandakan kehidupan pekerja di
Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar