Urgensi
Cetak Biru Pendidikan Indonesia
Indra Charismiadji ; Pengamat dan Praktisi
Pendidikan
|
KORAN
SINDO, 09 Januari 2018
Bayangkan, apa yang
kirakira terjadi apabila kita membangun sebuah rumah tanpa ada cetak biru?
Kemungkinan ruangan-ruangan akan terbangun tidak sesuai dengan harapan kita;
dapur menjadi kamar mandi, kamar tidur menjadi ruang keluarga, dan pintu atau
jendela yang salah tempat.
Waktu pengerjaan pastinya
akan bergeser lebih lama dari jadwal dan rencana anggaran dan biaya (RAB).
Bangunan juga akan meleset jauh dari perencanaan. Inilah kira-kira yang
terjadi dengan program pembangunan manusia Indonesia saat ini melalui sistem
pendidikannya yang memiliki RAB 20% dari total anggaran, baik APBN maupun
APBD sesuai dengan amanat konstitusi. Tidak mengherankan bila Menteri
Keuangan Sri Mulyani berulang mempertanyakan hasil dari pendidikan Indonesia
yang menghabiskan APBN Rp400 triliun tiap tahun, belum termasuk APBD.
Beliau juga membandingkan
kualitas pendidikan Indonesia yang justru semakin tertinggal dari
negara-negara tetangga seperti Vietnam. Sampai saat ini Indonesia tidak
memiliki cetak biru/grand design pendidikan yang terintegrasi dan
berkesinambungan antarkementerian, lembaga, serta pemerintah daerah di level
provinsi maupun kota/kabupaten. Tugas pokok dan fungsi masing-masing
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sering tumpang tindih dan tidak
ada benang merahnya.
Secara umum masyarakat
berpikir bahwa pelaksana proses pendidikan Indonesia adalah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tetapi faktanya Kemendikbud justru
tidak memiliki kekuatan untuk menerapkan programprogam pendidikan karena
tidak memiliki sekolah, guru, dan peserta didik. Karena ada otonomi daerah,
sekolah, guru, dan peserta didik ada di bawah kendali pemerintah daerah, SD
dan SMP di bawah pemerintah kota/kabupaten, serta SMA dan SMK di bawah
pemerintah provinsi.
Hal yang menarik adalah,
walaupun secara undangundang pendidikan dasar dan menengah itu di bawah
kendali pemerintah daerah, sebagian besar sekolah, guru, dan peserta didik
ini justru ada di bawah kendali pemerintah pusat yaitu di Kementerian Agama
(Kemenag) untuk sekolah-sekolah madrasah. Masyarakat Indonesia bisa melihat
koordinasi antara Kemendikbud dan Kemenag kurang kondusif di kasus Full Day
School tahun lalu, juga ihwal teknis lain yang tidak terungkap ke publik.
Koordinasi antara
pemerintah daerah dan Kemendikbud pun tidak kondusif. Pemerintah daerah lebih
banyak berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk
segala urusan termasuk pendidikan. Beberapa permasalahan dasar yang muncul
akibat tidak adanya cetak biru pendidikan Indonesia yakni, pertama, angka
partisipasi sekolah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai saat
ini angka partisipasi sekolah (APS) Indonesia pada 2017 adalah 99.14% untuk
SD, 95,08% untuk SMP, 71,42% untuk SMA/K, dan 24,77% untuk perguruan tinggi.
Apabila ditarik tiga
tahunkebelakangsejakpergantian presiden pada 2014, kenaikan di masing-masing
jenjang tidak signifikan, yaitu SD 98,92%, SMP 94,44%, SMA/K 70.31%, dan
perguruantinggi 22.82%. Bisa kita simpulkan anggaran Rp400 triliun tiap tahun
ternyata belum membuka akses pendidikan yang lebar bagi masyarakat Indonesia.
Masih terlampau banyak anak-anak Indonesia yang tidak bersekolah. Kenapa
demikian, padahal sudah ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program-program
lain. Semuanya karena program-program tersebut salah sasaran dan hingga saat
ini belum ada evaluasinya.
Sekolah tanpa pungutan
diperkenalkan sejak 13 tahun atau pada 2005. Namun, ternyata yang menikmati
sekolahsekolah gratis tersebut justru didominasi anak-anak dari golongan
ekonomi menengah ke atas. Masyarakat menengah ke bawah justru harus
bersekolah di sekolah berbayar (swasta) karena tidak diterima di negeri.
Beberapa kali saya mengkritik kebijakan kuota siswa miskin di sekolah negeri.
Harusnya di balik kebijakannya, yakni kuota siswa kaya. Masyarakat miskin
(pemegang KIP/KJP) tidak boleh ditolak di sekolah negeri. Kalau pemerintah
mau mengeluarkan kebijakan siswa miskin tidak boleh ditolak di sekolah
negeri, saya yakin lonjakan APS akan signifikan.
Kedua, masalah guru.
Berdasarkan data di laman Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud,
rasio guru dan siswa Indonesia saat ini berada di level 1:16 (1 guru per 16
siswa) di mana jumlah ini di atas negara-negara maju seperti Singapura,
Amerika Serikat, China, dan Inggris. Selain itu, berdasarkan data Bank Dunia,
anggaran pendidikan Indonesia mengalokasikan 64% dari total anggaran untuk
guru.
Banyak guru yang memiliki
penghasilan puluhan juta rupiah per bulan saat ini. Problematikanya adalah
distribusi, baik personel gurunya maupun penghasilannya karena banyak guru,
khususnya honorer yang digaji hanya ratusan ribu rupiah per bulan. Kualitas
para pendidik kita juga jelas harus ditingkatkan karena melihat hasil Uji
Kompetensi Guru menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Urusan peningkatan
kualitas guru, jumlah guru, dan distribusi guru ini juga imbas dari tupoksi
yang kurang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Ini butuh sinkronisasi
dan kerja sama. Ketiga,masalah anggaran.
Masih ingat saat data tunjangan
profesi guru salah hitung sebesar Rp23,3 triliun pada 2016? Yang belum muncul
ke publik adalah data gaji guru dari Dana Alokasi Khusus (DAU) yang kabarnya
hampir Rp30 triliun. Dari dua anggaran ini saja sudah membuktikan kalau
ternyata anggaran pendidikan Indonesia tidak 20% karena hanya Rp350 triliun
alias 17,5% dari APBN yang Rp2.000 triliun. Masih banyak pos-pos lain yang
kondisinya mirip dengan di atas, tapi belum diungkap. Di sisi lain, mayoritas
pemerintah daerah juga belum melaksanakan amanatUUD1945untuk membuat anggaran
pendidikan minimal 20% (data lengkap bisa diakses di
http://npd.data.kemdikbud. go.id ).
Keempat,soal perencanaan
program. Agak ironis kalau melihat dunia pendidikan yang harusnya menjadi
garda terdepan urusan perubahan, tetapi apa yang ditemui di sekolah-sekolah
tidak banyak berubah dengan masa-masa kita sekolah dulu. Programprogram
pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah didominasi oleh kegiatan
“copas” (copy and paste ) dari tahun ke tahun. Pe-merintah lebih banyak
memilih jalur “aman” dalam membuat program yang penting anggaran terserap.
Pola pikir se-perti ini yang menjerumuskan generasi penerus kita karena tidak
disiapkan untuk bersaing secara global di mana dunianya berubah dengan luar
biasa cepatnya. Kelima, perihal kurikulum.
Dalam sejarah Indonesia,
baru kali ini peluncuran kurikulum baru membutuhkan lima tahun lebih untuk
sosialisasi dan pelatihan dan belum juga selesai. Terlepas dari konten dari
kurikulum itu sendiri, kesimpangsiuran pelaksana sistem pendidikan Indonesia
membuat masing-masing pihak melempar tanggung jawab dengan egonya
masing-masing. Di sisi lain negara-negara lain sudah semakin pesat
memperbaharui kurikulum pendidikan mereka dengan kebutuhan dunia seperti
Keterampilan Abad 21, Berpikir Komputasi, Coding, dan sebagainya, kita masih
berkutat dengan kurikulum yang usianya sudah lebih dari 12 tahun.
Membuat cetak biru
pendidikan Indonesia adalah langkah yang paling tepat saat ini. Cetak biru
ini harus dibuat lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kemudian
masingmasing pihak harus membuat komitmen untuk melaksanakan program sesuai
dengan cetak biru. Setelah itu perlu dibentuk atau ditunjuk lembaga yang
mengawasi dan memastikan program-programtersebutberjalan. Bangsa ini harus
cerdas, harus memiliki daya saing di tingkat global. Untuk itu, perlu
perbaikan sistem pendidikan agar tujuan tersebut tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar