Rabu, 03 Maret 2021

 

Vaksin Ampuh untuk Covid-19

 Atika Walujani Moedjiono ; Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 02 Maret 2021

 

 

                                                           

Vaksinasi yang dimulai akhir tahun lalu berhasil menurunkan kasus Covid-19 di sejumlah  negara, bahkan di Indonesia. Bukan berarti upaya mengatasi pandemi Covid-19 berjalan mulus.

 

Seperti halnya HIV dan virus influenza, SARS-CoV-2 terus bermutasi. Hasil pengurutan kode genetik ribuan sampel virus dari pasien Covid-19 di basis data genetik virus (GISAID), sejauh ini ada sekitar 12.000 mutasi.

 

Pada umumnya mutasi SARS-CoV-2 tidak menimbulkan masalah, tetapi hasil mutasi virus galur Inggris ( B.1.1.7), galur Afrika Selatan (B.1.351), dan galur Brasil (P.1) menyedot perhatian karena berpotensi mengurangi efikasi (kemanjuran) vaksin yang ada.

 

Pengujian tim Moderna pada sampel darah delapan orang yang telah divaksinasi serta dua primata terkait respons antibodi terhadap varian baru dibandingkan dengan versi sebelumnya mendapati galur Inggris tidak memengaruhi kadar antibodi. Sementara galur Afrika Selatan menurunkan kadar antibodi hingga enam kali lipat dibandingkan varian lama. Namun, antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Dua suntikan dengan dosis 100 µg diharapkan dapat melindungi terhadap galur baru.

 

Dalam siaran pers, 25 Januari 2021, Moderna sedang menguji dosis tambahan vaksin penguat yang ada (mRNA-1273) serta memformulasi ulang vaksin penguat (mRNA-1273.351). Keduanya diharapkan dapat meningkatkan kadar antibodi untuk menetralkan virus mutan.

 

Penelitian Xuping Xie dan kolega dari Universitas Texas, Amerika Serikat (AS), di Nature Medicine, 8 Februari 2021, menguji 20 sampel darah orang yang disuntik dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech (BNT162b2) terhadap virus yang mengandung mutasi protein paku galur Inggris dan Afrika Selatan. Hasilnya, titer antibodi rata-rata terhadap virus mutan adalah 0,81-1,46 kali lipat dibandingkan titer antibodi terhadap virus asal. Artinya, antibodi yang ditimbulkan vaksin BNT162b2 mampu mengatasi mutasi.

 

Kalau mutasinya banyak, dengan teknologi yang ada, menurut Pfizer-BioNTech, hanya perlu sekitar enam minggu untuk mengganti informasi genetik antigen virus saat ini dengan antigen virus mutan.

 

Hal senada dikemukakan Antony Fauci, Direktur Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), AS. ”Platform mRNA sangat fleksibel,” katanya seperti dikutip Time, 7 Januari 2021.

 

Bagaimana dengan pengembang vaksin lain? Peneliti dari Universitas Oxford dan para mitra di Inggris, Afrika Selatan, dan Brasil, dalam laporan yang diunggah 1 Februari 2021 dan belum ditinjau sejawat, menyajikan data uji klinis tahap 3 vaksin Oxford-AstraZeneca (ChAdOx1 nCoV-19) di Inggris dan Brasil. Juga uji klinis tahap 1/2 di Inggris dan Afrika Selatan.

 

Terkait infeksi galur Afrika Selatan, para peneliti dari Universitas Witwatersrand dan universitas lain di Afrika Selatan serta Oxford mendapatkan vaksin mereka tidak dapat mencegah penyakit ringan hingga sedang, tetapi mampu mencegah Covid-19 parah. Sarah Gilbert, Guru Besar Vaksinasi di laman Universitas Oxford, 7 Februari 2021, menyatakan, pihaknya kini mengembangkan generasi baru vaksin yang efektif melawan galur baru.

 

Novavax, 28 Januari 2021, mengumumkan, kandidat vaksin Covid-19 (NVX-CoV2373) menunjukkan kemanjuran 89,3 persen dalam uji klinis tahap 3 di Inggris. Adapun hasil uji klinis tahap 2b di Afrika Selatan mendapatkan efikasi 60 persen.

 

Novavax juga mengembangkan konstruksi baru dan berencana memulai uji klinis vaksin baru pada kuartal kedua tahun ini.

 

Pada 29 Januari 2021, Johnson & Johnson melaporkan kemanjuran vaksin, 28 hari pasca-vaksinasi, sebesar 72 persen di AS, 66 persen di Amerika Latin, dan 57 persen di Afrika Selatan. Kandidat vaksin dosis tunggal berbasis vektor adenovirus itu diuji pada berbagai kelompok usia, termasuk di atas 60 tahun.

 

Vaksin universal

 

Sebagian besar vaksin Covid-19 saat ini dibuat dengan teknik mRNA yang mengemas kode genetik protein paku SARS-CoV-2 dalam nanopartikel ataupun menggunakan vektor adenovirus yang dilemahkan. Idenya menginstruksikan sel tubuh untuk menghasilkan protein paku virus korona sehingga memicu respons imun. Tubuh memproduksi antibodi untuk menonaktifkan protein paku tersebut.

 

Dibandingkan metode tradisional, teknologi mRNA dinilai lebih aman karena tidak menyebabkan efek samping parah. Vaksin juga bisa sangat cepat dimodifikasi asalkan ada urutan genom virus mutasi dan protein target yang jelas. Kelemahannya, karena hanya menarget satu protein virus, yakni protein paku, maka efikasi vaksin rentan terpengaruh mutasi protein itu.

 

Sebagaimana diketahui, SARS-CoV-2 memiliki empat kelompok protein utama, yakni protein paku (protein S), nukleokapsid (protein N), membran (protein M), dan protein amplop (protein E). Idealnya, vaksin mampu memicu respons imun terhadap beberapa atau semua protein itu.

 

Teknik pembuatan vaksin tradisional dengan virus utuh yang dinonaktifkan dinilai menguntungkan. Dengan memaparkan sel tubuh pada virus utuh, maka vaksin akan memicu respons imun terhadap semua protein virus. Kalaupun protein S bermutasi, antibodi masih mengenali protein lain.

 

Sinovac yang membuat vaksin dari virus yang dinonaktifkan, menurut Fortune, 20 Februari 2021, mengklaim vaksinnya efektif melawan galur Afrika Selatan. Tapi belum menerbitkan data untuk mendukung klaim itu.

 

Agar mampu mengatasi mutasi virus di masa depan, dipandang perlu pengembangan vaksin Covid-19 universal. Yakni, vaksin yang mampu memicu sistem imun merespons semua kemungkinan epitop (bagian protein virus). Setidaknya menemukan epitop yang penting dalam siklus hidup virus, menimbulkan respons imun kuat dan menghambat replikasi virus.

 

Perusahaan rintisan Belgia, MyNeo, menggunakan mesin pintar untuk memprediksi epitop virus yang mampu memicu respons imun terkuat.

 

Secara teoritis, ada epitop yang sama di semua galur SARS-CoV-2 bahkan di seluruh virus korona, termasuk penyebab SARS dan MERS, serta pada cerpelai dan kelelawar. Epitop itu terkonservasi baik dan tidak banyak berubah karena penting untuk kelangsungan hidup virus.

 

Yang kini dieksplorasi adalah protein N yang membungkus kode genetik virus. Diperkirakan, protein N yang mirip di semua virus korona berperan penting dalam replikasi virus. Antibodi mampu mengenali protein N dalam sel, memecahnya, dan menjadikan penanda agar sel yang terinfeksi dihancurkan oleh sel T tubuh. Menurut Sarah Caddy, ahli imunologi dari Universitas Cambridge, Inggris, protein ini cukup stabil dan tidak sering bermutasi.

 

Osivax dari Perancis mengembangkan kandidat vaksin dari nanopartikel yang membawa salinan antigen nukleokapsid. Karena tingkat mutasinya rendah, respons sel T terhadap antigen ini mampu melindungi terhadap galur Covid-19 saat ini ataupun di masa depan. Hal serupa dilakukan eTheRNA dari Belgia yang membuat vaksin yang menginstruksikan sel tubuh mengenali protein S maupun protein N virus.

 

Pengembangan vaksin dengan berbagai teknologi dan target protein virus akan memberikan lebih banyak pilihan serta meningkatkan perlindungan terhadap virus korona baru yang mungkin akan terus bermutasi seperti virus influenza.

 

Percepat vaksinasi

 

Meski mengurangi risiko sakit dan kematian, vaksin masih memungkinkan orang tertular ataupun menularkan virus penyebab Covid-19. Virus masih bisa bereplikasi dan bermutasi dalam tubuh orang yang telah divaksinasi. Bahkan mutasi yang terjadi memungkinkan virus lolos dari hadangan antibodi.

 

Untuk mencegah mutasi, perlu menekan laju penularan virus. Richard Kuhn, Guru Besar Ilmu Biologi Universitas Purdue, Indiana, AS, menulis di The Conversation, 2 Februari 2021, penurunan tingkat penularan menjadi kunci. Lebih sedikit infeksi berarti lebih sedikit replikasi virus sehingga lebih sedikit peluang bagi virus untuk bermutasi.

 

Selain penerapan protokol kesehatan juga perlu vaksinasi orang sebanyak dan secepat mungkin. Vaksinasi yang lambat dikhawatirkan memberi waktu bagi virus untuk mengubah protein paku dan lolos dari vaksin.

 

Saat ini di Indonesia berlangsung vaksinasi massal. Dimulai dari tenaga kesehatan sejak pertengahan Januari, kini giliran petugas layanan publik serta orang lanjut usia (lansia). Untuk meningkatkan cakupan, vaksinasi dilaksanakan dengan menggandeng banyak pihak dan di banyak tempat.

 

Yang dilakukan Pemerintah India bisa dipertimbangkan untuk mempercepat vaksinasi. Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang pernah menjadi Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara 2015-2020 mengatakan, target vaksinasi India adalah 300 juta orang hingga Agustus 2021. Rinciannya, 30 juta tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik serta 270 juta orang lansia (60 tahun ke atas) dan kelompok usia 45-59 tahun dengan penyakit penyerta.

 

Vaksinasi dimulai 16 Januari 2021 menggunakan Covishield dari Serum Institute of India dan Covaxin dari Bharat Biotech International. Hingga 28 Februari sudah divaksinasi 14,3 juta orang.

 

Mulai 1 Maret, vaksinasi digenjot dengan melibatkan fasilitas kesehatan swasta di samping fasilitas pemerintah. Warga bisa memilih tempat terdekat, langsung datang dengan menunjukkan kartu identitas. Jika vaksinasi di fasilitas pemerintah gratis, di fasilitas swasta warga membayar 250 rupee (sekitar Rp 50.000).

 

Dengan mengambil pelajaran dari negara lain, bukan tidak mungkin vaksinasi di Indonesia bisa berlangsung lebih cepat. Setidaknya sesuai target, satu tahun.

 

Tjandra, yang juga anggota Independent Allocation of Vaccine Group (IAVG) dari Covid-19 Vaccine Global Access (Covax), koalisi lembaga internasional untuk mempercepat pengembangan vaksin Covid-19 serta memastikan akses vaksin yang adil dan merata di dunia, Sabtu (27/2/2021), menyatakan, Covax akan mengirimkan vaksin ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akhir Februari-awal Maret ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar