2018
dan Efek Kupu-kupu
Boni Hargens ; Direktur Lembaga
Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
10 Januari
2018
Pada 2017, Freedom House
di Washington, AS, kembali menempatkan Indonesia di wilayah kuning dalam peta
kebebasan demokratik dunia. Selama empat tahun terakhir (2014-2017), kita
berlari di tempat.
Indonesia tidak beranjak
dari skor 3 dalam skala 1-7 (1=terbaik; 7=terburuk) dengan rincian 2 untuk
indikator hak politik (political rights) dan 4 untuk kebebasan sipil (civil
liberties). Maksudnya, Indonesia dinilai tidak sepenuhnya demokratis.
Padahal, sepanjang 2006-2013, Indonesia masuk wilayah hijau alias demokratis.
Pilkada DKI Jakarta 2017
salah satu isu serius yang membuat posisi melorot, yaitu saat Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) diserang dengan sentimen primordial yang memakai hukum
penistaan sebagai ujung tombak. Dalam pengantar, laporan Freedom House (2017)
menggarisbawahi sejumlah pekerjaan rumah besar Indonesia ke depan, yaitu melawan
politisasi hukum tentang fitnah dan penistaan (agama), diskriminasi dan
kekerasan terhadap kelompok minoritas, separatisme Papua, termasuk korupsi
sistemik yang masih merajalela dari pusat sampai daerah.
Ancaman
politisasi agama
Kini kita berada di tahun
politik 2018. Ada perhelatan besar, yaitu pilkada serentak di 171 daerah yang
mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Peluang politisasi agama
masih mengancam. Apalagi, tahun 2018 adalah momen persiapan menuju
Pemilu/Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) akan sibuk di tahun ini sampai awal tahun depan. Partai politik pun
begitu. Penguasaan Pilkada 2018, dalam perspektif matematika politik,
menentukan peta penguasaan politik 2019. Dengan demikian, wajar partai-partai
besar ekstra hati-hati dalam menentukan calon di sejumlah daerah strategis,
seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, termasuk Kalimantan Timur dan
Sumatera Utara.
Apakah tahun 2018 menjadi
penting karena pilkada serentak? Kalau demokrasi sudah matang, politik berproses secara sehat, nihil urgensi
membahas pilkada serentak selain ritual teknis. Namun, Pilkada 2018 penting
dalam dual hal, yaitu (1) siapa yang memainkan bandul dan (2) bagaimana
proses pilkada itu berlangsung.
Sentimen primordial yang
dihidupkan lagi dalam Pilkada 2017 bukan perkara sepele. Ketika organisasi
massa (ormas) radikal dibubarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, muncul protes keras dari
dua kubu, yakni (1) kubu radikal yang dirugikan secara langsung dan (2) kubu
libertarian yang atas nama hak asasi manusia menuduh keputusan pemerintah
antidemokrasi.
Tak perlu kita tenggelam
dalam perdebatan konseptual. Yang jelas, kekuatan radikal, yaitu mereka yang menghalalkan
kekerasan sebagai alat perjuangan ideologi dan kepentingan politik, ingin
memainkan bandul di sejumlah pilkada. Isu primordial dihidupkan lagi di
Kalimantan Barat melalui sejumlah aksi berjubah agama. Ini bukan perkara hak
asasi saja, melainkan soal eksistensi sebuah negara.
Formula ”politik Jakarta
2017” sudah dimainkan di Jawa Barat semenjak tahun lalu. Ada kelompok politik
yang diuntungkan oleh kehadiran kubu radikal dan memelihara relasi mutual itu
sebagai komoditas politik. Meminjam istilah Edward Norton Lorenz (1917-2008),
inilah butterfly effect, efek sayap kupu-kupu, dari politik primordial. Badai
meniup di Jakarta, kupu-kupu mengepak dari Sabang sampai Merauke.
Yang waras mungkin sudah
bosan dengan tuduhan ”komunis”, ”anti-Islam”, termasuk dikotomi usang
”pribumi-nonpribumi”. Cukup lama media sosial dipadati dengan tautan yang
membodohkan macam itu. Faktanya, demokrasi hari ini masih ditandai sentimen
tidak sehat sebagai modus operandi.
Mampukah Badan Siber dan
Sandi Negara (BSSN) yang baru dibentuk mengatasi fenomena siber yang
meresahkan ini? Tanggung jawab Kepala BSSN Djoko Setiadi akan berat, lebih
dari sekadar kontroversi ”hoaks membangun” yang dianggap lelucon oleh
warganet.
2018
ujian demokrasi
Tahun 2018 adalah waktu
ujian bagi masa depan demokrasi Pancasila. Apabila kekuatan primordial
memenangkan pilkada di daerah-daerah strategis, bencana akan sulit dibendung
pada 2019. Menyelamatkan Pilkada 2018 adalah menyelamatkan demokrasi dan
Indonesia. Inilah inti renungan politik 2018. Bukan isapan jempol ada
kekuatan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ide lain. Kekuatan ini
tengah memainkan panggung bersama para politisi pecundang yang tidak
ideologis, tetapi sarat libido.
Pelaksanaan dan pengawasan
pilkada harus dipersenjatai aturan hukum yang kuat dan penegakan yang sungguh
karena KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah tulang punggung dari
seluruh proses ini. Aparat keamanan hanya bertindak dalam koridor ketertiban
dan keamanan pilkada. Yang menentukan mutu dari proses adalah KPU, Bawaslu,
partai politik, dan masyarakat pemilih. Selain mengawasi praktik curang,
seperti politik uang, manipulasi data pemilih, dan pencurian suara, Bawaslu
seyogianya memantau politisasi isu SARA, baik oleh individu, ormas, maupun
partai politik.
Untuk itu, perlu ada
aturan yang rinci. Misalnya, dilarang khotbah politik di mimbar agama,
seperti gereja, masjid, dan wihara. Tokoh agama boleh berbicara politik,
tetapi dalam ranah moral politik. Kita butuh pesan moral tokoh agama untuk
menguatkan fondasi moral dan etika dalam berpolitik. Namun, undang-undang
mesti membuat ketentuan bahwa ruang ibadah tidak boleh dijadikan ruang
kampanye politik.
Bagaimanapun, politik
demokrasi kita tidak menganut moralitas konsekuensialis Machiavelli
(1469-1527) yang menghalalkan segala cara demi konsekuensi yang lebih besar.
Eksistensi agama sebagai anasir penting dalam hidup berbangsa dan bernegara
menandai keniscayaan bahwa kita menganut moralitas deontologis.
Implikasinya, bobot
tindakan tidak ditentukan oleh konsekuensinya, tetapi oleh standar pokok yang
disebut ”imperatif kategoris” oleh Kant (1724-1804). Agama memberi kita
standar moral yang menjadi acuan. Maka, membebaskan agama dari politik
praktis adalah upaya menjaga kesucian agama an sich sekaligus wujud dari
sikap moral orang beragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar