Banjir,
Tata Ruang, Tata Air, dan Tata Uang di Jakarta Windoro Adi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
02 Maret
2021
Dari tahun ke tahun, daya dukung lingkungan
Jakarta dan daerah penyangga (Jabodetabek) memburuk, terutama menghadapi
banjir (dan longsor) pada musim hujan. Dari rezim ke rezim DKI, pengelolaan
tata kota, tata air, dan tata uang untuk membiayai perbaikan dan merawat kota
nyaris tidak pernah direncanakan serius. Kini, tak ada pilihan lain bagi
Pemprov DKI selain memperbaiki tata kota, tata air, dan tata uang menyangkut
alokasi dana bersama pemerintah pusat dan daerah. Setiap tahun, permukaan tanah di Jakarta,
menurut sejumlah sumber, rata-rata turun sekitar 10 sentimeter. Di Jakarta
Barat, permukaan tanah bahkan turun 15 sentimeter setiap tahun dan permukaan
tanah di Jakarta Timur turun 10 sentimeter setiap tahun. Penurunan permukaan
tanah mulai terjadi tahun 1975, ketika penggunaan air tanah mulai berlangsung
masif seiring tumbuhnya kawasan permukiman, hotel, mal, rumah susun, dan
apartemen yang puncaknya terjadi di awal tahun 1990-an. Di sisi lain, kemampuan tanah menyerap air,
terutama tanah di daerah aliran sungai, semakin merosot karena perubahan
peruntukan lahan. Daya serap tanah terhadap air hujan di Jakarta saat ini,
menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Andi Eka Sakya,
tinggal 20 persen. Itu artinya, setiap seliter air hujan yang jatuh ke tanah,
hanya 0,2 liter yang terserap tanah. Resapan
air Awal tahun 1990-an, pembangunan kawasan
perumahan kelas menengah dan kelas atas di Jabodetabek marak. Di Jakarta,
sejumlah kawasan resapan air disulap menjadi kawasan terintegrasi untuk
permukiman, mal, ruko, dan apartemen. Karena menentang perubahan tata ruang
yang mengorbankan sejumlah daerah resapan air penting, terutama di Jakarta
Utara oleh pemerintah pusat kala itu, Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja
(1992-1997) akhirnya tidak ingin dipilih lagi sebagai gubernur pada periode
berikutnya. Walhasil, sepeninggal Soerjadi, kawasan
resapan air di Jakarta terus menyusut. Sebagai penggantinya, Jakarta, seperti
disampaikan mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Ricki M
Mulia, membutuhkan 1,8 juta sumur resapan air. Penentuan jumlah sumur ini, menurut
dia, dilihat dari neraca air dan pendekatan data empiris saat terjadi
genangan di sejumlah lokasi di Jakarta. Tahun lalu, realisasi pembangunan sumur
resapan, menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini Jusuf, baru
mencapai 2.974 lokasi. Padahal menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah 2017-2022, target pembangunan sumur resapan adalah 1,8 juta lokasi
yang mulai dibuat pada 2020. Meluasnya pembangunan permukiman dan sentra
perdagangan di Jakarta sejak awal tahun 1990-an tidak diiringi rencana dan
pengelolaan tata air yang matang, terutama soal resapan dan saluran
pembuangan air hujan. Setiap tindakan dilakukan tambal sulam sebagai reaksi
sesaat. Tak pernah jelas air pembuangan sejak awal
mengalir tiba di mana. Lalu, saat hujan tiba, air sudah menggenang di
mana-mana. Sebagian air hujan diam, tidak mengalir. Idealnya, sejak air pembuangan mengalir,
arus air bisa dilacak ke mana air itu pergi. Pemerintah daerah tampaknya
hanya merasa bertanggung jawab sebatas merawat gorong-gorong besar dan
mengeruk sungai. Di sisi lain, pengelola permukiman abai dan menganggap
seluruh sistem pembuangan air adalah tanggung jawab pemerintah. Fakta di lapangan lebih menyedihkan.
Sebagian gorong-gorong rusak, tersumbat, bahkan tidak berfungsi karena
tertutup, sampah, lapak pedagang, atau bangunan lain. Sungai mendangkal. Di
bantaran sungai, tumbuh permukiman liar. Endapan lumpur yang menjadi lahan
baru dijadikan tempat bercocok tanam atau arena bermain. Di beberapa bagian,
sungai justru dijadikan tempat pembuangan sampah. Saat membangun, hampir seluruh kalangan
pengembang cuma mengandalkan peninggian lahan agar kawasan yang mereka bangun
tidak banjir. Saluran-saluran pembuangan yang mereka bangun umumnya hanya
sekadar ”pemantas”. Mereka tidak peduli apakah luapan air dari kawasan mereka
membuat kawasan permukiman yang lama, banjir. Pembangunan setiap kawasan baru dipastikan
lebih tinggi dibandingkan kawasan permukiman baru yang sudah lebih dulu
dihuni. Demikian seterusnya sehingga kawasan permukiman yang dibangun
pengembang lebih dulu, lebih rendah permukaan tanahnya dibandingkan kawasan
permukiman yang baru selesai dibangun. Yang paling menderita tentu saja
kawasan permukiman penduduk lama. Itulah yang, antara lain, terjadi di
pinggiran kota Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Banjir di Jakarta tidak hanya melulu soal
ruwetnya sistem drainase kota, tetapi juga soal ”banjir kiriman”. Di titik
ini terjadi konflik dan miskoordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah
pusat. Konflik menyangkut pilihan kebijakan naturalisasi sungai yang
mengandalkan kemampuan tanah menyerap air hujan dan normalisasi sungai yang
memprioritaskan gelontoran air menuju laut. Konflik dan miskoordinasi antara
kewajiban pembebasan tanah oleh pemerintah daerah dan pembangunan sistem
drainase serta sungai yang menjadi kewajiban pemerintah pusat. Alokasi
dana Perbedaan persepsi antara pemerintah daerah
dan pemerintah pusat akhirnya berdampak pada alokasi anggaran mereka terkait
usaha mengatasi banjir. Alokasi dana untuk normalisasi sungai tentu berbeda
dengan alokasi dana untuk naturalisasi sungai. Normalisasi sungai memprioritaskan
pembangunan dan perawatan infrastruktur yang mendorong air hujan cepat menuju
laut. Perlu alokasi dana pemindahan penduduk di bantaran kali, penertiban
bangunan di atas drainase, dan pembangunan tanggul (sheet pile) sungai.
Naturalisasi, antara lain, lebih memprioritaskan sarana dan prasarana resapan
air. Oleh karena itu, butuh alokasi dana untuk membangun sumur-sumur resapan
air. Biaya ikutan yang muncul karena banjir pun
perlu dialokasikan, antara lain, untuk kegiatan penyelamatan, pengungsian,
pemindahan penduduk, dan pembersihan kota dari sampah dan lumpur. Di luar
pilihan kebijakan tersebut, pemerintah daerah masih harus mengeruk, merawat
sungai, serta memelihara prasarana dan sarana penanggulangan banjir di
antaranya pompa-pompa air. Jika antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat tidak tercapai kata sepakat dalam kebijakan bersama
menanggulangi banjir, penanggulangan banjir di Jakarta (juga daerah lain)
tidak akan selesai, terutama menyangkut pembiayaan. Peristiwa dan drama
banjir akan terus berulang dan menjadi tayangan favorit media massa. Zaman
Belanda Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) Jan Pieterszoon Coen membangun kota Batavia seluas 105
hektar di awal abad ke-17. Ketika itu, dia, seperti halnya para gubernur
jendral VOC maupun gubernur jenderal Hindia Belanda lainnya, selalu
memprioritaskan kemanfaatan air bagi lingkungan sekitar dan kegiatan usaha,
termasuk bagaimana menghadapi ancaman banjir. Di tengah kota yang dirancang Simon
Stevius, dibangun Kalibesar yang membelah Batavia menjadi kota kembar.
Kalibesar tak lain adalah pelebaran dari Kali Ciliwung. Di Kalibesar inilah
air Sungai Ciliwung dan air Sungai Krukut bertemu. Kehadiran Kalibesar membuat kapal-kapal
besar bisa bongkar muat di depan gudang-gudang dan kantor pusat konglomerat
perdagangan VOC. Agar perjalanan air Sungai Ciliwung lebih singkat dan lurus
sehingga lebih mudah dilewati alat transportasi air, pada 1648 Coen
memerintahkan Kapitan China Phoa Beng Gam membuat sodetan Sungai Ciliwung
yang diberi nama Kali Molenvliet yang kini diapit Jalan Molenvliet West
(Jalan Gajahmada) dan Molenvliet Oost (Jalan Hayamwuruk). Kali segera penuh perahu dan rakit para
pedagang dan petani. Sirkulasi perekonomian di Batavia kian kencang,
sementara wabah malaria menghilang karena air rawa mengalir ke kali. Sampai saat ini, masih tampak warisan Phoa
Beng Gam berupa pintu-pintu air di tepian Molenvliet. Pintu-pintu air ini
dulu mengalirkan air pembuangan dari deretan bangunan di kompleks bisnis,
baik yang berada di Jalan Gajahmada maupun di Jalan Hayamwuruk. Kini,
pintu-pintu air ini tidak berfungsi karena saluran pembuangan yang dikontrol
pintu-pintu air tersebut tertimbun tanah dan bangunan. Fungsi Kali Molenvliet mencegah banjir di
kawasan ini pun hilang. Saat musim hujan tiba, kawasan ini terendam air,
sementara Kali Molenvliet meluap ke jalan karena arus air terputus di kawasan
bisnis Lindeteves Trade Centre hingga Glodok Plaza. Bendung
Katulampa Meskipun di masa Coen, Batavia relatif aman
dari banjir dengan hadirnya sistem kanal yang rapi dan terawat, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) tidak puas. Ia
merasa kualitas hidup di lingkungan kantor pusat pemerintahan mulai merosot. Daendels lalu menggeser pusat pemerintahan
ke selatan. Kantor gubernur jenderal pun (kini gedung kementerian keuangan di
kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat) ia bangun pada tahun 1810. Sementara
menunggu bangunan jadi, Daendels memilih tinggal dan berkantor di Istana
Bogor yang dibangun Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff
(1743-1750). Tempat peristirahatan bagi para gubernur
jenderal Hindia Belanda ini membuat para gubernur jenderal ini peduli dengan
masalah ”banjir kiriman”. Lebih-lebih setelah kawasan Harmoni, Batavia,
terendam banjir luapan Sungai Ciliwung, tahun 1872. Peristiwa tersebut disusul pembangunan
Bendung Katulampa, di Bogor, Jawa Barat, yang diresmikan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda AW Frederik Idenburg (1909-1916). Pembangunan bendung ini
menunjukkan langkah Pemerintah Hindia Belanda yang terintegrasi dan tidak
sekadar tambal sulam. Ironisnya, sampai sekarang baru pada tahun
2004 bendung ini baru sekali direnovasi oleh Pemprov Jawa Barat. Tak ada
bantuan dana dan pendampingan teknis dari Pemprov DKI ataupun pemerintah
pusat. Kepedulian
dan kerja sama Cerita tentang Batavia menunjukkan, justru
pada masa pemerintahan VOC dan Hindia Belanda, pengelolaan tata kota, tata
air, dan tata uang direncanakan dan dilaksanakan secara matang dan konsisten,
terutama menyangkut perawatan rutin seluruh prasarana dan sarana tata air. Di masa itu, dengan mudah warga bisa
menyusur dari mana datang dan perginya air pembuangan. Di masa itu, warga
masih sering melihat para penjaga pintu air, baik pintu air skala kecil
maupun yang berskala besar, mengontrol debit air secara rutin. Karena sistem
pengelolaan yang jelas, pemerintah dengan cepat bisa menunjuk hidung, siapa yang
bertanggung jawab ketika terjadi banjir. Ironisnya, setelah mereka kembali ke
negerinya yang terletak di bawah permukaan laut, pemerintah dan warga DKI
justru merusak sebagian sistem kanal yang mereka bangun, tanpa kemampuan
membangun kembali sistem kanal atau drainase baru yang lebih baik. Untuk memperbaiki keadaan, tidak ada jalan
lain selain membangun kepedulian bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
Antara pemerintah dan warga. Konflik kepentingan di antara mereka sudah
waktunya diredam dan melangkah bersama dengan dasar kompetensi atas tata
ruang, tata air, dan tata uang. Bukan atas dasar selera atau atas dasar
siapa yang paling berkuasa, apalagi atas dasar nilai proyek yang bisa masuk
kantong pribadi, tetapi sekali lagi, atas dasar kompetensi. Dan tentu saja,
semua usaha menanggulangi banjir dilakukan sebelum musim hujan tiba. Saat infrastruktur selesai dibangun,
pekerjaan rumah berikutnya adalah alokasi dana yang layak untuk perawatan
seperti yang dilakukan orang-orang Belanda ketika merawat Batavia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar