Jumat, 19 Januari 2018

Zombie Mahar

Zombie Mahar
Lasarus Jehamat  ;  Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
                                            MEDIA INDONESIA, 18 Januari 2018



                                                           
MAHAR menjadi isu seksi di jagat politik lokal dan nasional akhir-akhir ini.
Sebab utamanya ialah adanya dugaan beberapa partai meminta miliaran rupiah kepada bakal calon gubernur dan bupati.

Setelah gagal mendapatkan dukungan partai, beberapa bakal calon mulai membuka suara. Kedok politik uang bermotif mahar mulai terkuak.
La Nyalla Mattalitti di pilkada Jawa Timur, Siswandi di pilkada Cirebon (Media Indonesia, 13/01) dan Jhon Krisli di pilkada Palangka Raya (Media Indonesia, 15/01).

Kuat dugaan, kasus mahar yang menimpa beberapa bakal calon yang gagal tersebut merupakan sebagian kecil dari arus besar mahar di jagat politik Tanah Air.

Alasannya amat sederhana.

Calon yang lolos tidak mungkin membuka aib itu sekarang.
Tak ada orang yang mau membawa kepalanya ke tempat pembantaian. Itu saja.

Pro dan kontra; timpalan dan bantahan mulai muncul. Yang berdiri di belakang panji partai berkilah.

Mahar diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada 
Pasal 47 Ayat 3.

Di sana disebutkan, 'Jika partai atau calon terbukti menggunakan politik uang, sanksi diskualifikasi dan larangan mengikuti panggung politik akan dikenakan. Jadi, tidak ada mahar.

Tidak demikian dengan orang yang gagal karena mahar.
Mereka mengatakan bahwa mahar masih menjadi hantu di Republik ini.
Mahar seakan menjadi zombi yang menakutkan semua orang di ruang 
politik Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana masyarakat memahami mahar? Sebab, di saat kelompok partai meminta bukti, korban sudah bercerita banyak membeberkan semua hal yang dirasakannya.

Di sini, pertarungan antara dua dunia kembali terjadi.

Dalam sebuah artikel di buku Menulis Politik:Indonesia Menjadi Utopia, Kleden (2003) menjelaskan dengan sangat baik suburnya korupsi di Indonesia.

Disebutkan, korupsi di Indonesia itu bukan karena ketiadaan hukum dan aturan.

Merebaknya korupsi karena kita justru gemar mengutak-atik realitas simbolis dan enggan mempraktikkan hukum dan aturan itu di dunia sosial.
Realitas mahar politik

Politik dianggap sebagai sesuatu yang sangat mahal jika dilihat dari aspek ekonomi.

Mahal karena untuk urusan politik, banyak orang menghabiskan uang, aset, dan sumber daya.

Pemahaman demikian terjadi karena politik dilihat hanya sebatas cara dan alat untuk mendapatkan kekuasaan.

Politik dimengerti sejauh mendapatkan kekuasaan politik untuk tujuan ekonomi.

Padahal, jika ditilik lebih dalam, politik hanyalah alat.

Politik ialah cara atau mekanisme untuk merumuskan kebijakan yang tepat, oleh orang yang tepat, pada saat yang tepat. Masalahnya, ruang politik kita diisi badut-badut politik.

Politik ditumpangi komprador kapitalis yang hanya mau memburu rente ekonomi dan enggan berkecimpung memikirkan nasib rakyat.
Di sana, politik dibuat semahal dan serumit mungkin.

Menyebut mahal dan rumit, bayangan kita harus tertuju pada deretan angka uang untuk kegiatan politik.

Di situ, mahar wajib disebut. Mahar disebut karena dalam politik Indonesia, mahar seolah menjadi entitas yang sungguh memiliki pesona di satu sisi dan menakutkan pada sisi yang lain.

Secara yuridis di ruang realitas simbolis, mahar telah dihapus. Mahar telah mati.

Fakta di realitas sosial menunjukkan hal lain. Secara empirik, mahar terus diproduksi dan direproduksi dalam bentuknya yang lain.

Uang pendaftaran, ongkos saksi, uang administrasi, dan sebagainya menjadi modus lain dari mahar yang sama. Di sini, mahar berubah dengan begitu banyak varian.

Dalam praktiknya, fenomena pemberian uang dalam beragam modus tersebut dilakukan dengan sangat rapi. Dua hal yang menjadi indikator utama besaran mahar.

Menurut pengakuan teman-teman pengurus beberapa partai, mahar dihitung berdasarkan kekuatan jaringan dan jumlah kursi di lembaga legislatif.

Jika seseorang memiliki jaringan politik ke pusat kekuasaan partai politik, mahar bisa didiskusikan dan amat mudah dinegosiasikan.
Selain itu, besaran mahar sangat ditentukan jumlah kursi yang dimiliki sebuah partai di parlemen.

Maka, jika ada yang mengatakan bahwa mahar telah mati, pemahaman seperti itu harus diluruskan kembali.
Erosi nilai

Dalam Limiting Democracy: The Erosion of Electoral Rights in Australia, Hughes dan Costar (2006) menyebutkan bahwa politik uang menjadi fenomena umum dalam ruang demokrasi di Australia dan banyak negara lain di dunia.

Itulah sebabnya, Australia merumuskan sebuah regulasi yang membatasi berbagai bentuk sumbangan politik.
Uang dipakai untuk memuluskan langkah elite politik dalam sebuah kontestasi politik.

Hughes dan Costar mencatat bahwa kampanye menjadi momen penting bagi mengalirnya banyak uang dalam langgam politik nasional.
Selanjutnya, partai politik menjadi aktor yang paling bertanggung jawab lahirnya politik uang itu.

Lain Asutralia lain pula Indonesia. Di Indonesia, politik uang tidak hanya terjadi pada saat kampanye berlangsung.

Di Indonesia, politik uang sudah tampak sejak seseorang berkeinginan ikut terlibat dalam kontestasi politik.

Mahar mulai muncul di sini. Dalam The Moral Force of Indigenous Politics: Critical Liberalism and the Zapatistas, Jung (2008) menyebutkan bahwa uang atau mahar ialah bentuk lain dari upaya perongrongan nilai moral dan etika sosial. Dalam bahasa yang sangat lugas, Jung mengatakan bahwa mahar ialah indikator lain dari melemahnya integritas bangsa.

Menarik jika kita membandingkan pendapat dari beberapa ahli di atas. Melacak sebab munculnya politik uang, Hughes dan Costar serta Jung sepakat bahwa fenomena itu merupakan realitas yang tampak dalam politik liberal masa kini.

Nafsu kekuasaan dan semangat memangsa pihak lain merupakan alasan dasarnya. Dengan demikian, muncul semacam disposisi mental dari para aktor yang terlibat dalam politik uang.

Selanjutnya, dalam The Priority of Democracy: Political Consequences of Pragmatism, Knight and Johnson (2011) menyebut partai politik masa kini lebih cenderung menampakkan inkonsistensi peran politiknya.

Beberapa inkonsistensi peran terutama dalam soal-soal berikut ini, yakni transaksi ekonomi, distribusi hak, politik konstitusional, pengambilan keputusan, serta hak milik dan penggunaan sumber daya.

Dalam praktiknya, empat peran lain dijalankan secara vulgar dan ditunjukan pada peran pertama (economic exchange).

Realitas itu menunjukkan bahwa pragmatisme di ruang ekonomi dipraktikkan dengan amat sangat jelas di ruang politik.

Di sana, ideologi kerakyatan tidak lagi berperan penting.

Sebab, yang berperan di sana ialah ideologi pragmatisme.

Itulah alasan mengapa banyak orang menyebut partai politik saat ini lebih banyak berperan sebagai mesin penyalur tenaga kerja politik ketimbang lembaga-lembaga yang bisa melahirkan produk kebijakan prorakyat.
Politik lokal Indonesia

Seperti yang dijelaskan di atas, mahar politik saat ini telah bermetamorfosis dalam bentuknya yang lain.

Di ruang politik lokal, mahar diubah menjadi sejumlah uang administrasi dan beragam uang survei yang ditetapkan partai politik.

Saya sepakat dengan regulasi partai politik yang telah disahkan DPR (Undang Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada).

Masalahnya, apakah di sana juga menyebut mahar dalam bentuk yang lain di langgam patron klien? Saya tidak yakin.

Masalah dasarnya karena elite politik di Indonesia terlampau cerdik untuk mengubah mahar menjadi jaringan politik.

Elite politik mahir mengubah mahar menjadi bentuk-bentuk mahar yang lain.

Kecerdikan elite politik jauh melampaui kehebatan aturan yang mengaturnya.

Uang adminstrasi dan ongkos survei menjadi beberapa di antaranya.
Harus dikatakan bahwa mahar masih hidup dan akan tetap hidup sejalan dengan masuknya manusia bermental budak dalam ruang politik kita.
Tantangan demokrasi di ruang politik lokal dan nasional ialah mengontrol tumbuh suburnya mahar dalam bentuknya lain.

Menutup mata akan munculnya realitas itu sama dengan menyuburkan praktik mahar di ruang politik lokal dan nasional.

Kalau itu terus terjadi, mekanisme untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas hanyalah sebuah utopia; semacam mimpi yang tidak kesampaian.

Itulah zombi mahar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar